Kalimantan Tengah belum bisa keluar dari kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Baru-baru ini, polisi menangkap pelaku pencabulan anak berumur tujuh tahun.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
Kalimantan Tengah dinilai darurat kekerasan seksual setidaknya sejak 2020. Kasus kejahatan serupa masih terus terjadi di sana. Orang-orang terdekat korban masih menjadi predator utama. Pelaku boleh jadi dipenjara. Namun, masa depan korban harus menjadi perhatian yang tidak boleh dilupakan begitu saja.
Pada Kamis (17/3/2022), aparat Polres Kutawaringin Timur menangkap A (24), warga Sampit. Dia diduga mencabuli anak tetangga berumur tujuh tahun. Di hadapan polisi, Rabu (23/3/2022), A lebih banyak diam. Ketahuan berbuat jahat, nyali lelaki bertubuh kurus itu ciut. Dengan suara pelan, ia mengatakan sudah lama tidak berhubungan badan.
”Saya khilaf melakukannya sama anak itu,” kata pelaku yang bekerja sebagai buruh serabutan itu.
A melakukan perbuatannya pada Sabtu malam di rumahnya sendiri. Korban kebetulan sedang berada di rumah A. Istri pelaku meminta korban menginap. Korban tidur di ruang tamu.
Awalnya semua berjalan normal sampai korban dipindahkan pelaku ke kamar lain. . Pukul 23.00, ketika istrinya tertidur, ia menjalankan aksi bejatnya.
”Korban yang terganggu lalu bangun. Dia merengek minta pulang,” ujar Kepala Polres Kotawaringin Timur Ajun Komisaris Besar Sarpani.
Malam itu juga pelaku mengantarkan korban ke rumahnya. Di sana, korban menceritakan perlakuan pelaku kepada orangtuanya. ”Ibu korban kemudian melaporkan kejadian ini kepada kami. Saat ditangkap, pelaku langsung mengakui perbuatannya,” kata Sarpani.
Setidaknya sejak tahun 2020, Kalteng dalam kondisi darurat kekerasan seksual karena angka kasus terbilang tinggi. Sebagian besar pelaku orang-orang dekat korban. Polda Kalteng mencatat, 38 kasus kekerasan seksual menimpa perempuan dan anak.
Jumlahnya meningkat pada 2021. Subdirektorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat, kasusnya melonjak hingga 85 kasus. Sebanyak 22 kasus di antaranya melibatkan kekerasan fisik. Dua daerah dengan kasus kekerasan seksual tertinggi tahun 2021 adalah Katingan (11) dan Kotawaringin Barat (15).
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, kasus kekerasan seksual anak dan perempuan terus bertambah. Hal itu menunjukkan Kalteng belum bisa keluar dari situasi darurat kekerasan seksual.
Menurut Winda, kasus semacam ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelaku yang masuk penjara. Perlu ada banyak tindakan dan upaya yang dilakukan untuk kenyamanan hidup korban. Dalam kasus pencabulan di bawah umur, misalnya, korban pasti bakal dihantui trauma seumur hidupnya.
”Pendampingan harus dilakukan, bahkan seumur hidupnya. Upaya pendampingan bukan hanya datang dari pemerintah ataupun penegak hukum, tetapi yang paling utama dari orang terdekatnya. Keluarga perlu menjadi pendamping yang baik dengan memahami betul kondisi korban,” katanya.
Dalam kasus kekerasan seksual, menurut Winda, pemerintah juga perlu menyediakan rumah aman yang memiliki fasilitas serta pelayanan kesehatan fisik dan mental bagi para korban. Rumah aman juga mampu menyediakan sarana edukasi untuk keluarga agar menghindari atau mengantisipasi kejadian berulang di masa depan.
”Rumah aman itu penting sekali. Sayangnya di Kalteng, rumah aman hanya ada di Palangkaraya. Kami khawatir korban menjadi sosok yang brutal di masa depan jika tidak ditangani serius psikologinya,” ujar Winda.
Seperti kasus yang melibatkan A. Dia boleh jadi hanya bilang khilaf dan menyesal. Namun, masa depan korban sudah telanjur retak. Jika hanya berhenti di jeruji penjara, bakal ada pelaku dan korban lain di kemudian hari.