Harga Rajungan Anjlok, Nelayan Cirebon Mendesak Pemerintah Turun Tangan
Nelayan rajungan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mendesak pemerintah turun tangan menangani anjloknya harga rajungan. Nelayan pun terpaksa tidak melaut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sebagian besar nelayan rajungan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, terpaksa tidak melaut setelah harga komoditas ekspor itu anjlok dalam dua bulan terakhir. Meskipun penurunan harga rajungan dipicu kondisi global, nelayan tetap mendesak pemerintah turun tangan.
Di wilayah Gebang, Cirebon, misalnya, kapal nelayan rajungan hanya tertambat di muara, Senin (27/6/2022). ”Di sini saja ada sekitar 50 nelayan yang tidak melaut karena harga rajungan turun. Saya sudah tiga bulan enggak melaut,” kata Jamhuri (44), nelayan setempat.
Menurut dia, harga rajungan mentah di tingkat nelayan kini berkisar Rp 20.000 per kilogram (kg), sedangkan rajungan masak Rp 25.000 per kg. ”Padahal, (seharusnya) sekarang ini harganya lagi bagus-bagusnya, sekitar Rp 120.000 per kg, untuk yang masak,” katanya.
Harga rajungan yang hanya sekitar Rp 20.000 per kg itu tidak mampu menutup biaya perbekalan nelayan. Jika nelayan mendapatkan sekitar 5 kuintal rajungan dengan harga tersebut, mereka hanya meraup Rp 10 juta atau setara dengan ongkos melaut dalam sepekan.
”Artinya, nelayan enggak dapat apa-apa. Itu belum dibagi dengan ABK (anak buah kapal) lima atau enam orang,” lanjutnya. Anjloknya harga rajungan hingga Rp 20.000 per kg, lanjutnya, juga pernah terjadi saat pandemi Covid-19 awal tahun 2020.
Casmid, Ketua Koperasi Usaha Bersama Nelayan Laskar Pantura di Desa Gebang Ilir, mengatakan, harga daging rajungan turun bertahap sekitar dua bulan terakhir hingga berkisar Rp 90.000 per kg. Padahal, normalnya, harganya bisa mencapai Rp 430.000 per kg.
Anjloknya harga daging rajungan juga tidak sebanding dengan ongkos produksinya. Dengan harga Rp 90.000 per kg, hasil tangkap 3 kg daging rajungan mencapai Rp 270.000. Setelah dikurangi biaya kupas Rp 30.000 per kg atau Rp 90.000 untuk 3 kg, nelayan hanya mendapatkan Rp 180.000.
”Jumlah ini juga belum dikurangi uang solar sekitar Rp 100.000 dan perbekalan Rp 80.000. Jadi, nelayan rugi. Lebih baik enggak melaut,” ujar Casmid. Meski demikian, sejumlah nelayan tetap melaut meski hasilnya tidak seberapa.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengatakan, sekitar 19.515 nelayan di Jabar bergantung pada hasil tangkapan rajungan. ”Jika rata-rata ABK satu perahu berisi 5 dikalikan 19.515 nelayan, maka ada sekitar 97.575 nelayan rajungan yang berdampak akibat rendahnya harga rajungan,” ujarnya.
Di sisi lain, nelayan rajungan turut menyumbangkan devisa untuk negara. Merujuk data Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia, Budi menyebutkan, hingga Oktober 2021, nilai ekspor rajungan mencapai Rp 5,2 triliun dan menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna dalam ekspor perikanan.
Oleh karena itu, meskipun anjloknya harga rajungan dipengaruhi perekonomian global, Budi mendesak pemerintah turun tangan membantu nelayan rajungan. ”Selain melalui bantuan langsung kepada kelompok nelayan, pemerintah juga dapat membeli produk rajungan dan melatih diversifikasi olahan rajungan,” katanya.