Cemburu, Warga Timor Tengah Utara Bunuh Istri dan Dirinya di Malaysia
Melkianus Aften, warga NTT yang juga tenaga kerja ilegal di Malaysia, membunuh istrinya karena cemburu. Kemudian dia juga bunuh diri di lokasi yang sama.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KEFAMENANU, KOMPAS — Seorang pekerja migran ilegal di Malaysia,Melkianus Aften (45), membunuh istrinya, Maria Modok (35), di Johor Bahru, Malaysia, karena cemburu. Setelah membunuh istrinya, Melkianus kemudian menggorok lehernya dengan parang hingga tewas di tempat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmirgasi Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Simon Soge dihubungi di Kefamenanu, Kamis (9/6/2022), mengatakan,pasangan suami istri itu berangkat sebagai tenaga kerja ilegal ke Johor Bahru, Malaysia, 2018. Keduanya bekerja di perkebunansawit bersama ratusan pekerja lain, sebagian di antaranya pekerja dari TTU.
Sesuai laporan dari sesama pekerja yang juga berasal dari TTU di Johor Bahru, Simon Soge, Melkianus membunuh istrinya, Maria, di tempat pemondokan mereka karena cemburu. Seusai itu, pelaku mengambil parang menuju kamar mandi dan menggorok lehernya sendiri sampai tewas di tempat.
Jenazah kedua pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural ini ditemukan oleh sesama karyawan lain. Saat jam kerja, keduanya tidak kelihatan di lokasi perkebunan sawit. Hal itu mendorong teman-teman mereka mencari keberadaan pasangan suami istri ini.
Jenazah keduanya pun diotopsi di rumah sakit terdekat. Hasil otopsi dari rumah sakit, antara lain, menyebutkan, jenazah Melkianus terpapar Covid-19 sehingga tidak diizinkan dipulangkan ke Indonesia.
Sementara Maria dinyatakan bebas Covid-19 dan jenazah langsung diterbangkan ke Indonesia. ”Jenazah Maria telah tiba dan sudah dimakamkan keluarga, Rabu (8/6/2022),” kata Simon.
Sementara jenazah Melkianus masih berada di salah satu rumah sakit di Johor Bahru. Konsul RI di Johor Bahru sedang menunggu surat izin dari keluarga Melkianus di TTU untuk memakamkan jenazah di Malaysia. Surat itu pun telah dikirim ke Malaysia. Keduanya adalah PMI nonprosedural sehingga keluargatidak berhak mendapatkan uang duka atau uang kematian.
Pasangan suami istri ini belum memiliki anak hasil perkawinan adat mereka. Keduanya belum menikah secara agama. Akan tetapi, Melkianus telah memiliki dua anak laki-laki hasil perkawinan dengan istri pertama yang telah meninggal.
Maria sebelumnya juga bekerja di negeri jiran itu secara ilegal, tetapi karena mengalami gangguan jiwa, ia pulang ke TTU. Setelah menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh, Maria kemudian dinikahi secara adat oleh Melkianus.
Keduanya lantas memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia, sementara kedua anak laki-laki Melkianus dirawat sang nenek di Desa Kotafoun, Kecamatan Biboki Anleu.
Sejak 2021-Mei 2022, sebanyak 15 PMI ilegal asal TTU meninggal di Malaysia dan berhasil dipulangkan ke kampung asal. Masih adaPMI yang meninggal di luar negeri. Mereka ini tidak sempat dipulangkan ke daerah asal karena berbagai alasan, seperti terpapar Covid-19, kesulitan biaya pemulangan, dan bahkan meninggal di hutan dan sama sekali tidak diketahui sesama rekan kerja yang juga berasal dari Indonesia.
Mencegah PMI ilegal tersebut, pihaknya telah melakukan sosialisasi ke desa-desa mengenai dampak status sebagai PMI ilegal di luar negeri. Akn tetapi, sosialisasi itu belum cukup mengatasi animo warga yang berangkat secara ilegal karena desakan ekonomi keluarga, pengaruh para calo, dan cerita ”surga” para eks TKI ilegal yang pulang kampung.
Ia mengatakan, di TTU sudah dibangun satu balai latihan kerja (BLK). BLK ini belum bisa melatih calon PMI asal TTU karena di Kefamenanu belum ada kantor perusahaan pengerah jasa tenagah kerja.
Mereka yang ingin berangkat secara legal dikirim ke sejumlah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di Kupang, dilatih, kemudian dikirim secara legal oleh perusahaan tersebut.
”Data ini akurat, kecuali kalau kepala desa itu menyembunyikan keberangkatan warga ke luar negeri,” kata putra Lembata ini.
Koordinator Jaringan Anti Perdagangan Orang NTT Pdt Emmy Sahertian mengatakan, setelah kasus Covid-19 melandai di Indonesia dan Malaysia, keberangkatan TKI ilegal asal NTT makin banyak.
Melarang orang bepergian ke luar NTT mencari nafkah, itu saja tidak cukup. Harus ada solusi bagaimana mengatasi kemiskinan, salah satunya dengan memberdayakan warga.
Pencari kerja dari NTT sudah tidak sabar lagi berangkat menjadi TKI di luar negeri, sementara pengusaha di Malaysia pun kesulitan tenaga kerja setelah dua tahun berturut-turut tidak lagi mendapatkan TKI asal Indonesia, termasuk NTT.
Mereka yang berangkat ke luar negeri terdeteksi pemerintah daerah setempat tetap kebanyakan lolos dari pemantuan karena instansi teknis tidak melakukan pendataan langsung di desa-desa.
Alasan instansi terkait tidak melakukan pendataan ialah ketiadaan anggaran untuk itu. Akibatnya, pemerintah daerah mulai kewalahan ketika mendapatkan informasi ada warganya yang mengalami masalah di luar negeri, antara lain meninggal dunia atau dideportasi.
Kasus perdagangan manusia NTT tidak akan selesai selama pemerintah tidak memiliki satu solusi tepat mengatasi kemiskinan di tingkat masyarakat. ”Melarang orang bepergian ke luar NTT mencari nafkah, itu saja tidak cukup. Harus ada solusi bagaimana mengatasi kemiskinan, salah satunya dengan memberdayakan warga,” kata Emmy.