Evolusi Penari Elok Pelaut Mandar
”Sandeq” merupakan bentuk kemerdekaan ekspresi pelaut Mandar. Mereka mampu beradaptasi menghadapi kondisi laut dalam dan kini tetap berinovasi demi mempertahankan kearifan lokal menghadapi gempuran perubahan zaman.
Sandeq lahir dari kemerdekaan ekspresi pelaut Mandar. Masyarakat suku yang mendiami jazirah barat Sulawesi itu mampu beradaptasi dan menciptakan perahu yang tangguh, ringan, dan lincah. Sandeq sangat anggun saat berlayar, bak gadis elok yang menari di atas ombak.
Iwan Ahmad (33) melompat dari sebuah perahu putih, mungil nan ramping. Perahu yang baru kembali setelah hampir satu malam mengarungi lautan lepas itu kemudian didorong sekuat tenaga ke daratan.
Perahu layar bercadik itu adalah sandeq. Warna cat yang dilumurkan ke seluruh tubuh perahu itu buram. Warna yang seakan mewakili keberadaan sandeq yang tertatih-tatih beradaptasi melawan gempuran zaman.
Belasan tahun yang lalu, saat Iwan masih remaja, dia tak sendiri mendorong perahunya ke darat. Puluhan orang yang berada di pesisir pantai saling bahu-membahu mendorong perahu yang baru tiba setelah berhari-hari mengarungi lautan lepas.
”Dulu dengan orangtua pakai sandeq yang besar. (Setiap kali berlayar), bisa 10 hari di laut,” kata ayah tiga anak itu, Jumat (22/7/2022) pagi, di pesisir Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Mereka menggunakan sandeq untuk mencari berbagai jenis ikan, seperti tuna dan kerapu. Selama di laut, ikan-ikan berukuran kecil yang diperoleh kemudian dibelah dan dikeringkan di tengah laut. ”Pernah sampai Balikpapan (Kalimantan Timur). Ikan yang kami dapat di laut itu tidak dibawa pulang ke rumah, tapi dijual di tempat yang kami singgahi,” ucap lelaki lulusan sekolah dasar itu.
Kenangan melaut bersama orangtua jadi salah satu alasan Iwan masih tetap menggunakan sandeq. Perahu yang dia gunakan saat ini ukurannya lebih kecil atau biasa disebut sandeq pangoli. Sandeq jenis ini biasanya digunakan sebagai alat transportasi jarak dekat atau untuk mencari ikan di daerah pesisir.
Perahu yang telah berumur 10 tahun itu juga telah dimodifikasi dan dilengkapi mesin. Mesin sengaja dipasang agar dirinya bisa tetap mencari ikan saat tidak ada tiupan angin di laut lepas. ”Kalau pas ada angin, motor saya matikan dan pakai layar. Lumayan bisa hemat bahan bakar,” ucap Iwan.
Evolusi ”sandeq”
Kini, sandeq nyaris tak lagi terlihat berlayar di pesisir Desa Pambusuang. Kapal yang lalu lalang di pesisir desa telah berganti dengan kapal atau perahu berbahan fiber dan sepenuhnya bertenaga mesin.
Sejumlah sandeq sebenarnya masih tersimpan di daerah pesisir dan di beranda rumah sebagian warga. Namun, perahu-perahu itu tampak tak terawat dan sudah jarang digunakan sebagai sarana penangkap ikan. Meski tak lagi berfungsi sebagai sarana penangkap ikan, bukan berarti sandeq mendekati ajalnya. Sandeq justru terus berevolusi menghadapi gempuran kemajuan zaman.
Sejak 1995, nelayan Mandar mulai menggunakan perahu tersebut untuk mengikuti ajang tahunan yang dikenal dengan Sandeq Race. Ajang ini merupakan salah satu wadah yang digagas peneliti maritim asal Jerman, Horst H Liebner, bersama nelayan setempat untuk tetap melestarikan keberadaan sandeq.
Lihat juga: Lomba Perahu Layar Tradisional di Polewali Mandar
Lomba yang hampir rutin digelar setiap tahun saat perayaan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia itu mati suri selama dua tahun, yakni pada 2020 dan 2021, akibat pandemi Covid-19. Pada 2022, ajang ini bakal kembali digelar dengan konsep yang berbeda, yakni Festival Sandeq 2022.
Ada 35 sandeq yang direncanakan mengikuti ajang tersebut dengan berlayar mengarungi Selat Makassar dari Sulawesi Barat dan berakhir di Kalimantan Timur. Festival yang dijadwalkan berlangsung pada September 2022 itu disambut antusias oleh nelayan, tukang, hingga pemilik perahu di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju. Warga mulai berlomba-lomba berinovasi menciptakan perahu yang tangguh, ringan, dan cepat.
Pada Kamis (21/7/2022) pagi, Muslim, tukang perahu di Desa Rangas Timur, Kecamatan Banggai, Kabupaten Majene, Sulbar, sibuk menghaluskan sebatang kayu menggunakan mesin. Kayu yang dihaluskan itu akan dipasang menjadi tiang layar. Dia sedang membuat dua sandeq, pesanan dari sejumlah pihak yang akan berpartisipasi dalam Festival Sandeq 2022.
”Sudah jadi tukang dari 1990-an. Artinya, belajar bikin-bikin perahu. Saya punya om, dia tukang. Makanya, kami tidak kaku, karena sering ikut sama om yang tukang dulu,” kata ayah dua anak itu.
Kami pelajari gerak sandeq ini dari ombak.
Pembuatan sandeq untuk ajang balap perahu berbeda dengan sandeq yang dahulunya digunakan untuk mencari ikan. Model sandeq yang digunakan nelayan ukurannya lebih pendek, yakni panjang 8 meter. Sementara, sandeq lomba atau balapan panjangnya mencapai 13 meter.
Bagian kepala dari perahu untuk keperluan balap juga didesain lebih runcing atau tajam. Kayu yang dipilih pun merupakan jenis kayu yang ringan, seperti bulu. Sementara, kayu yang digunakan pada zaman dulu merupakan kayu yang kuat dan tahan terhadap serangga/rayap, seperti tipulu dan palappi.
”Kami pelajari gerak sandeq ini dari ombak. Kalau perahu berat, saat ombak dia sedot air. Kalau runcing, dia membelah ombak. Itu yang bikin perahu sandeq makin cepat,” kata lelaki yang pertama kali jadi pengemudi sandeq pada 1982 itu.
Biaya pembuatan satu sandeq untuk kegiatan festival cukup fantastis, yakni bisa mencapai Rp 50 juta-Rp 60 juta. Biaya itu untuk membeli bahan dan perlengkapan pembuatan perahu, ongkos tukang, hingga biaya peserta yang bakal mengikuti lomba.
Lihat juga: Pameran Keberagaman Perahu Tradisional Nusantara
Hendrik (57), salah satu pengusaha penjualan mesin perkapalan di Majene, misalnya, sudah sejak 2005 terlibat dalam ajang Sandeq Race. Sampai saat ini, sudah empat perahu yang pernah dia buat untuk diikutkan dalam ajang tersebut.
”Saya rasa kalau generasi muda tidak (melestarikan), mungkin punah. Kalau kita mengandalkan pemerintah untuk ini, berat,” kata warga asal Polewali Mandar itu, Rabu (20/7/2022) siang.
Perahu untuk lomba Sandeq Race rata-rata panjangnya 13 meter, lebarnya 60 sentimeter, dan tingginya 1 meter serta memiliki cadik di sisi kiri dan kanan. Di bagian tengah perahu terbentang layar segitiga yang mampu mendorong perahu berlayar hingga kecepatan 40 kilometer per jam atau 20 knot.
”Jarang ada perahu yacht modern yang bisa menandingi kecepatan sandeq. Selain tangguh, sandeq juga tergolong elok dipandang. Bentuknya yang amat cantik membuat perahu bercadik ini tampak anggun bila berlayar di lautan, bagaikan seorang gadis elok yang menari di atas ombak,” kata Liebner, warga Jerman yang meneliti perahu tradisional di Sulawesi sejak tahun 1987, (Kompas, 7/8/2001).
Menurut Liebner, bentuk perahu yang memang elok itu ditunjang oleh angan-angan para pelaut Mandar yang ingin perahunya tampil paling bagus di antara perahu yang lain. Mereka umumnya membuat perahunya dengan bahan kayu pilihan, dikerjakan dengan rapi dan halus, kemudian dicat dengan warna putih bersih.
Sejak 1930-an
Menurut pengamat budaya Mandar, M Ridwan Alimuddin, sandeq mulai digunakan nelayan Mandar sejak 1930-an atau sekitar 100 tahun lalu. Nelayan Mandar mendiami jazirah barat Sulawesi, yang mencakup Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamuju, dan Mamuju Utara.
Mereka biasanya menggunakan sandeq untuk menangkap ikan, kebutuhan transportasi, hingga untuk perdagangan. ”Sandeq dia kecil, tetapi tangguh di laut dalam. Orang Mandar menciptakan perahu yang meskipun kecil mampu mengarungi lautan lepas,” ucapnya.
Di Indonesia, hampir semua perahu bercadik, badan perahunya terbuka. Perahu bercadik yang ada di Nusantara juga belum ada yang orientasinya menyeberangi laut selain sandeq. Sandeq mampu berlayar di lautan lepas karena badan perahunya tertutup sehingga air laut tak mudah masuk. Kondisi perahu yang tertutup itu jadi salah satu faktor sandeq tak bisa terbalik atau tenggelam saat diterjang badai.
Ini makin berevolusi ketika ada lomba. Dia betul-betul murni hanya untuk kecepatan.
Kemampuan menciptakan perahu yang kuat, tangguh, dan cepat serta mampu mengarungi lautan lepas itu merupakan bentuk kearifan lokal yang lahir dari pelaut Mandar sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi alam. Dahulu kala, pelaut Mandar sebelum mengenal sandeq menggunakan perahu pakur.
Pakur memiliki bentuk yang sangat mirip dengan sandeq. Hal yang membedakan pakur dengan sandeq adalah pada bagian layar. Layar pakur bentuknya segi empat dan bergerak lambat saat berlayar di laut.
”Apalagi ada tuna, tuntutannya semakin tinggi, harus segera tiba di darat. Maka dibuat sandeq. Meskipun cepat, sandeq masih bisa untuk bawa barang. Ini makin berevolusi ketika ada lomba. Dia betul-betul murni hanya untuk kecepatan,” kata Ridwan.
Sandeq merupakan bentuk kemerdekaan ekspresi pelaut Mandar. Mereka mampu beradaptasi menghadapi kondisi laut dalam dan kini tetap berinovasi demi mempertahankan kearifan lokal menghadapi gempuran perubahan zaman.