Menganyam Harapan di Rumah Perbatasan
Satu rumah terdiri dari dua negara, RI dan Malaysia, berada di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di sini tersemat sejumlah harapan akan pembangunan Indonesia yang lebih merata.
Sebuah rumah panggung berukuran sekitar 12 x 8 meter berdiri kokoh di Desa Aji Kuning, Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Rumah kayu dengan gaya Melayu itu sekilas mengingatkan pengunjung pada rumah tokoh sinema kartun ”Upin & Ipin” yang ditayangkan stasiun televisi swasta di Tanah Air.
Rumah yang dicat merah putih itu baru-baru ini populer di media sosial (medsos) karena bangunannya masuk dua wilayah negara, Indonesia dan Malaysia. Bagian depan rumah, mulai dari halaman, teras, ruang tamu, hingga kamar, masuk wilayah Indonesia. Adapun bagian dalam, seperti ruang tengah, ruang makan, dan dapur, masuk bagian Malaysia. Sementara umbul-umbul merah putih yang warnanya mulai lusuh berkibar di depan rumah.
Di wilayah Indonesia terpajang Sang Saka Merah-Putih, foto Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin, serta sejumlah foto anggota TNI yang berjaga atau pejabat yang berkunjung di perbatasan ini. Selain itu, ada pula foto serta nama pemilik rumah ini, Hajah Hajerah Bt. Saing.
Sebaliknya, di wilayah Malaysia terdapat Bendera Jalur Gemilang, bendera nasional Malaysia, foto Perdana Menteri Malaysia (PM) dari masa ke masa, yaitu PM pertama (Bapak Kemerdekaan), yaitu Tungku Abdul Rahman Putra Al Haj Ibni Al marhum Sultan Abdul Hamid Shah (1957-1970) hingga PM kesembilan YB Dato’ Ismail Sabri Yaakob yang menjabat sejak 2021.
Karena tepat berada di perbatasan kedua negara, rumah kayu itu dinamai ”Rumah Perbatasan Patok 3 Indonesia-Malaysia”.
”Di sini rumahnya unik, mirip rumah Ipin-Upin ada tangganya di dalam rumah,” kata Ismawati Dewi (20), salah satu pengunjung yang mendatangi rumah itu, Sabtu (16/7/2022) sore.
Ismawati datang bersama Dewi Sahrani (18), sepupunya. Keduanya berasal dari Desa Sungai Pancang yang berjarak sekitar 4 kilometer dari Aji Kuning. Mereka berdua tengah menikmati libur kuliah di kampung halaman sekaligus menghabiskan akhir pekan di rumah perbatasan ini.
”Dulu waktu kecil sering diajak orangtua main ke sini. Apalagi, baru-baru ini, rumah perbatasan juga viral di medsos,” ujar Ismawati, mahasiswi semester V Jurusan Pendidikan Guru Madrasah di Sekolah Tinggi Agama Islam Samarinda.
Sahrani menuturkan, rumah perbatasan ini jadi salah satu tempat yang menarik untuk dikunjungi di Pulau Sebatik, selain wisata Pantai Indah yang ada di Desa Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik Timur. ”Di sini tempatnya asyik buat nongkrong, makanannya juga enak,” tutur Sahrani, yang kuliah semester III di Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Borneo di Tarakan, Kaltara.
Baik Ismawati maupun Sahrani berharap, menjelang peringatan HUT RI pada 2022 ini, pembangunan di Indonesia kian merata. ”Semoga pembangunan Indonesia ini merata sehingga Sebatik yang terpencil ini bisa dilihat lagi orang-orang Indonesia,” tutur Ismawati.
Salah satu yang menjadi harapan mereka ialah adanya perguruan tinggi di Pulau Sebatik. Sebab, sampai saat ini tidak ada kampus di pulau seluas 50.000 hektar ini. Ismawati, misalnya, harus naik kapal selama tiga hari menuju Samarinda untuk bisa berkuliah di sana. Adapun Sahrani harus menuju Kota Tarakan dengan waktu tempuh sekitar 3 jam dengan menggunakan speedboat (kapal cepat).
Interaksi dua negara
Keberadaan rumah perbatasan itu juga menggambarkan kultur dan interaksi dari dua negara bertetangga.
Di bagian rumah yang masuk wilayah Malaysia terdapat aneka tulisan bergaya serta bersemangatkan Malaysia. Misalnya, ”Rukun Negara Janji Kita. Maka Kami, rakyat Malaysia berikrar akan menumpukan seluruh tenaga dan usaha kami untuk mencapai cita-cita tersebut berdasarkan atas prinsip-prinsip yang berikut: Kepercayaan Kepada Tuhan, Kesetiaan Kepada Raja dan Negara, Keluhuran Perlembagaan, Kedaulatan Undang-undang, Kesopanan dan Kesusilaan”. Ada pula poster bertuliskan, ”Hormati Jalur Gemilang”.
Sementara di teras rumah terdapat sambutan dan aturan dengan Bahasa Inggris yang lebih universal. ”Family & Friends are always welcome. Please Remove Your Shoes, Thank You”. Di bagian dalam ada aturan dengan bahasa Melayu, “Sila Jaga Adab dan Kesopanan Ketika berada di dalam rumah ini. ”No Running in this area, thank you”, ”Bila Anda Tidak Mampu Buang Sampah Pada Tempatnya Maka Telan Makanan & Minuman Anda”.
Sementara di dekat saklar lampu tertulis, ”Sila matikan suis selepas digunakan”, ”Mau Pakai Lampu & Kipas??? Mohon Derma Seikhlasnya, kerna Pulsa listrik dibiayai sendiri oleh Tuan Rumah, Harap Maklum & Terima kasih Kerjasamanya….”
Hajah Hajerah Bt. Saing (77), sang pemilik rumah, mengisahkan, dia dan suami membeli tanah seluas 2 hektar pada 1980 dan membangun rumah tersebut pada 1987. Pada 2014, rumah itu dipoles oleh BNI, sebagaimana terlihat seperti sekarang.
Lihat Juga: Wajah Baru Batas Indonesia-Malaysia di Sebatik
”Dulu, 1975, saya dan suami merantau ke Malaysia. Lalu ingat pesan orangtua, kalau kau pergi ke negara orang, jangan kau lupa dengan negaramu. Ada pepatah hujan emas di negara orang, tapi lebih baik hujan batu di negara sendiri,” kata Hajerah, yang asli Bone, Sulawesi Selatan.
Menurut Hajerah, pertama kali membeli tanah tersebut, lingkungan sekitarnya masih berupa hutan. Dalam perkembangannya, petugas datang memasang patok perbatasan sekitar 1988-1989. ”Ini dulu kiri dan kanan hutan. Tidak ada orang. Lalu timbullah itu patok, depan ini Indonesia, belakang sana Malaysia,” ujarnya.
Hajerah yang mempunyai empat anak, kini tinggal bersama si bungsu di Indonesia, sedangkan tiga anak lainnya di Malaysia dan menjadi warga negara Malaysia. Demikian pula dengan 8 orang cucunya, 2 di Indonesia, dan 6 di Malaysia. Keluarga mereka biasa berkumpul di Indonesia saat Idul Fitri.
Menurut Nia (18), salah satu cucu Hajerah yang kini mengelola kafe ”Haufana Homemade Food” yang persis berada di kolong rumah perbatasan tersebut, rumah neneknya itu sering dikunjungi, baik orang dari Indonesia maupun Malaysia.
”Kami buka pukul 16.00-22.00, hari Jumat libur. Yang datang bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari Tawau, Malaysia. Biasanya rombongan 6-7 orang,” tutur Nia.
Lihat juga: Hasil Panen Rumput Laut di Pulau Sebatik
Dari warung inilah berkumandang aneka musik, mulai dari melayu, pop Indonesia, hingga pop mancanegara. Salah satu biduan Malaysia yang lagunya sering diputar di tempat ini adalah Wany Hasrita. Di perbatasan ini, nuansa Malaysia cukup terasa, apalagi ketika memesan makanan. Di daftar menu tercantum harga dalam mata uang rupiah serta ringgit Malaysia.
Semua barang serta bahan makanan kebutuhan pokok untuk kebutuhan warga setempat juga lebih banyak dipesan dari Tawau, Malaysia. Tidak terkecuali untuk kafe yang dikelola Nia. Akses wilayah itu memang lebih mudah dan dekat ke Tawau. ”Mayonese untuk burger, sayur, daging, ayam dari negeri jiran. Iya, hampir 90 persen belanja di sana,” kata Nia.
Meski demikian, penyeludupan barang ilegal, termasuk narkoba, menjadi kekhawatiran warga setempat. ”Saya ingin penjagaannya diperketat, misalnya tentang narkotika dan barang-barang ilegal. Tong gas (tabung gas) dari Malaysia itu juga banyak masuk ke sini,” ujarnya.
Ketergantungan tinggi
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Utara Komisaris Besar Hendy F Kurniawan, saat berkunjung ke rumah perbatasan itu, mengatakan, potensi kejahatan di perbatasan meliputi penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan perdagangan ilegal.
Untuk perdagangan manusia dan narkoba, polisi akan tegas menindak. Namun, untuk perdagangan ilegal, polisi harus melihat situasi sosial kemasyarakatan setempat. Sebab, harus diakui kebutuhan sejumlah bahan pokok warga setempat tergantung kepada negeri jiran. Penindakan akan dilakukan pada kasus-kasus tertentu.
”Kalau untuk ekonomi di masyarakat ini, kami tidak lakukan penindakan hukum, kalau dilakukan penindakan hukum, goyang nanti kesejahteraan masyarakat, sedangkan dari pusat, kan, belum bisa (menyediakan) infrastruktur, akses untuk suplai sembako,” papar Hendy.
Hendy mencontohkan, produsen sembako di wilayah itu paling lengkap disuplai dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Hanya saja, jangkauannya baru sampai ke Tarakan. Bahkan, di wilayah Tanjung Selor yang merupkan ibu kota Provinsi Kaltara, minyak goreng kosong selama dua bulan terakhir.
”Oleh karena itu, penegakan hukum itu melihat asas manfaat, dan melihat kondisi lapangan, wilayah. Kecuali, ada monopoli sehingga merugikan masyarakat. Itu kami tindak,” tuturnya.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Nunukan Sabri mengakui, pembangunan wilayah di Sebatik masih dalam proses dan butuh waktu. Untuk penyediaan kebutuhan ayam dan telur, misalnya, dulu ada peternakan ayam di Pulau Sebatik, tetapi gulung tikar lantaran harga pakan yang tinggi.
Menjelang HUT RI Ke-77, situasi ketergantungan di wilayah perbatasan ini diharapkan bisa segera diatasi. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan lestari, penataan hukum dan kelembagaan, peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah, peningkatan aksesibilitas, pengembangan sistem pertahanan dan keamanan, serta pengembangan perekonomian adalah beberapa hal yang perlu dilakukan di wilayah perbatasan. Semoga.