Lindungi Perempuan dan Anak, Fatayat NU Buka Layanan Pengaduan Kekerasan
Dalam peringatan Hari Lahir Ke-72 Fatayat NU, diluncurkan Pusat Pengaduan dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Cirebon atau Women and Children Care Center (WCCC).
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Perempuan dan anak rentan menjadi korban kekerasan, tak terkecuali di pondok pesantren. Fatayat, organisasi perempuan Nahdlatul Ulama (NU), pun terus berupaya memutus rantai kekerasan tersebut dengan meningkatkan kapasitas kader hingga membuka layanan pengaduan untuk korban kekerasan di Cirebon, Jawa Barat.
Pusat Pengaduan dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Cirebon atau Women and Children Care Center (WCCC) diluncurkan dalam peringatan Hari Lahir Ke-72 Fatayat NU di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (26/6/2022). Program itu diinisiasi Pimpinan Cabang (PC) Fatayat Kabupaten Cirebon.
Hadir dalam acara itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU Anggia Ermarini, Ketua PC Fatayat Cirebon Rozikoh Sukardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Nyai Hj Masriyah Amva, dan Ketua Pengurus Cabang NU Kabupaten Cirebon KH Azis Hakim Saerozi. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siroj juga turut memberikan nasihat.
Anggia menuturkan, pembukaan layanan tersebut bentuk pemberdayaan Fatayat dalam menjawab tantangan zaman, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. ”Kader Fatayat NU harus mampu merespons permasalahan ekonomi hingga persoalan perempuan dan anak. Fatayat tidak boleh hanya berpangku tangan,” ungkapnya.
Rozikoh menambahkan, seluruh pimpinan anak cabang (PAC) Fatayat yang tersebar di 40 kecamatan di Cirebon bakal menjadi tempat pengaduan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Para kader Fatayat Cirebon juga mendapatkan pelatihan terkait dengan isu kekerasan dalam rumah tangga hingga perdagangan orang.
Pelatihan itu rangkaian kegiatan Hari Lahir Fatayat yang berlangsung sebulan terakhir di Cirebon. ”Fatayat NU, terkhusus Cirebon, mengajak semua perempuan untuk bahu-membahu, bangkit dari keterpurukan. Jika perempuan berdaya, maka dengan mudah memberdayakan semuanya,” ungkap Rozikoh.
Asih Widiyowati, Koordinator WCCC, mengatakan, jaringan Fatayat NU yang tersebar hingga ke desa-desa juga akan menerima pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setelah itu, pihaknya akan memetakan dan menganalisis kasusnya. WCCC juga berkoordinasi dengan instansi terkait hingga menyiapkan pendampingan psikologis bagi korban.
Kehadiran WCCC, lanjutnya, diharapkan dapat menghapus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di pondok pesantren. ”Makanya, kami menggandeng bu nyai dan pak kiai untuk melangkah bersama, termasuk menyuarakan isu pernikahan anak. Sampai bulan Mei saja kasus perkawinan anak di Cirebon sekitar 400 orang,” ungkap Asih.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Cirebon juga tampak dalam Catatan Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga pendampingan perempuan dan anak. Tahun lalu terdapat 181 kasus kekerasan, turun dibandingkan dengan 2020, yakni 240 kasus. Kasus itu tersebar di Kecamatan Arjawinangun, Susukan, Gegesik, hingga Lemahabang.
Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Nur Rofiah, mengatakan, perempuan perlu perhatian khusus karena secara biologis berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami pengalaman yang sakit dan melelahkan, seperti menstruasi hingga melahirkan. ”Jangankan jadi korban kekerasan, tidak jadi korban pun perempuan butuh perhatian,” katanya.
Secara sosial, lanjutnya, perempuan rawan mendapatkan stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. ”Jangankan jadi korban kekerasan, tidak jadi pun, perempuan sangat rentan. Semoga ikhtiar membangun WCCC ini bisa jadi bagian dalam membangun peradaban Islam yang ramah pada laki-laki sekaligus perempuan dan anak,” ujarnya.