Bermodal Ternak dan Keripik Salak, Sebuah Desa Bertekad Menyelamatkan Hutan
Gelombang perubahan sosial di Desa Werdhi Agung Selatan bermula dari aliran modal sebesar Rp 110 juta. Nominal itu mengembangkan sebuah kelompok usaha dan menjadikan warga desa duta penyelamat hutan taman nasional.
Gelombang perubahan sosial di Desa Werdhi Agung Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow bermula dari aliran modal sebesar Rp 110 juta. Nominal itu tak hanya membantu sebuah kelompok usaha lepas landas menuju kemakmuran, tetapi juga menjadikan para penduduk ”enklave” Bali di Sulawesi Utara itu duta pemulihan ekosistem hutan taman nasional.
”Bantuan itu dari EPASS (Enhancing the Protected Area System in Sulawesi). Setelah itu, kami didampingi penyuluh dari Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (untuk mengelolanya),” kata Ni Luh Sari Wati (47), Selasa (19/7/2022), di pekarangan rumahnya di Dusun I Desa Werdhi Agung Selatan, sekitar 224 kilometer di barat daya Manado.
Wanita yang akrab disapa Ni Luh itu adalah bendahara Kelompok Tani Hutan (KTH) Gunung Lanying. Sedangkan EPASS yang ia sebut ialah sebuah proyek internasional pelindungan keanekaragaman hayati yang bekerja di tiga area konservasi di Sulawesi, salah satunya Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
Pada 2020, EPASS menghibahkan dana usaha kepada KTH di desa-desa penyangga kawasan konservasi. KTH Gunung Lanying di Desa Werdhi Agung Selatan memenuhi kriteria ini. Sebab, bagian selatan desa itu berbatasan langsung dengan kawasan TNBNW yang ditumbuhi pepohonan seperti nantu, cempaka, kemiri, aren, dan pala.
Tentu warga desa tak bisa sembarangan memanfaatkan wilayah pelestarian ekosistem itu, apalagi menebangi pohonnya. Pembiayaan EPASS pun menghadirkan sumber pendapatan alternatif. ”Dengan dana bantuan itu, ada beberapa item yang kelompok kami beli. Yang pertama, ternak babi dan sapi,” kata Ni Luh.
Enam bulan setelah dana bantuan dicairkan pada Juli 2020, usaha KTH Gunung Lanying yang beranggotakan 20 keluarga berkembang pesat. Per Januari 2021, indukan babi yang tadinya sembilan ekor bertambah menjadi 10 dan beranak sebanyak 76 ekor.
Baca juga: "Bali Kecil" Tersembunyi di Bumi Totabuan
Para pembeli dari dalam dan luar desa datang silih berganti ke kandang milik kelompok di belakang rumah Ni Luh. Uang yang masuk ke kas mereka mencapai Rp 40,8 juta. ”Ternak inilah yang menopang kelompok kami dari nol,” ujarnya.
Pada Juli 2022, jumlah induk babi telah bertambah menjadi 13 dengan 200-an anakan. Jika seekor anak babi dibanderol Rp 1 juta, pemasukan KTH Gunung Lanying selama dua tahun diperkirakan telah mencapai Rp 200 juta. Prospek ternak di masa depan semakin cerah karena satu dari tiga induk sapi milik kelompok sudah bunting.
Para anggota KTH Gunung Lanying pun membuktikan, tak perlu merambah hutan demi meraup untung. Malahan, mereka sepakat menyisihkan sebagian uang kelompok untuk membeli ratusan bibit pohon kemiri. Bibit tanaman asli TNBNW itu akan ditanam di dalam kawasan hutan secara swadaya sebagai upaya pemulihan dan pelestarian ekosistem hutan.
I Wayan Supoto, Sangadi (Kepala) Desa Werdhi Agung Selatan, menilainya sebagai suatu gebrakan positif warga. ”Bukit sekitar desa akan ditanami kemiri. Selain untuk mencegah tanah longsor, ada pula hasil yang nantinya bisa dimanfaatkan petani,” ucapnya.
Kendati begitu, menurut Ni Luh, kelompoknya masih bisa berbuat lebih untuk menyejahterakan anggota sekaligus merawat hutan. Maka, sejak awal 2021, KTH Gunung Lanying memperluas lini bisnisnya dengan membuat keripik dari salak yang tumbuh subur di desa.
Hasil panennya cukup untuk bahan baku keripik.
Tak sedikit dari 1.100 warga Desa Werdhi Agung Selatan yang menanam salak di pekarangan rumah sendiri. Jika dijumlah, kata Ni Luh, luas kebun rumahan mencapai 3 hektar. Masih ada pula 15 hektar di area perkebunan. ”Jadi, hasil panennya cukup untuk bahan baku keripik,” ujarnya.
Kendati begitu, I Nengah Candra Weda (53), suami Ni Luh, mengatakan, warga tak pernah tahu jenis salak tersebut. ”Waktu saya kecil, banyak pedagang salak dari Sangihe yang datang. Warga beli, lalu coba tanam sendiri, dan ternyata tumbuh subur,” katanya.
Kini, warga melakukan penyerbukan sendiri dan pohon akan berbuah empat bulan kemudian. Salak yang dihasilkan manis, tetapi tak kehilangan karakteristik sepatnya. Menurut Nengah, rasa buah yang demikian dapat diidentifikasi dari warna kulitnya, yaitu coklat tua di bawah dan kekuningan di pucuknya.
Demi meraup nilai tambah dari potensi salak di desa, pada Januari 2021, KTH Gunung Lanying membeli dua alat pengolah keripik, yaitu penggoreng hampa udara (vacuum frying) dan mesin peniris minyak (spinner) dari Jawa Timur. Biaya sekitar Rp 20 juta diambil dari dana hibah EPASS pula.
Kedua mesin itu kini berada di sebuah rumah produksi berdinding tripleks hijau muda di halaman depan rumah Ni Luh dan Nengah. Di sanalah seluruh tahapan pengolahan keripik salak terlaksana, dari pengupasan kulit buah dan kulit ari, pengeluaran biji, pencucian, penggorengan, hingga pengemasan.
Baca juga: Pendampingan Masyarakat Sekitar Hutan Harus Terintegrasi
Menurut Ni Luh, para ibu anggota kelompok biasa mengupas salak bersama-sama secara manual. Saat itulah proses kontrol kualitas berlangsung. Mereka memastikan hanya daging buah yang kering dan padat yang lolos menjadi bahan keripik, sedangkan yang berwarna gelap karena terlalu matang dibuang agar kerenyahan keripik sama rata.
Kemudian, daging buah salak digoreng dengan minyak mendidih selama 90 menit di dalam tabung mesin vacuum frying . Setelah matang, kelebihan minyak pada kepingan keripik ditiriskan dengan spinner. Akhirnya, setiap 10 kilogram buah salak yang dipanen dari kebun susut menjadi 1 kg keripik.
Tanpa satu pun bahan kimia tambahan, seperti pengawet ataupun penyedap, keripik salak bermerek dagang Lanying itu sudah sangat lezat dan bisa tahan setidaknya enam bulan. Terakhir, keripik dikemas dalam kantong 75 gram, disegel, dan siap dipasarkan seharga Rp 17.000 per bungkus.
Pendampingan
Keripik Salak Lanying sebenarnya nyaris tak memiliki saingan di pasar karena tak ada produsen keripik salak lain di Sulut. Namun, ternyata memasarkannya tidaklah mudah. Menurut Ni Luh, bobot keripik yang terjual dalam satu bulan rata-rata hanya 3 kg.
Baca juga: Tingkatkan Nilai Tambah Produk Perhutanan Sosial
”Pemasukan satu bulan dari keripik mungkin baru Rp 500.000, tidak cukup dibagi ke semua anggota kelompok. Ini karena kami belum bisa masukkan produk ke swalayan. Kami sudah sempat coba dulu, tetapi tidak bisa karena belum ada sertifikasi halal,” kata Ni Luh.
Untungnya, pendamping dari Balai TNBNW tak pernah meninggalkan KTH Gunung Lanying. Setelah mendapatkan nomor pangan industri rumah tangga (PIRT) pada Maret 2022, para pendamping membantu Ni Luh dan anggota lainnya untuk mendapatkan sertifikasi halal yang terbit pada Juni 2022.
Harapan Ni Luh dan kelompoknya akan pemasaran yang lebih lancar juga disambut komitmen Kepala Balai TNBNW Supriyanto. Ia menyatakan, para personelnya turun langsung untuk bernegosiasi dengan beberapa toko swalayan sembari meminta bantuan Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Bawa manfaat
Kini, Balai TNBNW mendampingi 35 kelompok usaha di 32 desa penyangga hutan taman nasional, salah satunya KTH Gunung Lanying. Padahal, pembinaan usaha rakyat tidak termasuk dalam fungsi utama balai, yaitu melindungi, mengendalikan, dan mengawetkan ekosistem asli taman nasional.
Namun, kata Supriyanto, tiga fungsi utama itu hanya akan terlaksana dengan baik jika pihaknya dapat memastikan warga di desa-desa penyangga tidak bergantung pada hutan TNBNW dalam pola hubungan yang ekstraktif. Caranya, dengan menciptakan sumber pendapatan alternatif dalam bentuk usaha rakyat.
Kalau mereka bisa memanfaatkan hutan secara lestari, gangguan-gangguan di kawasan bisa dieliminasi.
KTH Gunung Lanying ia sebut sebagai kisah sukses dari upaya ini. Sebab, kelompok ini tak hanya sukses memberdayakan anggotanya, tetapi juga berinisiatif sendiri untuk terlibat pemulihan ekosistem kolaboratif (PEK) hutan dengan menyediakan bibit-bibit kemiri.
Namun, pada saat yang sama, di wilayah desa penyangga lainnya, kerusakan hutan sedang berlangsung. Dari wilayah tutupan hutan seluas 282.089,93 hektar, diperkirakan ada 6.848,33 hektar area terbuka yang disebabkan, antara lain, pembalakan liar dan pertambangan emas tanpa izin. Ada pula perburuan satwa liar dilindungi.
”Kategori pelakunya ada tiga. Pertama, orang yang tamak, yaitu pemodal yang sudah kaya tetapi masih mengganggu kawasan sehingga harus ditindak hukum. Kedua, masyarakat yang tidak paham fungsi taman nasional sehingga butuh sosialisasi. Ketiga, masyarakat yang tidak punya pekerjaan lain dan bergantung sekali pada kawasan. Yang ini harus kita carikan solusinya, harus ada semacam alih profesi,” kata Supriyanto.
Dalam situasi ini, Balai TNBNW berupaya memadukan pengembangan usaha rakyat dengan intensifikasi PEK. Masyarakat desa penyangga diajak menanam pohon asli hutan TNBNW yang menghasilkan buah, seperti kemiri. Di masa depan, buah dari pohon-pohon itu dapat dimanfaatkan sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti di Werdhi Agung Selatan.
Potensi HHBK, kata Supriyanto, terbilang besar. Sebagai gambaran, jika setiap hektar dari 6.848,33 hektar lahan terbuka di TNBNW ditanami 100 pohon kemiri, diprediksi akan ada 68.483,3 ton buah yang dipanen setiap tahun dengan nilai jual Rp 342,4 miliar. Dengan asumsi satu orang dapat mengelola lahan 2 hektar, PEK dapat memberikan pekerjaan bagi 3.424 orang.
”Masyarakat harus dijadikan subyek pengelolaan kawasan bersama-sama dengan kami. Kalau mereka bisa memanfaatkan hutan secara lestari, gangguan-gangguan di kawasan bisa dieliminasi. Dengan begitu, keberadaan taman nasional mampu memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat,” ucap Supriyanto.
Lihat juga: Jalan Tengah Kemerdekaan Energi di Desa Mengkang