Kekayaan kuliner di Sulawesi Selatan menjadi salah satu hal yang "wajib" diburu para pemudik. Di jalur selatan, pilihan santapan yang menggoda lidah bertebaran.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Mudik di jalur selatan Sulawesi Selatan adalah perjalanan menyusuri pelbagai kuliner menarik dan khas. Sebut saja Ayam Tolping di Gowa, jagung pulut putih di Takalar, serta lammang atau lemang, coto kuda, dan gantala di Jeneponto. Semua itu menjadi pilihan bagi pemudik yang berburu rasa dan nostalgia.
Sabtu (7/5/2022) malam, di tengah ramainya arus balik dari Bulukumba, Selayar, dan daerah sekitarnya ke Makassar, tepat di Jalan Poros Jeneponto-Takalar di Kabupaten Jeneponto, Daeng Kanang (50) tak henti melayani pembeli. Dagangannya adalah lemang atau nasi ketan yang dimasak dalam bambu. Sebutan dalam bahasa Bugis untuk kuliner ini adalah lammang.
Di sebuah bangunan sederhana berlantai tanah dan beratap seng, asap pembakaran dari jejeran lemang tak henti mengepul. Jejeran lemang yang memanjang hingga lebih dua meter itu dibakar di atas bara api. Bambu ini harus sering diputar atau dibalik agar nasi ketan matang merata.
Daeng Kanang mengalungkan sarung di lehernya. Sesekali sarung itu digunakan untuk mengelap keringat, kadang pula dikibas-kibas untuk mengusir panas dan asap. Dua anaknya membantu membakar lemang dan melayani pembeli.
Rahmawati (45), pemudik dari Bulukumba menuju Makassar, malam itu singgah membeli 10 buah lemang. Dibelinya pula 10 butir telur asin dan lima bungkus serundeng kelapa. Total belanjanya Rp 175.000. Harga satu buah lammang adalah Rp 10.000 tanpa bambu. Telur asin Rp 5.000 per butir dan serundeng Rp 5.000 per bungkus.
“Buat oleh-oleh, dibagi ke teman kantor dan tetangga. Sebagian juga untuk makan sendiri. Waktu mudik saya juga beli untuk orang di kampung,” kata Rahmawati.
Baru saja pesanan Rahmawati selesai dibungkus, serombongan pemudik lain juga singgah. Yang dibeli juga sama. Ada yang membeli lemang dalam kondisi masih terbungkus bambu. Harganya Rp 14.000 per buah. Biasanya bambu bekas masih bisa digunakan. Itulah mengapa harga dengan bambu lebih mahal ketimbang isinya saja.
Dua tahun pandemi memang tetap ada pembeli, tapi tidak seramai sekarang.
Daeng Kanang mengaku, setelah dua tahun pandemi Covid-19, momentum mudik kali ini benar-benar menjadi berkah. Sejak sepekan sebelum mudik hingga Sabtu malam itu, dia sibuk sepanjang sore hingga malam. Saat hari Lebaran, dia bahkan tetap berjualan.
”Setiap hari terjual paling sedikit 500 bambu, kadang sampai 700. Hari biasa, 100 bambu sudah terbilang banyak. Dua tahun pandemi memang tetap ada pembeli, tapi tidak seramai sekarang. Bersyukur sekali tahun ini sudah ada mudik. Makanya saya tetap berjualan walaupun hari Lebaran karena yang mudik banyak,” katanya.
Mudik juga menjadi berkah bagi Risal (40), penjual lemang lainnya. Menjual 300-500 nasi bambu per hari selama masa mudik dan balik menjadi kesyukuran mengingat pada hari biasa kadang yang terjual hanya 50-100.
Lemang adalah nasi ketan yang dimasak menggunakan santan. Beras ketan dan santan dimasukkan dalam wadah bambu berukuran panjang antara 30-40 sentimeter. Bagian dalam bambu diberi alas daun. Selanjutnya dibakar hingga matang. Umumnya lemang dibuat dari beras ketan putih dan hitam.
Di Sulsel, walau penganan ini dikenal di semua daerah, tapi tak banyak yang menjualnya. Berbeda dengan di Jeneponto yang bahkan di hari biasa pun tetap banyak yang menjual kuliner ini. Tak mengherankan jika penganan ini jadi buruan para pemudik.
Rasanya yang gurih dan pulen membuat panganan ini jadi favorit. Lemang bahkan jadi buah tangan saat mudik dan balik. Saat Lebaran, lemang biasanya menjadi teman makan rendang atau ayam. Saat dibawa pulang, lemang dimakan bersama serundeng dan telur asin. Lemang biasanya tahan disimpan hingga tiga hari.
Menjadi pelintasan mudik di wilayah selatan Sulsel dan posisinya yang berada di tengah antara Makassar dan Bulukumba, Jeneponto memang selalu menjadi tempat persinggahan. Selain Jeneponto, wilayah lain yang dilintasi jalur selatan ini adalah Bantaeng, Takalar, dan Gowa.
Kuliner khas berbahan daging kuda juga menjadi salah satu buruan pemudik di wilayah ini. Coto kuda, konro kuda, gantala, hingga bakso kuda, banyak dijual. Jika lemang biasanya menjadi buah tangan, makanan berbahan daging kuda umumnya disantap di warung.
Coto dan konro adalah makanan berkuah dengan banyak bumbu. Adapun gantala yang hanya ada di Jeneponto adalah daging kuda yang direbus serupa sup, tanpa penambahan banyak bumbu. ”Tadi pagi saat melintas di Jeneponto, saya singgah sarapan coto kuda. Rasanya enak. Saya sudah familiar dengan makanan ini saat bertugas di Bulukumba,” kata Nurdin Amir (40).
Tak hanya Jeneponto, kuliner khas juga ada di Kabupaten Takalar dan Gowa. Jagung rebus pulut menjadi buruan di Takalar. Jejeran penjual jagung di Kecamatan Pattallassang nyaris tak pernah tutup sepanjang hari.
”Saya sudah tidak bisa menghitung berapa banyak jagung yang saya rebus setiap hari. Pemudik tidak berhenti dari pagi sampai tengah malam. Ada yang makan di sini, ada yang membungkus. Alhamdulillah berkah mudik tahun ini,” kata Masita (50), penjual jagung.
Jagung pulut umumnya direbus dengan kulit sehingga rasanya tetap manis dan gurih. Biasanya dimakan dengan garam halus bercampur cabai yang diberi perasan jeruk nipis. Harganya Rp 20.000 per porsi berisi sembilan buah jagung.
Jika ingin makan berat, bergeser ke Kabupaten Gowa, ada ayam tolak pinggang yang tenar dengan nama ayam tolping. Kuliner ini adalah ayam kampung muda yang dibakar. Bumbu atau cocolannya beragam. Harganya juga tak terbilang mahal, yakni Rp 60.000 per ekor. Satu ekor bisa dimakan berdua.
”Bahkan, walau tak mudik pun, saya biasa bela-belain ke sini makan ayam tolping. Entah kenapa walau di Makassar banyak yang jual ayam, di sini rasanya beda. Aromanya, terutama ayamnya yang muda, bikin ayam tolping punya sensasi rasa sendiri. Tak dimakan pakai bumbu pun masih enak,” kata Marhayati (55), pelanggan setia ayam tolping.
Sabtu malam itu, rumah makan Ayam Tolping Daeng Kio di Kecamatan Bontonompo nyaris tak pernah sepi pengunjung. Meja-meja selalu terisi penuh pengunjung. Tak hanya makan di resto, sebagian membungkus untuk dibawa pulang.
Mudik tahun ini memang bukan hanya milik pemudik yang akhirnya bisa lega pulang kampung dan menikmati beragam kuliner. Mudik juga menjadi milik pedagang kuliner yang menuai berkah dari dagangan yang laris manis.