Semua simbol dalam dholomani menjadi nilai yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Nilai itu diharapkan melekat dan benar-benar dilakukan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, tidak hanya sekadar simbol.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Fokus menyelesaikan pesanan jahitan yang dikejar tenggat, Husain (51) kaget saat seorang anaknya berteriak kegirangan dari ruang tengah. Ia berlari dan melihat Presiden Joko Widodo di layar kaca memakai dholomani, pakaian kebesaran Sultan Buton yang penuh filosofi kepemimpinan. Sebuah pakaian yang baru tuntas dijahitnya empat hari lalu.
Seketika kediamannya riuh. Presiden Jokowi akhirnya telah menentukan pakaian yang dipakainya di Hari Perayaan Ke-77 Kemerdekaan RI, yaitu dholomani buatan Husain. Ia pun berucap syukur tiada henti. Perasaaan haru menghinggapi warga Kota Baubau, kota terbesar di Pulau Buton, ini.
”Alhamdulillah, tidak sangka diberi kepercayaan menjahit baju untuk Presiden. Apalagi, sampai tadi pagi, belum pasti baju yang akan dipakai Pak Jokowi yang mana,” ceritanya saat dihubungi dari Kendari, ibu kota Sultra.
Layar kaca di depannya menampilkan Upacara Peringatan Detik-detik Kemerdekaan. Presiden Jokowi memakai dholomani berwarna merah, dengan ornamen berwarna perak.
Setelah berucap syukur dan beberapa lama memandangi layar kaca, ia kembali ke ruang kerja. ”Masih ada pesanan baju untuk Pak Wali Kota (Baubau) yang harus selesai sore ini. Harus bertanggung jawab karena saya sudah bilang siap saat ada pesanan,” katanya.
Ayah tiga anak ini bercerita, ia mendapatkan telepon dari Wa Ode Nursanti Monianse, istri Wali Kota Baubau Ahmad Monianse, Rabu (10/8/2022). Saat itu, ia diberi tahu untuk menjahit pakaian dholomani untuk Presiden Jokowi. Pembuatan pakaian hanya diberi waktu dua hari.
”Dua hari itu sebentar sekali kalau bikin baju. Begitu dalam hati saya bilang karena biasanya seminggu baru selesai,” kata Husain. Namun, ia tidak mau melewatkan kesempatan besar nan langka ini. Ia pun menyanggupi permintaan tersebut.
Presiden Jokowi memang rutin memakai pakaian adat saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di Istana. Tradisi ini dimulai pada 2017, di mana ia mengenakan pakaian adat dari Batulicin, Kalimantan Selatan. Sementara itu, Jusuf Kalla, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden, memakai pakaian adat Bugis, Sulawesi Selatan.
Sejak saat itu, Presiden terus memakai pakaian adat dari berbagai daerah saat memimpin upacara perayaan HUT Kemerdekaan. Terakhir, pada 2021, ia memakai pakaian adat Pepadun dari Lampung.
Keesokan harinya, bersama Nursanti, ia mencari kain. Kesulitan pertama ditemui karena kain berwarna merah dari beludru agak sulit didapatkan di Baubau. Kain untuk dholomani biasanya berwarna hitam. Setelah berkeliling toko, kain tersebut ditemukan meski tidak sama persis dengan kain yang biasa ia pakai.
Setiba di kediamannya, ia tidak langsung mengerjakan. Ia memiiki banyak pesanan sebelumnya. Ia harus bertanggung jawab menyelesaikan pesanan yang telah kadung dibuat. Terlebih lagi, membuat baju pesanan khusus juga harus fokus dan sepenuh hati.
Baru pada Jumat pagi, ia mulai membentangkan kain dan membuat pola. Semua pikiran dan tenaganya ia curahkan. Berjam-jam ia habiskan di depan mesin jahit, bahkan terus berlanjut sampai Sabtu dini hari. Pekerjaan masih jauh dari tuntas, baru di kisaran 50 persen.
Beristirahat beberapa jam, Sabtu jelang siang, ia kembali melanjutkan pekerjaan. Motif dijahit dan kain disambungkan. Ia bekerja tanpa henti.
Biasanya dipakai saat menyambut tamu, kegiatan adat, dan berbagai forum formal lainnya.
”Bu Wali itu datang sampai delapan kali. Baru selesai betul sekitar Sabtu jelang tengah malam,” sambungnya. Dholomani ini akhirnya selesai dan segera dikirim ke Jakarta. Harapannya agar baju ini dipilih oleh Presiden pun tercapai.
Presiden Jokowi menyampaikan, dilansir dari laman Kompas TV, bahwa baju yang ia kenakan berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Namun, saat ditanya terkait makna baju tersebut, ia tidak menjawab banyak. ”Maknanya, dicari ke Buton,” katanya singkat.
Simbol kepemimpinan
Dholomani adalah pakaian kebesaran seorang Sultan Buton yang dipakai saat acara formal. Pakaian ini terdiri dari baju, celana, hingga kopiah, dengan berbagai macam filosofi yang melekat di dalamnya.
”Tidak hanya itu, juga lengkap dengan keris dan tongkat. Itu semua satu kesatuan dalam dholomani. Biasanya dipakai saat menyambut tamu, kegiatan adat, dan berbagai forum formal lainnya,” kata Budayawan Buton, La Ode Abdul Munafi. Ia melanjutkan, ”Tulisannya itu dholomani karena, dalam bahasa Buton, dibaca dho, memakai ’h’ di tengah.”
Pakaian kebesaran seorang sultan ini, terang Manafi, diperkirakan mulai dipakai sejak Kesultanan Buton berdiri. Namun, secara bukti otentik yang ada, yaitu foto, dholomani dipakai oleh Sultan Buton ke-35, yakni La Ode Muhammad Ali Qainuddin.
Pakaian kebesaran ini memiliki nilai kepemimpinan tinggi yang melekat dalam berbagai simbol. Secara motif, sebagian besar terdiri dari unsur tanaman. Di kopiah, ada kamba manuru atau bunga flamboyan, dan ada uwa, sejenis tanaman menjalar yang menimbulkan gatal. Kamba manurumelambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara itu, uwaberarti keberanian akan sebuah kebenaran.
”Lalu, di kopiah juga ada sepasang burung. Ini mensyaratkan bahwa seorang pemimpin itu harus selalu mengawasi pemerintahan dan masyarakatnya,” ucap Munafi. Jadi, secara luas, ia melanjutkan, ”Seorang pemimpin itu dibebankan di kepalanya untuk berpikir menyejahterakan warga, mengawasi pemerintahan, dan berani untuk melawan saat ada gangguan.”
Simbol lainnya berada di baju dan celana. Simbol di tubuh ini merupakan motif dari sebuah tanaman, yaitu kambana rongo. Rongo adalah tanaman merambat yang banyak ditemukan di wilayah Buton.
Tanaman ini memiliki ciri khas tersendiri. Setelah tumbuh ke atas beberapa waktu, tanaman ini akan turun ke tanah saat mencapai masa paling puncak. Ciri tanaman ini menjadi filosofi bagi seorang sultan di Tanah Buton saat itu.
Menurut Munafi, rongo melambangkan seorang sultan harus paham akan diri sendiri bahwa sesuatu yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Meski berada di puncak kekuasaan, suatu saat akan turun jua.
Tidak hanya itu, saat berada di puncak, juga selalu melihat ke bawah, khususnya terhadap masyarakat bawah yang mengalami kesulitan. Rongo melambangkan kesederhanaan dan perhatian seorang pemimpin. ”Dalam diri seorang pemimpin yang melekat di badan, yaitu rongo di baju dan celana, harus sederhana dan berpihak ke masyarakat,” kata Munafi.
Semua simbolitas dalam dholomani menjadi nilai yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Nilai itu diharapkan melekat dan benar-benar dilakukan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, tidak hanya sekadar simbol.