Mengarungi Kehidupan di Tengah Badai Stigma
Suku Laut, penduduk asli berkultur maritim di Kepulauan Riau hidup mengembara berabad-abad mengarungi ombak dan badai di laut. Namun, rintangan terberat justru datang dari badai stigma yang tak henti menerpa.
Siang itu, anak-anak suku Laut berlari riang tak peduli dengan teriakan orangtua mereka yang berang. Kaki mereka yang mungil lincah menghindari lubang-lubang di lantai papan yang lapuk.
”Jangan lari-lari, itu banyak lubang, nanti kamu jatuh ke karang,” kata Ida sambil menangkap anak yang paling kecil dan menggendongnya ke dalam rumah, Senin (18/7/2022).
Belasan rumah panggung dari kayu yang tak dicat itu berdiri di atas air, di tepi sebuah pulau yang tak bernama. Rumah yang satu dengan yang lain terhubung dengan jembatan kayu yang berfungsi untuk menambatkan sampan.
Sejak sekitar 10 tahun lalu, lebih kurang 17 keluarga suku Laut menetap di lokasi itu. Secara adiministratif kampung itu masuk dalam wilayah Desa Tajur Biru, Kecamatan Temiang Pesisir, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Namun, berbeda dengan kampung lain di Desa Tajur Biru, perkampungan suku Laut belum mendapat akses listrik dan air bersih. Sebagian besar warga di sana juga tak pernah merasakan bangku sekolah.
Di kampung itu hidup tiga generasi suku Laut. Ida adalah generasi kedua. Perempuan yang kira-kira berusia kepala tiga itu adalah anak bungsu Akub, ketua kelompok suku Laut di sana.
”Kalau anak-anak Pak Akub enggak ada yang sekolah karena dulu kami tinggal di sampan. Hidup berpindah-pindah,” kata Ida.
Hingga sekitar tahun 2010, Ida bersama orangtua dan enam kakaknya masih hidup mengembara dengan sampan. Seluruh anggota keluarga mereka tinggal dalam tiga sampan yang masing-masing panjangnya lebih kurang 9,5 meter.
Suku Laut hidup di dalam sampan dayung beratap kajang (daun pandan hutan). Semua aktivitas, mulai dari memasak, tidur, menangkap ikan, hingga melahirkan, dilakukan di dalam sampan.
Mereka mengandalkan serampang atau tombak untuk menangkap ikan. Serampang itu terdiri atas beberapa jenis, ada mata satu, tiga, dan lima. Tombak itu mereka pakai untuk menangkap ikan, cumi, dan penyu.
Di dalam sampan, suku Laut memelihara koyok (anjing) dan burung bayan (sejenis nuri). Koyok berguna membantu mereka berburu di darat. Adapun burung bayan dipercaya bisa membaca tanda-tanda alam dan memberi peringatan saat cuaca buruk akan terjadi di laut.
Salah satu ketua kelompok suku Laut di Lingga, Akub, mengatakan, mereka dapat mengetahui arah dan memperkirakan musim dengan membaca rasi bintang. Mereka juga memiliki pengetahuan wilayah perairan yang sangat baik dalam menentukan tempat dan waktu menangkap ikan.
”Kami cuma pakai serampang untuk tikam (menombak) ikan, tak ada alat lain. Kalau ambil (ikan) pun tak pernah banyak-banyak, yang penting cukup untuk makan satu hari,” ujar Akub.
Oleh karena itu, dulu ada ungkapan ”dunia suku Laut selingkar sampan” yang merepresentasikan kesederhanaan hidup mereka. Suku Laut tak pernah menimbun makanan juga barang dalam sampan karena kemewahan justru akan menyulitkan saat mengembara di laut.
Kesadaran menjaga kelestarian alam juga ditunjukkan suku Laut dengan tidak menangkap ikan di sejumlah tempat larangan, yaitu lokasi perairan dengan karang berwarna-warni. Mereka percaya karang yang memiliki warna-warna tajam adalah wilayah sakral tempat hantu laut bersemayam.
Stigma dan kemiskinan
Pada 1970-an, pemerintahan Orde Baru memulai program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing bagi suku Laut (PKMT) di Kepri. Ribuan rumah dibangun agar para pengembara laut meninggalkan cara hidup mengembara di sampan dan menetap di darat.
Program pemberian rumah bantuan bagi suku Laut itu terus berlangsung walaupun Orde Baru telah runtuh. Ida dan keluarganya mendapat bantuan rumah pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini, Ida dan keluarganya menetap di seberang Desa Tajur Biru yang dihuni orang-orang Melayu. Meskipun hanya dipisahkan selat sempit yang lebarnya hanya sekitar 300 meter, tetapi ketimpangan menganga amat lebar.
Setiap malam, warga kampung suku Laut memandang nanar ke perkampungan orang Melayu di seberang yang sudah terang. Padahal, jaringan PLN dari Pulau Temiang ke Tajur Biru sebenarnya melewati perkampungan suku Laut. Namun, ironis mereka yang hidup di bawah tiang listrik itu justru tak kebagian terang karena tak mampu membayar biaya sambungan Rp 2,5 juta.
Selain itu, anak suku Laut yang bersekolah sampai tingkat menengah bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan tidak tamat sekolah dasar. Padahal infrastruktur pendidikan sampai SMA, telah tersedia di Desa Tajur Biru.
”Orang suka mengejek, suku Laut itu kotor, suku Laut itu engga bagus, katanya rumahnya engga beres. Jadi karena itu, anak-anak merasa enggak nyaman dan berhenti sekolah,” kata Ida.
Guru Besar Antropologi Universitas Iowa, Cynthia Chou, dalam buku Indonesian Sea Nomads yang terbit dua dekade lalu mencatat, sejak dulu orang Melayu memiliki ketakutan kepada suku Laut. Kelompok etnis pengembara itu dianggap sangat sakti karena memiliki ilmu hitam.
Ketakutan kepada suku Laut itu akhirnya mewujud dalam sikap yang merendahkan. Hal ini salah satunya terlihat dari sikap orang Melayu yang takut menyantap ikan yang ditangkap atau makanan disajikan suku Laut.
Hal itu masih terjadi sampai saat ini. Salah satu contohnya, tauke (pengepul ikan) membeli ikan dengan harga lebih rendah apabila ada bekas luka serampang di tubuh ikan. Di Kepri, hanya suku Laut yang menggunakan serampang untuk menangkap ikan.
”Harga sotong (normalnya) Rp 40.000 satu kilo, tapi kalau ada luka serampang turun jadi Rp 25.000. Dari dulu orang darat takut kami pakai racun saat tikam (menombak) ikan, padahal tidak,” ujar Akub.
Baca juga: Pengembara Laut yang Dipaksa ke Darat
Suara dari dalam
Upaya negara untuk ”mendaratkan” suku Laut sejak empat dekade lalu ternyata tak berhasil membuat para pengembara itu bisa hidup beradab sesuai standar pemerintah. Kebijakan yang bias nalar daratan seperti itu justru membuat suku Laut semakin terkubur oleh stigma dan kemiskinan.
Peneliti sea nomads di Universitas Chulalongkorn, Thailand, Wengki Ariando, mengatakan, yang paling dibutuhkan suku Laut saat ini adalah akses pendidikan yang adil dan membebaskan. Dengan begitu diharapkan suatu saat suku Laut akan mampu memperjuangkan sendiri suara kelompoknya.
”Saat ini yang bersuara mengenai suku Laut justru orang luar seperti saya atau Anda. Apabila terus seperti ini sampai puluhan tahun ke depan pun tak akan ada perubahan yang berarti. Ke depan, perjuangan itu harus dimulai oleh mereka sendiri,” ucap Wengki.
Sudah waktunya pemerintah memberikan ruang bagi suara suku Laut untuk menentukan nasibnya sendiri. Jangan lagi pemerintah merancang suatu kebijakan hanya dari belakang meja yang justru mengabaikan realitas sehari-hari kelompok masyarakat adat tersebut.
Baca juga: Ekosistem Pesisir Rusak, Suku Laut di Kepri Kekurangan Bahan Pangan