Wisata Bali yang selama ini bergantung pada turis mancanegara perlu mematangkan diversifikasi tema wisata agar lebih berketahanan dan berkelanjutan.
Oleh
ERIKA KURNIA, KRISTI DWI UTAMI, COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Wisatawan mulai berdatangan di Bali setelah pemerintah membuka lebih besar keran perjalanan di tahun kedua pandemi Covid-19. Wisata Bali yang selama ini bergantung pada turis mancanegara perlu mematangkan diversifikasi tema wisata agar lebih berketahanan dan berkelanjutan.
Jumlah pelaku perjalanan domestik, dari data kedatangan di Bandara I Gusti Ngurah Rai, sebagai salah satu gerbang utama ke Bali, menyentuh angka 10.000 orang lebih pada Rabu (16/3/2022). Jumlah itu hampir dua kali lipat dari Rabu (2/3).
Jumlah wisatawan asing yang datang ke Bali masih ditargetkan dapat menyentuh 1.500 orang per hari, kata Ida Bagus Agung Partha Adnyana, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, saat dihubungi Selasa (22/3).
Target itu berkisar 10 persen dari jumlah kedatangan wisatawan asing di Bandara Ngurah Rai pada 2019, yang mencapai 17.000 orang per hari. Namun, target itu sangat besar dibandingkan dengan kedatangan wisatawan asing sejak April 2020 hingga Januari 2022 yang berkisar nol sampai 273 orang per bulan.
Optimisme ini bangkit setelah adanya pelonggaran aturan perjalanan, yang memungkinkan turis asing tidak perlu dikarantina begitu sampai ke Indonesia. Wisatawan hanya perlu menunjukkan bukti negatif dari tes Covid-19 sebelum dan setelah kedatangan di Bali. Lalu, adanya kebijakan visa on arrival untuk 42 negara serta pemerataan vaksinasi Covid-19 hingga dosis penguat.
”Kita lihat bulan Mei ada peningkatan pemesanan hotel sampai Agustus,” kata Agung.
Keragaman wisata
Terdampak parah selama pandemi membuat ada saran agar Bali tidak lagi tergantung sepenuhnya pada pariwisata. Namun, Agung menilai, bisnis pariwisata dan kedatangan wisatawan mancanegara di Bali yang telah bergulir selama satu abad terakhir kini tetap dapat diandalkan.
”Tetap di wisata, tetapi bisa nanti diarahkan ke medical tourism, sport tourism, farming tourism, jadi enggak cuma leisure saja. Intinya membangkitkan ekonomi Bali dalam bentuk lain,” ujarnya.
Senada, I Putu Winastra, Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Agen Perjalanan dan Wisata (Asita) Bali, mengatakan, agen perjalanan siap menjual keragaman potensi Bali kepada beragam pasar. Misalnya, Ubud di Gianyar dengan tradisi dan budaya, Bali utara dengan kecantikan bawah lautnya, lalu Bangli dengan alam dan desa wisatanya.
”Asita punya 11 divisi pangsa pasar, masing-masing punya kriteria atau spesifikasi berbeda. Contoh, di Bali, wisatawan China suka air karena (di negeri asalnya) jauh dari pantai. Orang Perancis dan Denmark cenderung suka budaya, tradisi, eksplorasi desa dan pegunungan,” tuturnya.
Pelonggaran kebijakan akan meningkatkan trust atau kepercayaan bahwa Bali adalah destinasi pariwisata yang aman dan sehat.
Secara jangka pendek, Asita masih menargetkan wisatawan dari tiga negara yang sebelumnya berkontribusi besar pada Bali, yaitu China, India, dan Australia. Mereka juga mempromosikan Bali sebagai destinasi yang memenuhi kriteria kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan (CHSE).
Protokol CHSE menjadi prioritas sesuai upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Saat ini, tercatat ada 1.343 akomodasi penginapan yang tersertifikasi CHSE.
Menurut Koordinator Program Studi Industri Perjalanan Wisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Bali, I Nyoman Sudiarta, pembukaan Bali dan pelonggaran kebijakan khusus wisata ke Bali harus diterima calon wisatawan di negara asalnya secara benar.
”Pelonggaran kebijakan akan meningkatkan trust atau kepercayaan bahwa Bali adalah destinasi pariwisata yang aman dan sehat,” katanya, Jumat (25/3).
Adapun Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan, pemasaran dan promosi perlu digencarkan, di antaranya melalui program bangga berwisata di Indonesia, termasuk di Bali.
Hal itu untuk lebih menarik kedatangan wisatawan dalam negeri juga wisman ke Bali di tengah persaingan dengan destinasi lain di luar negeri. Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam, misalnya, sudah lebih dahulu membuka pintu pariwisatanya.