Adat yang Menjaga Napas Terakhir Hutan Riau
Warga yang masih kuat memegang adat istiadat di Riau mengambil langkah baru untuk melindungi hutan tersisa. Kisah mereka bagai suar yang terus berupaya bersinar dan menginspirasi di tengah berbagai kendala yang membelit.
Kemerdekaan Kenegerian Gunung Sahilan di masa reformasi dimulai saat Presiden Joko Widodo memberikan surat keputusan pengelolaan hutan desa pada 2017. Warga desa yang masih berkelindan dengan adat mengambil langkah baru untuk melindungi hutan yang tersisa. Namun, mempertahankannya tidak semudah mendapatkan kemerdekaan itu sendiri.
Darmus (59) masih menyimpan baik foto saat ia untuk pertama kalinya menjabat tangan pemimpin tinggi republik ini di Jakarta. Dalam balutan baju kurung merah muda, ia hadir sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), mewakili Hutan Desa Kenegerian Gunung Sahilan, di Kecamatan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar, Riau.
Optimisme berkecamuk setelah pemerintah pusat mempercayakan LPHD, yang terdiri dari pemangku adat atau ninik mamak, pemerintah daerah dari kepala desa hingga dusun, serta tokoh masyarakat lainnya, untuk mengelola lahan seluas 2.942 hektar.
Rinciannya, sebanyak 2.751 hektar merupakan kawasan hutan produksi terbatas dan 191 hektar hutan produksi tetap. Total luas hutan desa mencakup dua desa kenegerian, yakni Desa Gunung Sahilan dan Desa Sahilan Darussalam, lalu beberapa desa transmigrasi lainnya.
Kami ingin hutan kami lestari. Kami ingin melindungi hutan desa yang diamanatkan kepada kami, kata pria dari Suku Melayu itu, Rabu (27/7/2022).
Baca juga : Taman Nasional Tesso Nilo Kembali Terbakar
Menurut catatan kenegerian, di zaman Belanda pada abad ke-19, tanah ulayat bekas Kerajaan Kampar Kiri itu terhampar sekitar 98.000 hektar. Perlahan, wilayah itu berkurang menjadi 12.600 hektar, salah satunya karena masyarakat adat menyerahkan tanahnya kepada pemerintah untuk mendukung program transmigrasi di awal 1980-an.
Invasi perusahaan perkebunan secara legal membuat tanah ulayat semakin menciut. Perkebunan milik perusahaan kayu kini masih mengepung sebagian wilayah Hutan Desa Gunung Sahilan. Deforestasi juga marak karena pembukaan lahan perkebunan sawit yang jadi rebutan warga hingga korporasi sejak akhir abad ke-20.
Perubahan tutupan hutan alami berdampak signifikan pada kehidupan masyarakat. Luasnya hutan industri eukaliptus untuk produksi kertas di sekitar Hutan Desa Gunung Sahilan, misalnya, membuat lebah penghasil madu kabur. Akibatnya, mata pencarian sebagai petani lebah madu langka.
Selain masalah deforestasi, sungai yang menghidupi masyarakat Kenegerian Gunung Sahilan juga sudah tercemar akibat pembukaan tambang emas. Masalah ini, antara lain, ada di Sungai Tesso yang bermuara di kawasan Gunung Sahilan. Pencemaran membuat air sungai keruh dan ikan tidak sebanyak dulu. Masyarakat pun tidak lagi mengandalkan sungai sebagai sumber mata pencarian.
Di sana bahkan ada showroom mobil. Terbayang tidak, di taman nasional ada tempat jual beli mobil. (Darmus)
Berangkat dari masalah-masalah itu, pemerintah pusat menggandeng pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat untuk menyelamatkan kawasan penyangga Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) tersebut sejak 2016.
TNTN yang diresmikan sejak 2004 itu berlokasi di sisi timur Hutan Desa Kenegerian Gunung Sahilan. Kawasan itu juga telah lama mengalami kerusakan ekosistem. Berdasarkan data 2021, luasan TNTN yang awalnya 81.793 hektar, kini hanya menyisakan hutan alam seluas 13.750 hektar. Seluas 40.460 hektar telah menjadi kebun sawit.
Sebagian lagi menjadi permukiman warga dengan desa yang terus bermekaran. ”Di sana bahkan ada showroom mobil. Terbayang tidak, di taman nasional ada tempat jual beli mobil,” kata Darmus.
Ia pun tidak ingin tanah ulayat nenek moyangnya rusak karena tergerus arus modernisasi dan kerakusan oknum-oknum tertentu. Tanah komunal itu, menurut dia, harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh masyarakat secara bijaksana.
Meski demikian, layaknya negara baru merdeka, uluran tangan berbagai pihak dalam hal pemberdayaan, pengawasan, bahkan penegakan hukum masih dibutuhkan. Pemangku adat, yang berada dalam LPHD, terlihat masih bergerak sendiri. Kapasitas mereka tidak hanya terbatas dari jumlah orang dan pendanaan. Pemerintah daerah sendiri juga belum kuasa membantu mereka menjalankan rencana pemanfaatan ruang hutan desa yang sudah dibuat.
Pada September 2021, LPHD menemukan aktivitas perambahan ilegal di batas kawasan hutan desa. LPHD memperkirakan, ratusan hektar kawasan perbatasan hutan desa sudah dirambah dan dijual. Padahal, LPHD sudah membuat parit sedalam dua meter dan lebar dua meter, sepanjang 35 kilometer, dengan anggaran mandiri untuk mengurangi perluasan aksi melanggar hukum tersebut.
Namun, oknum perambah hutan menimbun kanal untuk jalan masuk alat berat dan melakukan aksi pembalakan. Dalam satu kesempatan, LPHD pernah memergoki alat berat itu bekerja, tetapi sering kali kedatangan mereka bocor sehingga pelaku kabur. Berdasarkan investigasi, oknum itu juga merupakan warga adat yang dikenal baik.
Mereka bermufakat dengan oknum luar untuk membuka kebun kelapa sawit. Bukti demi bukti sudah mereka kumpulkan dan laporkan ke dinas, serta lembaga penegak hukum terkait di kabupaten hingga provinsi. Namun, pihak tersebut belum memberi penindakan tegas.
Hingga pada Selasa (9/8/2022), para ninik mamak berinisiatif mengadu langsung ke pemerintah pusat di Jakarta. Empat dari sembilan anggota ninik mamak menemui pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari Direktorat Perhutanan Sosial. Aduan mereka ditanggapi positif dan akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan ke lapangan.
Ulil Amri, selaku pendamping hutan desa dari lembaga swadaya masyarakat Yayasan Mitra Insani, mengakui, tantangan dalam pendampingan warga di hutan desa ini cukup berat. Perambahan yang sudah berusaha dicegah dan dilaporkan sampai saat ini belum mendapatkan solusi.
”Harapan kami, setelah adanya izin hutan desa ini, masyarakat diberi jalan keluar karena ini benteng terakhir kawasan TNTN,” ujar Ulil.
Suprizal, Sekretaris Desa Sahilan Darussalam, mengakui bahwa desa belum bisa berbuat apa-apa untuk membantu mengembangkan dan mengawasi hutan desa. Belum adanya peraturan desa khusus diakui tidak bisa membuat anggaran desa, yang hampir mencapai Rp 1 miliar, diberikan untuk mendukung kemajuan hutan desa.
”Kalau aturan itu membolehkan, desa akan menganggarkan. Selama ini, dana desa kami masih untuk penanganan pandemi Covid-19, ketahanan pangan, air bersih, kesehatan, dan pendidikan,” ujarnya. Jika produk hukum atas anggaran itu ada, seluruh desa di dalam kawasan Hutan Desa Gunung Sahilan akan bisa fokus pada pengembangan hutan desa.
Adat sebagai benteng
Adat istiadat di Kampar Kiri
Janji perbuatan purba kala
Menjadi benteng luhak negeri
Agar terjauh sengketa dan bala
Demikian sepotong bait dalam satu syair adat Kerajaan Kampar Kiri. Konon, masyarakat adat terikat dalam perjanjian adat atau yang dikenal dengan Sumpah Satie. Perjanjian itu ditulis di sebuah batu yang kemudian ditenggelamkan di perairan sungai yang dalam agar tidak ada seorang pun mampu mengambil dan mengubahnya.
Perjanjian yang sudah ditulis itu pun terus disampaikan ke anak cucu bersama dengan kisah sejarah nenek moyang Kampar Kiri yang diriwayatkan berkerabat dengan Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Sejarah dan perjanjian adat yang dinamai tambo itu terus diestafetkan, baik melalui tradisi lisan maupun tulisan. Sampai saat ini, tambo masih digaungkan dalam berbagai kesempatan, seperti pertemuan suku dan hari besar Islam.
Datuk Besar Kenegerian Gunung Sahilan H Marwas mengatakan, salah satu perjanjian yang terus diturunkan adalah mengenai kewenangan para ninik mamak untuk menjaga tanah dan air di wilayah ulayat dari pelanggaran yang mungkin dilakukan anggota masyarakat adat. Bentuk kesalahan itu seperti memperjualbelikan tanah ulayat untuk kekayaan pribadi.
”Jangankan anak kemenakan, Datuk Besar sendiri tidak boleh menjual tanah ulayat. Kalau tujuannya untuk mencari kekayaan, itu sudah melanggar sumpah adat,” katanya tegas.
Setali tiga uang dengan kepercayaan masyarakat Talang Mamak yang mendiami wilayah selatan Riau, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hulu, yang dulunya juga menjadi wilayah kerajaan Indragiri. Masyarakat proto Melayu itu memiliki pepatah yang berbunyi, ”Gulu ndak dimakan gadai, dual ndak dimakan beli”. Pepatah itu menjelaskan bahwa masyarakat mereka tidak mengenal jual beli bagi tanah ulayat mereka yang keramat.
”Warga di sini mata pencarian utamanya ke hutan. Dari anak muda sampai tua, lajang sampai yang sudah berkeluarga, mereka ke hutan bisa berhari-hari, mencari (rotan) kelukup atau hasil hutan lainnya. Ini salah satu alasan kami menjaga hutan karena yang kami pikirkan beberapa tahun mendatang sampai cucu dan cicit, bukan sekarang,” tutur Muhammad Nasir, kepala pemangku adat atau yang dikenal dengan nama muncak di Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal.
Sebagian masyarakat Talang Mamak masih hidup secara tradisional dengan mengolah hutan. Mereka turun-temurun menjalankan aktivitas berladang. Di hutan, masyarakat menikmati hasil tanaman karet, jernang, damar, kelukup, pinang, durian, duku, langsat, jagung, hingga petai.
Sumber hutan itu masih banyak dimanfaatkan masyarakat, termasuk yang mendiami zona tradisional Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Di taman nasional itu, masyarakat tradisional ini menempati lima dusun di sepanjang Sungai Batang Gansal.
Mata Nasir berbinar saat menunjukkan hutan tinggi nan lebat kepada Kompas yang ikut menyusuri Sungai Batang Gansal, Kamis (28/7/2022). Pemandangan itu jauh berbeda dengan kawasan di luar zona TNBT yang sudah lebih banyak disulap menjadi kebun kelapa sawit. Tutupan hutan yang masih alami yang dijaga sesuai kearifan adat membuat kehidupan masyarakat berkecukupan, belum lagi dari hasil menangkap ikan di sungai atau beternak lebah madu yang memberikan nilai tambah bagi ekonomi mereka.
Meski demikian, beberapa petak kecil hutan terlihat ditanami kelapa sawit. Nasir tidak menampik fakta tersebut. Ia bahkan pernah mengalami sendiri ketika pihak dari luar menawarkannya uang ratusan juta rupiah agar menyerahkan tanah masyarakat. Para oknum dari luar itu bahkan kerap mengambinghitamkan masyarakat dengan mencicil uang dan memodali pembukaan lahan agar peran mereka tidak ketahuan.
”Kalau kami enggak sabar dan serakah, mereka giring kami masuk penjara. Mereka (beri) modal Rp 500 juta, pinjami kami alat berat, belikan bibit. Kalau buka lahan sampai 300-400 hektar pasti ketahuan karena bertentangan dengan pemerintah. Inilah yang perlu terus kami (pemangku adat) sosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, 25 persen wilayah yang didiami masyarakat Talang Mamak di kawasan TNBT terbilang masih terjaga. Adanya larangan membuka lahan dan berkebun sawit yang dikeluarkan TNBT berperan penting. Sementara itu, 75 persen wilayah di luar itu sudah nyaris semuanya tergantikan kebun kelapa sawit. Hal ini akibat berkebun kelapa sawit menjadi mata pencarian primadona masyarakat Talang Mamak di tahun 2005.
Baca juga : Menggotong Motor Melewati Banjir di Kawasan Hutan
Kepala Balai TNBT Fifin Arfiana Jogasara memastikan mereka bertanggung jawab dalam menggandeng masyarakat untuk mengelola kawasan dan satwa yang dilindungi di sana. Ia percaya, masyarakat Talang Mamak sejak turun-temurun sudah paham cara hidup damai bersama hutan dan isinya.
”Dengan sendirinya mereka menjunjung tinggi kearifan lokal dan jaga keberadaan kawasan hutan. Mereka tetap bisa hidup dengan situasi tersebut dan tidak berlebihan,” ujarnya saat dihubungi per telepon.
TNBT juga ikut serta mendampingi masyarakat yang tinggal di dalam kawasan. Misalnya, melakukan pengawasan saat masyarakat membuka lahan dengan pembakaran untuk berladang. Kemudian, mengawasi aktivitas perambahan hutan yang ilegal lewat patroli rutin oleh polisi hutan. Kolaborasi itu terus dijalankan dengan berbagai bentuk kekurangan dan tantangan, seperti dari jumlah dan integritas sumber daya manusianya.
Pengakuan
Keberadaan masyarakat Talang Mamak, yang diriwayatkan juga berkerabat dengan Kerajaan Pagaruyung itu, sayangnya belum diakui sebagai adat melalui peraturan daerah. Gilung, Ketua AMAN Kabupaten Indragiri Hulu, mengatakan, pengakuan itu dibutuhkan agar masyarakat dapat lebih melindungi aturan adat dan sumber daya manusia, serta alam di tanah ulayat mereka.
”Di kabupaten kami sudah memperjuangkan pengakuan ini selama tujuh tahun. Namun, belum ada capaian dan malah tidak diproses. Kami minta sekurang-kurangnya ada peraturan daerah yang dikeluarkan bupati. Mereka malah menganggap pengakuan itu bisa mengusir masyarakat di luar adat. Padahal, prinsipnya hanya ’di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’,” ujar pemuda Talang Mamak itu.
Ingat sebelum kena, berhemat sebelum habis
Belum adanya pengakuan terhadap masyarakat dan kawasan adat, ia nilai memudahkan pemerintah dan pihak luar bertindak semaunya. Contohnya, mengeluarkan izin jual beli tanah ulayat melalui kepala desa hingga standar ganda aturan penggunaan lahan oleh perusahaan dan masyarakat.
Dari potret di dua wilayah berbeda di Riau ini terlihat bagaimana keluhuran adat sejak lama telah menggaungkan kebijaksanaan dalam mengelola, memanfaatkan, dan menjaga hutan. Sebuah inspirasi yang layak disebarkan dan ditularkan hingga ke pelosok negeri. Namun, masyarakat adat seperti di Riau ini juga membutuhkan kuasa pemerintah untuk membantu menyelamatkan hutan mereka.
Sebagaimana pepatah Melayu mengatakan, "Ingat sebelum kena, berhemat sebelum habis".