Suku Talang Mamak Belajar Merdeka sejak di Halaman Rumah
Hidup sebagai peladang tidak menjamin masyarakat suku Talang Mamak di Riau bisa mengonsumsi beragam sayur mayur. Namun, kini mereka belajar untuk merdeka dengan kebun sayur di pekarangan rumah mereka.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Hidup sebagai peladang di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh tidak menjamin masyarakat suku Talang Mamak bisa mengonsumsi beragam sayur mayur. Di pedalaman Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, warga harus pergi jauh ke kota atau menunggu pedagang dari luar hanya untuk membeli kebutuhan pangan itu.
Namun, sudah dua bulan terakhir, 30 keluarga di RT 010 Dusun Bengayoan bisa lebih sering mengonsumsi bermacam-macam sayuran, antara lain kacang panjang, kangkung, terong, cabai, pare, sawi, dan mentimun. Semuanya dihasilkan dari lahan seluas 400 meter persegi yang ada di sekitar rumah warga.
Pada Kamis (28/7/2022) siang, seorang pemuda membawa pulang sebungkus plastik berisi seikat kacang panjang dan mentimun yang baru dipanen. Sayuran itu ia dapat dari hasil panen bersama yang dikumpulkan dan dibagikan lagi ke warga. Beberapa warga lain juga terlihat bahagia bisa membawa pulang hasil panen kebun hari itu.
Toto Sugiarto, Ketua RT 010, mengatakan, sayur mayur seperti itu sempat menjadi barang langka dan mahal di daerah mereka. Warga hanya bisa membeli barang itu setiap Sabtu di Desa Seberida yang jaraknya setengah jam lewat jalur darat dengan sepeda motor. Pedagang sayur dari luar juga suka mendatangi permukiman mereka, tetapi itu juga hanya seminggu sekali.
”Warga di sini (awalnya) hanya bisa menanam pakis, singkong, yang dimakan jadi sayur. Kalau beli sayuran lain bisa, tapi harus ke Desa Seberida. Mahal di ongkos,” kata Toto.
Sulitnya mengakses beragam sayuran sebagai sumber gizi tambahan menjadi alasan kebun tanaman sayuran itu dibuat di wilayah itu. Warga tidak memulainya sendiri. Mereka dibantu tim dari organisasi konservasi internasional Frankfurt Zoological Society (FZS) yang bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT).
Sukarjo, salah satu fasilitator dari FZS, mengatakan, mereka mengenalkan program sekolah lapang untuk mengatasi tantangan tersebut. Program itu berlangsung enam bulan dengan pertemuan seminggu sekali yang diisi kelas teori dan praktik. Mereka utamanya mengajak ibu-ibu, tetapi suami atau anak paling besar di keluarga juga bisa ikut menggantikan.
Pada pertemuan hari Kamis itu, warga diajarkan sanitasi dalam bertani. Salah satunya, membersihkan rumput atau gulma yang bisa menghalangi pemupukan hingga pertumbuhnya tanaman. Setelah mendapatkan kelas teori, mereka langsung mempraktikkannya di kebun.
Shinta, seorang warga, terlihat bersemangat mengarit rumput liar di sekitar blok tanaman jagung di kebun Sekolah Lapang itu. Pekerjaan itu sudah biasa ia lakukan saat berladang. Namun, ia mengaku lebih senang melakukannya di kebun itu. ”Sudah biasa (mengarit). Tapi, biasanya di ladang yang tempatnya jauh, ini di dekat rumah,” ujarnya.
Alasan mengadakan sekolah lapang di dekat rumah warga bukan untuk menggantikan kebiasaan berladang warga, melainkan membantu menjaga ketahanan pangan mereka. Sukarjo mengatakan, kegiatan itu meniru program yang pernah dibuat pemerintah sekitar tahun 1997 untuk mengendalikan hama wereng. Mereka juga mendukung arahan pemerintah untuk mengupayakan pertanian organik.
Sebelum program sekolah lapang dibuat, mereka mengadakan Rapid Rural Appraisal (RRA) atau Penilaian Pedesaan Partisipatif untuk melihat kebutuhan serta kapasitas awal masyarakat. Kondisi kecukupan gizi hingga keahlian bertani pun jadi pertimbangan.
”Mereka selama ini cuma makan sayur, seperti daun pakis dan singkong. Padahal, ada sayur lain yang bisa membantu mereka memenuhi kecukupan nutrisi. Selain itu, kita juga ingin meningkatkan sikap dan keterampilan mereka dalam bertani dari pembenihan hingga panen,” ujarnya.
Pihaknya berkomitmen agar warga tetap menjaga kelangsungan lingkungan dan kesehatan warga. Selain dengan tidak membuka lahan baru yang memang dilarang dalam aturan TNBT, masyarakat juga tidak menggunakan teknologi yang merusak lingkungan dan kesehatan, seperti pupuk atau insektisida sintetis.
”Semua (dikembangkan) secara organik. Ada pengendalian hama terpadu, hama bisa ditangkap, disuluh. Kita tidak kenalkan teknologi insektisida, yang bahayakan kesehatan, tapi dengan cara alami dan bahan dari alam,” ungkapnya.
Program itu juga berusaha mengenalkan cara bertani yang lebih produktif pada tanaman yang biasa masyarakat tanam secara tradisional, seperti petai dan pinang. Selain lewat praktik lapangan, masyarakat juga diajari teori yang mengharuskan mereka mencatat. Ini juga menjadi kesempatan untuk melancarkan kemampuan baca tulis di kalangan warga.
Kepala Balai TNBT Fifin Arfiana Jogasara mendukung program yang sudah dua tahun menyentuh masyarakat di zona tradisional taman nasional itu. Seperti diketahui, sebagian kecil kawasan itu sejak dahulu dihuni masyarakat suku Talang Mamak, khususnya di sepanjang Sungai Gansal.
Di bagian TNBT Riau terdapat lima dusun yang menjadi lokasi tinggal masyarakat, yaitu Dusun Bengayoan, Sadan, Nunusan, Suit, dan Datai. Jumlah masyarakat suku Talang Mamak yang menempati kawasan TNBT di Riau, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indragiri Hulu, mencapai 25 persen dari total populasi suku itu di negeri Lancang Kuning. Keberlangsungan mereka menjadi tanggung jawab pemerintah melalui TNBT.
TNBT kerap bermitra dengan lembaga swasta untuk meningkatkan keahlian dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan kawasan. Beberapa kelompok tani pun terbentuk untuk mengolah hasil bumi, seperti madu kelulut, rotan kelukup, aren, hingga pinang. Kini, masyarakat juga bisa menghasilkan tanaman lain yang bisa memenuhi kebutuhan harian mereka lewat kegiatan sekolah lapang.
”Ini berhasil membuat masyarakat mengupayakan ketahanan pangan, penambahan gizi, ada penambahan pendapatan dari barang yang dijual. Manfaatnya juga sekarang saat harga cabai mahal, mereka bisa konsumsi dari tanaman yang ditanam sendiri dengan manfaatkan lahan depan rumah,” tuturnya.
Perubahan iklim yang telah mengganggu ketahanan pangan, termasuk deforestasi yang sudah lebih dulu merusak ruang hidup masyarakat di luar kawasan TNBT, menjadi ancaman yang harus diantisipasi segera. Untuk menahannya, masyarakat Talang Mamak di TNBT kini setidaknya sudah bersiap dengan bekal kemerdekaan dari halaman rumah mereka.