Ketika Penyandang Disabilitas Mempertanyakan Perda yang Muncul Tanpa Konsultasi
Peraturan Daerah Provinsi Sulut Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas memunculkan kekecewaan sekaligus pertanyaan dari penyandang disabilitas. Perda itu lahir tanpa lebih dulu dikonsultasikan.
Aria Indrawati tak menyembunyikan kekesalannya, Rabu (25/5/2022) siang itu. Sebagai seorang difabel netra, ia merasa DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara begitu meremehkan keberadaan para penyandang disabilitas di ”Bumi Nyiur Melambai” itu dengan menerbitkan sebuah peraturan daerah tanpa konsultasi bermakna.
”Bagaimana bisa DPRD dan pemprov bisa tahu persoalan (penyandang disabilitas) ini dan itu kalau mereka tidak berkonsultasi secara intensif dengan penyandang disabilitas? Mereka seumur hidup tidak pernah menjadi penyandang disabilitas. Bagaimana bisa mereka tahu kalau tidak bertanya dan berdiskusi secara mendalam?” ujarnya dengan jengkel.
Beleid yang dimaksud Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia (DPP Pertuni) itu adalah Peraturan Daerah Provinsi Sulut Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas. Aturan itu disahkan secara mendadak di luar pengetahuan Pertuni Sulut pada 21 Desember 2021.
Rencana pembuatan perda itu sebenarnya telah diketahui DPP Pertuni sebelumnya. Kabar itu Aria nilai sangat membahagiakan karena semakin banyak daerah yang berkomitmen menjamin hak-hak penyandang disabilitas menyusul pengesahan Undang-Undang No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas oleh DPR.
Dengan perda tersebut, kata Aria, paradigma baru mengenai eksistensi penyandang disabilitas dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) akan mangakar kuat hingga ke daerah. Disabilitas tidak akan lagi dilihat sebagai kekurangan, tetapi realitas keragaman fisik manusia seperti jenis kelamin dan etnisitas.
Perbedaannya terletak pada kebutuhan khusus yang dimiliki penyandang disabilitas. Contohnya, trotoar dan gedung-gedung umum dan pelayanan publik harus dilengkapi guiding block dan railing agar difabel netra bisa bermobilitas secara mandiri. Para petugas pelayanan publik harus bisa berbahasa isyarat agar difabel rungu bisa mendapatkan layanan yang sama dengan orang biasa.
Baca Juga: Jangan Ada Pasal di RUU TPKS yang Diskriminasi Penyandang Disabilitas
Hal yang sama juga berlaku dalam partisipasi pendidikan dan dalam pasar tenaga kerja. Jika semakin banyak penyandang disabilitas bersekolah hingga perguruan tinggi, mereka akan bisa berdaya secara ekonomi serta hidup mandiri layaknya nondifabel.
”Disabilitas muncul dari interaksi para penyandangnya dengan lingkungan yang tidak mendukung sehingga menghambat partisipasi penuh mereka di masyarakat. Jadi, meskipun kami tunanetra, misalnya, kami tidak akan jadi penyandang disabilitas lagi kalau lingkungan sudah dimodifikasi karena kami sudah bisa berpartisipasi penuh,” tutur Aria.
Karena itu, DPP Pertuni sudah mempersiapkan langkah-langkah yang akan diambil agar perda tersebut mewakili kepentingan difabel netra. Pertama, dengan meningkatkan kapasitas pengurus Pertuni Sulut dalam hal advokasi. Kedua, mereka merencanakan dialog dan audiensi dengan masing-masing fraksi dalam DPRD serta pemprov.
Namun, secara mengejutkan, peraturan tersebut sudah terbit sebelum semua rencana itu mereka tempuh. Bahkan, bukan hanya komunitas difabel netra yang tak dilibatkan, melainkan juga jenis disabilitas lain, seperti rungu, daksa, dan mental.
Akibatnya, banyak sekali hal dalam perda tersebut yang tidak sesuai dengan semangat UNCRPD serta UU No 8/2016. Aria mencontohkan, soal pembentukan unit layanan disabilitas sektor pendidikan dan ketenagakerjaan yang tidak ada kejelasan satuan kerja apa yang akan mengemban tugas tersebut. Mekanisme pengawasan pemprov terhadap pendidikan bagi difabel di tingkat SD dan SMP juga belum jelas.
Hak mendapat konsesi inilah yang diatur dengan kartu penyandang disabilitas.
Kedua, perda tersebut salah dalam memaknai kartu penyandang disabilitas. Lebih dari sekadar tanda pengenal, kartu tersebut adalah bukti kelayakan seseorang mendapat keringanan biaya dalam pelayanan publik atau yang disebut konsesi. Sebab, seseorang terpaksa menanggung biaya hidup yang lebih besar karena disabilitasnya.
”Misalnya, saya mau terbang dengan pesawat, tetapi maskapai tidak mengizinkan saya terbang sendiri sehingga saya harus membawa pendamping. Dari tadinya hanya perlu satu tiket, saya harus beli dua. Hak mendapat konsesi inilah yang diatur dengan kartu penyandang disabilitas,” kata Aria.
Renald Tanamal, perwakilan Komunitas Penyandang Disabilitas Fisik Sulut, menambahkan, Perda Sulut tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas juga tidak mengatur tentang hak-hak keluarga penyandang disabilitas, seperti istri dan anak. Ia mencontohkan, banyak penyandang disabilitas yang berkekurangan, tetapi anak-anaknya tak mendapat jaminan pendidikan.
”Ketika kami mau beraudiensi, DPRD dan pemerintah selalu menolak karena tidak ada waktu. Lalu kapan? Klasik sekali, kalau berurusan dengan penyandang disabilitas, selalu diserahkan ke dinas sosial. Ini artinya masih ada diskriminasi. Kami tidak butuh dikasihani, tetapi berikanlah kesempatan,” kata Renald.
Perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulut Chenny Agustina Wahani mengatakan, kerentanan perempuan penyandang disabilitas juga belum diatur jelas. Padahal, di Sulut banyak sekali aduan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ataupun kekerasan seksual yang diterima HWDI.
Baca Juga: Hapus Diskriminasi dan Penuhi Hak Perempuan Penyandang Disabilitas
”Diskriminasi yang diderita perempuan difabel komplet karena dia penyandang disabilitas dan perempuan. Pemerintah harusnya memberikan perhatian dalam perda tersebut sebagai bentuk afirmasi akan fakta yang terjadi di lapangan,” tutur Chenny.
Di samping masalah-masalah besar tersebut, tambah Aria, Perda Sulut tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas masih memuat bab berjudul Labelisasi. ”Ini, kan, konotasinya cenderung negatif. Orang diberi label itu, kan, bukan hal yang bagus,” kata Aria.
Menurut Aria, keadaan di Sulut adalah kebalikan dari DKI Jakarta yang saat ini juga sedang menyusun perda serupa. Sejak awal, organisasi-organisasi penyandang disabilitas dilibatkan secara aktif dalam bentuk audiensi dan konsultasi. Pertuni pun aktif menyampaikan masukan dalam bentuk daftar inventaris masalah (DIM).
Di sisi lain, ketidakterlibatan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Pertuni Sulut dalam perumusan perda tersebut dipengaruhi oleh keadaan organisasi yang tidak aktif. Musyawarah daerah (musda) untuk memilih ketua baru tidak dilaksanakan sejak 2019 sehingga tidak ada ketua definitif.
Kami menuntut pelibatan penyandang disabilitas secara bermakna dalam penerbitan pergub.
Baru pada 28 April, Pertuni Sulut memiliki ketua definitif yang dipilih melalui musda, yaitu Theodorus Poluan. Pria yang akrab dipanggil Temmy itu mengatakan, advokasi perda sebenarnya sudah direncanakan setahun terakhir. Namun, semua ini terhambat karena masalah disharmoni internal di kalangan anggotanya.
Akibatnya, Pertuni Sulut tak bisa terlibat aktif. Hal ini juga dijadikan alasan oleh DPRD Sulut untuk tidak mengundang perwakilan difabel netra. ”Katanya tidak tahu harus menghubungi siapa,” kata Aria.
Namun, nyatanya memang banyak organisasi penyandang disabilitas yang tak diundang. Karena itu, Pertuni Sulut, Komunitas Penyandang Disabilitas Fisik Sulut, HWDI Sulut, Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Sulut, dan beragam organisasi lain akan membentuk koalisi untuk mendorong perubahan.
Celah perbaikan terletak pada rencana penyusunan peraturan gubernur Sulut sebagai turunan dari Perda tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas. Pertuni pun menjadi koordinator organisasi-organisasi tersebut untuk merumuskan persoalan-persoalan hidup difabel yang harus diatur dalam pergub.
Baca Juga: Penuhi Hak Penyandang Disabilitas
”Ini, kan, sudah telanjur. Ya, sudahlah. Namun, kami menuntut pelibatan penyandang disabilitas secara bermakna dalam penerbitan pergub. Artinya, tidak hanya memanggil dan memberi tahu saat ada peraturan yang akan terbit, tetapi juga menyerap seluruh aspirasi penyandang disabilitas berdasarkan keragamannya,” kata Aria.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPRD Sulut dari Fraksi PKS, Amir Liputo, mengatakan, perda ini sesungguhnya telah lama dinantikan oleh penyandang disabilitas di ”Bumi Nyiur Melambai”. Ia mengakui, pemda belum bisa memenuhi kebutuhan aksesibilitas dan beragam hak penyandang disabilitas, termasuk untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
”Jadi, sebenarnya perda ini mengatur secara teknis agar penyandang disabilitas bisa hidup layak dan berbaur dengan sesama tanpa diskriminasi. Harapannya, mereka tidak merasa tidak diperhatikan, seolah-olah daerah atau negara tidak hadir,” kata Amir.
Amir bahkan berharap perda tersebut bisa memfasilitasi pembentukan panti rehabilitasi sosial di tingkat provinsi yang juga dapat mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas akan pelatihan kerja. DPRD pun akan mencoba terlibat dalam upaya itu dengan penganggaran dan pengawasan.
Terlepas dari itu, Aria menekankan, seyogianya tidak ada peraturan yang mengatur kehidupan penyandang disabilitas tanpa keterlibatan mereka secara langsung. Ia pun yakin perubahan yang lebih baik akan dapat diwujudkan jika seluruh penyandang disabilitas bersatu dan berkonsolidasi.
Baca Juga: Jemput Bola, Pemkot Cirebon Targetkan 222 Siswa Difabel Dapat Kartu Identitas