Kesulitan Melaut, Nelayan di Pantura Jateng Meminta Solar Harga Khusus
Naiknya harga solar membuat para nelayan di pantura Jateng tidak melaut. Kondisi itu membuat ribuan awak buah kapal kehilangan potensi pendapatan dan menganggur.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Ribuan kapal nelayan dengan berbagai ukuran dan alat tangkap di pantura Jawa Tengah tidak bisa melaut lantaran melambungnya harga solar. Nelayan berharap pemerintah bisa menentukan harga solar khusus untuk meringankan beban itu.
Setidaknya empat bulan terakhir, harga solar untuk industri terus merangkak naik. Puncaknya, terjadi pada dua pekan terakhir, mencapai Rp 17.000 per liter atau hampir dua kali lipat dari sebelumnya, Rp 8.000 per liter. Kenaikan itu membuat biaya operasional melaut membengkak, membuat para pemilik kapal kesulitan melaut.
”Waktu harga solar masih Rp 8.000 per liter, modal yang perlu dikeluarkan cukup Rp 120 juta sekali melaut. Kalau digabung dengan biaya perbekalan makanan, pajak, dan biaya lain-lain bisa mencapai Rp 300 juta. Dengan harga (solar) sekarang, biaya operasional dalam sekali melaut menjadi sekitar Rp 600 juta,” ujar Koordinator Front Nelayan Bersatu Kabupaten Pati, Hadi Sutrisno, Senin (20/6/2022).
Menurut Hadi, kenaikan harga solar yang tidak diikuti kenaikan harga ikan akan membuat nelayan merugi. Rata-rata harga ikan di Pati, disebutnya murah, Rp 6.000 per kilogram. Dengan estimasi mendapat 50 ton, nelayan hanya mendapatkan sekitar Rp 300 juta. Pendapatan itu separuh dari biaya yang dikeluarkan untuk ongkos melaut saat ini.
”Kalau sudah minus, mau bayar anak buah kapal pakai apa? Mending tidak usah berangkat melaut saja bukan?” kata Hadi yang memiliki tiga kapal dengan alat tangkap purse sein tersebut.
Hadi menuturkan, di Pati ada sekitar 1.000 kapal dengan berbagai ukuran dan jenis alat tangkap. Dari jumlah itu, hanya lebih kurang 20 persennya yang berani melaut. Kapal-kapal itu masih memiliki cadangan solar dengan harga lama. Sementara itu, 80 persen atau sekitar 800 kapal lainnya tidak melaut menunggu harga solar turun.
Kepala Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Jateng Riswanto menuturkan, setidaknya ada sekitar 3.000 kapal nelayan di pantura Jateng. Sebanyak 60 persen atau sekitar 1.800 unit di antaranya tidak bisa melaut lantaran tidak mampu membeli solar.
”Kenaikan harga solar ini tidak hanya merugikan pemilik kapal saja, tetapi juga awak kapal. Mereka kehilangan potensi pendapatan dan terpaksa menganggur karena kapal tidak melaut,” ucap Riswanto. Adapun jumlah awak kapal di pantura Jateng sedikitnya 45.000 orang.
Selain menambah pengangguran, pilihan tidak melaut membuat kapal cepat rusak. Alasannya, bodi kapal-kapal rentan bersenggolan di pelabuhan. Penumpukan kapal itu juga bisa memicu pencurian onderdil kapal hingga kebakaran.
Ke depan, nelayan di Jateng berharap ada harga solar khusus. Tarifnya diharapkan tidak lebih dari Rp 9.000 per liter. ”Sejauh ini, perwakilan nelayan Jateng sudah mengomunikasikan keinginan itu ke pemerintah pusat melalui staf dari kantor staf presiden. Kami masih menunggu undangan audiensi dengan sejumlah kementerian terkait,” ujar Riswanto.
Sebelumnya, Area Manager Communication, Relations, & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Brasto Galih Nugroho menuturkan, harga solar yang ditawarkan Pertamina tergolong kompetitif. Kenaikan harga solar industri untuk kapal berukuran di atas 30 gros ton (GT) dipengaruhi harga minyak dunia.
”Pertamina menyalurkan bahan bakar minyak nonsubsidi legal kepada nelayan dengan kapal berkapasitas di atas 30 GT dengan tetap mematuhi perpajakan yang berlaku, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB),” ujarnya.
Brasto menambahkan, skema penetapan harga dan penjualan produk solar industri atau nonsubsidi adalah kesepakatan
bisnis antara PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial dan Trading PT Pertamina dengan mitra bisnis. Hal itu sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati.