Penyelundupan Pekerja Migran lewat Nunukan Tak Melulu Masalah Geografis
Tak hanya penegakan hukum, butuh sosialisasi yang kuat agar warga tidak tertipu dan tergiur bekerja ke luar negeri melalui jalur tak resmi dan tanpa bekal memadai.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Panjangnya wilayah perbatasan serta budaya masyarakat perbatasan menjadi dua faktor yang membuat penyelundupan pekerja migran Indonesia ke Malaysia melalui Nunukan, Kalimantan Utara, masih terus terjadi. Selain itu, besarnya jaringan penyalur tenaga kerja ilegal membuat praktik ini langgeng. Tak hanya penegakan hukum, butuh sosialisasi yang kuat agar warga tak tertipu dan tergiur bekerja ke luar negeri melalui jalur tak resmi.
Sebelumnya, dalam berita ”Kisah Pekerja Migran Menembus Negeri Jiran dengan Paspor ’Tembak’” (Kompas, 28/7/2022), sejumlah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur memperoleh paspor dengan sistem ”tembak”. Mereka membayar Rp 5 juta-Rp 10 juta per paspor yang diproses di Batam, Kepulauan Riau, atau Nunukan, Kalimantan Utara.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan Washington Saut Dompak tak menampik bahwa Nunukan memang manjadi salah satu pintu favorit bagi pekerja migran Indonesia (PMI) untuk melintas, baik secara legal maupun ilegal. Sebab, Nunukan berbatasan dengan Tawau, salah satu kota terbesar di Sabah, Malaysia, yang menjanjikan banyak pekerjaan. Namun, pihaknya belum pernah mendapatkan kasus mengenai paspor tembak tersebut di Nunukan.
”Pemohon paspor (di Nunukan), misalnya untuk tujuan bekerja di Malaysia, harus ada surat rekomendasi dari dinas ketenagakerjaan kabupaten. Yang datang ke kantor, kami arahkan dulu ke sana supaya tidak liar, agar mereka dapat sosialisasi dan pemahaman terlebih dahulu. Tidak asal berangkat ke luar negeri,” ujar Washington, dihubungi dari Balikpapan, Rabu (3/8/2022).
Ia mengakui bahwa banyak warga negara Indonesia (WNI) yang melintas melalui Nunukan melalui jalur tak resmi atau biasa disebut ”jalur tikus”. Para WNI itu berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Mereka bertujuan bekerja di Malaysia di perkebunan sawit atau menjadi pembantu rumah tangga.
Salah satu wilayah yang memiliki banyak jalur tikus adalah di Pulau Sebatik. Pulau seluas 530 kilometer persegi itu sebagian dikuasai Malaysia dan sebagian lainnya milik Indonesia. Karakteristik wilayah perbatasan semacam itu membuat banyak sekali jalur yang kerap digunakan untuk menyelundupkan orang dan barang.
Meskipun sinergi dengan aparat penegak hukum di perbatasan sudah dilakukan, keterbatasan personel dan luasnya wilayah membuat petugas kerap kecolongan. ”Kami tidak bisa 100 persen menangkal itu karena kami tutup di sini, mereka lewat sana (tempat lain). Di Sebatik ini paling banyak ’jalur tikus’. Ada 9 titik. Meski demikian, kami terus memperketat pengawasan,” katanya.
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Nunukan Komisaris Besar FJ Ginting menyebutkan, sejumlah kasus penyelundupan pekerja migran di Nunukan tengah ditangani kepolisian hingga pengadilan. Kasus paling banyak adalah tertangkapnya para calo yang menyelundupkan pekerja migran Indonesia yang tanpa dokumen resmi.
Para calo ini berjejaring dengan orang-orang di kampung-kampung yang menjadi kantong PMI, seperti di NTT, Jawa, dan Sulawesi. ”Calo ini berjejaring. Mulai dari daerah asal PMI sampai perbatasan Nunukan sendiri, bahkan ada juga yang bertugas di Malaysia. Kami sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Malaysia untuk mengurangi kejahatan ini,” kata Ginting.
Ia menjelaskan, perbatasan Malaysia-Nunukan memiliki tantangan tersendiri dari pengawasan. Sebab, perbatasannya berupa bentang pantai sepanjang 520 kilometer. Pantai tersebut juga dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Akibatnya, banyak yang kerap melintas menggunakan bantuan masyarakat. Sebab, jarak Pulau Sebatik bagian Indonesia menuju Tawau bisa dijangkau hanya dengan 20 menit perjalanan perahu cepat.
Ginting menjelaskan, persoalan di perbatasan Nunukan tak melulu mengenai persoalan geografis, tetapi juga menyangkut ikatan kekeluargaan dan budaya masyarakat. Setidaknya sejak 1930-an orang-orang dari Sulawesi, NTT, dan Kalimantan sudah bekerja ke Malaysia melalui Nunukan. Saat ini, sudah banyak keturunan Bugis, Jawa, dan NTT yang menjadi warga negara Malaysia.
Akhirnya, sejumlah calon pekerja migran sudah menganggap negeri jiran itu seperti kampung kedua. Di sana mereka bisa bertemu kerabat jauh, sekaligus ikut mengadu peruntungan dengan bekerja di sana, meski melalui jalur tak resmi dan tanpa bekal keahlian. Orang-orang yang tinggal di perbatasan pun kerap membantu mereka melintas lantaran menganggap itu merupakan bantuan untuk saudara jauh.
Padahal, praktik itu kerap membuat para pekerja migran itu kesulitan sendiri. Misalnya, sepanjang tahun 2022 ini saja, setidaknya terdapat 800 pekerja migran yang dideportasi dari Malaysia ke Nunukan. Sebagian besar dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia karena tak memiliki dokumen resmi dan terlibat kegiatan kriminal lantaran tak mendapat pekerjaan.
”Kami melakukan sosialisasi sekaligus menggandeng tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerhati kemanusiaan, dan organisasi kemanusiaan untuk melakukan pendekatan. Pesan utamanya, jadilah migran yang baik. Konsekuensi akan buruk jika menjadi pekerja migran yang tidak sesuai prosedur,” katanya.