Sekolah Anak Percaya Diri telah membantu ratusan anak korban kekerasan memulihkan trauma sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri. Mereka adalah harapan untuk memutus rantai kekerasan dalam rumah dan lingkungan.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·6 menit baca
Tak mudah memulihkan trauma dan kehilangan rasa percaya diri anak-anak korban kekerasan. Sama tak mudahnya membuat mereka memahami arti saling mengasihi dan menghargai di tengah kekerasan yang lekat sejak kecil.
Namun, semua perlahan berubah di Sekolah Anak Percaya Diri, tempat belajar di kawasan padat penduduk di pesisir Selat Makassar, tepatnya di Kelurahan Patingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Selawesi Selatan. Di ruang tamu yang disulap jadi tempat belajar itu, anak-anak korban kekerasan belajar arti saling mengasihi, menghargai, dan percaya diri.
Hari masih pagi benar, Jumat (20/5/2022) lalu, saat sekelompok anak usia SD hingga SMA berkumpul di ruang tamu rumah Nuraeni. Dia adalah ketua rukun warga setempat yang sekaligus menggagas sekolah percaya diri ini. Ruang tamu dan beberapa bagian lain di rumahnya hampir 10 tahun terakhir berubah fungsi jadi tempat belajar dan berkreasi.
Tak ada perangkat sofa layaknya ruang tamu pada umumnya. Hanya ada beberapa meja di sudut ruangan dan piagam serta piala terpajang di dinding. Ada bagian dinding yang dilapisi cermin. Ini memberi kesan luas di ruang yang tak seberapa luas itu.
Di antara anak-anak yang berkumpul pagi itu, ada Anita (14), siswa madrasah tsanawiyah. Saat diwawancarai, tak sedikit pun dia tampak kikuk atau gagap. Dia berkisah bagaimana sekokah percaya diri punya peran besar membuatnya menjadi dirinya yang sekarang. Tak hanya lebih percaya diri, dia bahkan perlahan ikut mengubah perangai ayahnya yang pemarah dan kasar menjadi lebih tenang dan bisa mengendalikan diri.
”Saya mengajar ayah saya membaca dan mengaji. Dulu ayah saya tak lancar membaca karena tak tamat SD. Dia juga suka marah dan memukul. Tapi, alhamdulillah sekarang sudah berubah dan makin baik. Saya juga sekarang berani berbicara di depan banyak orang. Di sekolah, saya juga ikut menari dan sudah beberapa kali tampil di acara sekolah maupun luar sekolah,” katanya.
Nuraeni bercerita, sejak kecil Anita kerap dipaksa menjual kue keliling dan bekerja apa pun oleh ayahnya. Hasilnya biasanya digunakan ayahnya untuk membeli minuman keras. Saat jualan tak laku, Anita harus siap menerima pukulan atau cacian. Dia masih pula harus menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya hampir tiap hari. Hal itu membuatnya menjadi pribadi yang sedikit liar, suka berkata dan berbuat kasar. Di lain waktu, dia suka menyendiri. Tetapi, sekolah percaya diri mengubah semua.
Hal sama dialami Rismayanti (17), yang sekarang sekolah di salah satu madrasah aliyah. Tumbuh dalam lingkungan tempat tinggal dan keluarga yang lekat dengan kekerasan sempat membuatnya menutup diri. Namun, dia kemudian menemukan rasa percaya dirinya. Sejak masih di sekolah dasar, dia banyak menghabiskan waktu beraktivitas di sekolah percaya diri.
”Sekarang saya ikut membantu adik-adik yang ada disini. Mengajar mereka menulis dan membuat cerpen. Saya juga ikut menari. Beberapa kali saya diutus ikut pelatihan yang diadakan lembaga yang bergerak dalam isu perempuan dan anak. Saya juga sering ikut forum anak di musrenbang tingkat kelurahan,” katanya.
Penuh rintangan
Nuraeni mengatakan, Anita dan Rismayanti hanya dua dari ratusan anak yang selama ini silih berganti belajar di sekolah yang dirintis sejak 2013 ini. Sebagian adalah anak-anak yang akrab dengan kekerasan sejak kecil. Ada pula korban pelecehan seksual. Sebelumnya Nuraeni adalah pendamping paralegal dan sering mendampingi anak-anak korban kekerasan ataupun pelecehan.
Nuraeni menyaksikan betul bagaimana anak-anak korban kekerasan keluarga dan lingkungan ini tumbuh tak wajar. Berkata kasar, memaki, menjadi pelaku atau korban perundungan seolah menjadi hal wajar. Pada akhirnya banyak yang enggan sekolah dan tumbuh tanpa kepercayaan diri.
Hati Nuraeni tergerak mengumpulkan anak-anak itu di rumahnya. Awalnya dia hanya bermaksud mengajar soal etika, sopan santun, lemah lembut, serta tak berkata kasar atau memaki.
Usaha ini tak mudah. Mengajak mereka berkumpul di tengah kebiasaan bermain atau kewajiban membantu orangtua mencari nafkah butuh kesabaran. Belum lagi upayanya ditentang sebagian orangtua.
”Saya iming-imingi permen, kerupuk, kue-kue. Yang menjual kue kadang saya beli dagangannya untuk dimakan bersama. Dagangannya laku dan mereka bisa ikut belajar. Orangtuanya perlahan saya beri pemahaman. Apalagi, tak ada biaya sepeser pun,” katanya.
Kesungguhan dan usaha Nuraeni dan perubahan pada anak-anak yang belajar di rumahnya membuat orangtua yang semula menentang akhirnya mendukung. Saban hari sejak pagi hingga malam, rumah Nuraeni nyaris tak pernah sepi. Anak-anak pesisir gemar menghabiskan waktu sepulang sekolah di ruang belajar atau perpustakaan.
Dari semula sekadar belajar sopan santun dan etika, lama-kelamaan sejumlah anak mulai berani melaporkan kasus kekerasan yang dialami atau dilihatnya. Sebagian membicarakannya empat mata dengan Nuraeni.
Perkembangan ini membuat Nuraeni sadar tak lagi bisa melakukan semuanya sendiri. Dia pun mencari lembaga atau perusahaan yang bisa membantu.
Upayanya membuahkan hasil. Sejak 2017 hingga tahun ini, Pertamina Regional Sulawesi memberi dukungan penuh dengan menyediakan guru, kurikulum, berbagai fasilitas belajar, dan psikolog. Ruang tamu Nuraeni juga dibenahi agar lebih layak menjadi tempat beraktivitas bagi anak-anak.
”Pertamina punya berbagai program CSR dan kami melihat aktivitas ini termasuk yang pantas untuk didukung. Makanya, setelah kami survei, diputuskan untuk membantu. Ada guru, kami bantu juga menyusun kurikulum, membenahi tempat belajar, perpustakaan, dan melengkapi berbagai fasilitas yang dibutuhkan,” kata Taufik Kurniawan, Senior Supervisor Communication and Relation PT Pertamina Regional Sulawesi.
Taufik mengatakan, pendampingan oleh psikolog tidak hanya membantu untuk konseling, tetapi juga memantau perkembangan anak-anak. Setiap bulan dilakukan evaluasi untuk mencari tahu apa yang perlu diperbaiki.
“Jadi, ada guru yang memang memiliki keahlian khusus mendampingi anak-anak setingkat SD maupun SMP dan SMA, apalagi yang pernah menjadi korban kekerasan. Walau ini pendidikan luar sekolah, kurikulum juga dibuat lebih baik dan terarah untuk kepentingan anak-anak dan didampingi psikolog,” katanya.
Jika pada awalnya hanya sekitar 10-20 anak yang aktif, perlahan jumlahnya bertambah hingga 150-an anak. Sebagian ikut kegiatan sejak SD dan tetap aktif hingga SMA. Di lingkungan tempat mereka tinggal, anak-anak sekolah percaya diri turut menjadi agen perubahan setidaknya kepada sebaya mereka.
Tak hanya anak-anak, ibu rumah tangga dan perempuan juga perlahan membentuk komunitas. Dapur dan ruang samping Nuraeni menjadi tempat belajar bagi ibu rumah tangga dan perempuan pesisir. Di rumah itu, mereka belajar baca-tulis, mengaji, memproduksi olahan ikan. dan melakukan berbagai aktivitas sosial. Mereka juga aktif dan turut berhimpun dalam Koperasi Wanita Nelayan Fatimah Azzahra yang dirintis Nuraeni sebelum mendirikan sekolah percaya diri.
Di rumah Nuraeni, anak-anak dan perempuan nelayan belajar tentang hidup, kemandirian, serta saling mengasihi dan menghargai satu sama lain. Mereka yang kemudian menjadi agen perubahan untuk menebar cinta yang kelak diharapkan memutus rantai kekerasan dalam keluarga dan lingkungan.