Janji Sepiring Papeda di Pulau Morotai
Menikmati papeda di pulau terluar, Morotai, membawa kepuasan tersendiri meski harus memesan lebih dulu di detik-detik terakhir.
Jarum jam baru menunjuk pukul 07.30 WIT, Minggu (31/7/2022). Cuaca cerah membuat lanskap pesisir barat Pulau Morotai yang menghadap langsung ke Laut Halmahera di Provinsi Maluku Utara itu tampak begitu molek.
Pada waktu bersamaan, di sebuah warung tidak jauh dari Dermaga Daruba, Mama Salma Baya benar-benar menepati janjinya. Perempuan berusia 58 tahun itu telah menyiapkan seperangkat papeda lengkap dengan menu pendamping.
”Saya langsung ke pasar mencari bahan kemarin sore. Dini hari tadi baru dimasak,” ujarnya ramah, sambil menata menu demi menu di atas meja kayu panjang di dalam warung.
Sejurus kemudian, belasan piring berisi aneka masakan pun siap disantap. Ada ikan bakar, ikan kuah asam pedas, ikan kuah asam manis, dan ikan julung bakar plus rempah yang dimasak kuah soru.
Sajian itu makin menggoda dengan tiga piring sambal, masing-masing sambal terasi, sambal pete, dan sambal kacang. Sebaskom tumis jantung pisang ikut menemani bersama mentimun dan lalapan sayur mentah. Tak ketinggalan ubi rebus santan manis dan yang menjadi maskot adalah papeda nan lembut.
Ini benar-benar di luar ekspektasi saya untuk menikmati sepiring papeda. ”Silakan, ayo silakan dinikmati. Begini cara mengambilnya,” ujarnya.
Mama Salma Baya pun memeragakan cara mengambil bubur papeda yang lengket menggunakan gagang sendok yang dipilin berulang.
Sepiring papeda kemudian disodorkan ke saya. ”Kuahnya pilih sendiri, ya. Ini yang asam manis, ini yang gurih. Sambalnya juga begitu, pilih sendiri sesuai selera,” ucapnya.
Mata saya pun nanar memperhatikan rangkaian kuliner yang telah tersedia di depan mata sebelum akhirnya memilih kuah asam pedas berbahan ikan dasaran sebagai menu pembuka. Menu lain saya abaikan dulu. ”Buat nambah nanti, Mama,” ucap saya.
Baca juga: Cerita Bahagia para Penangkap Tuna di Morotai
Mama Baya pun merenspons dengan tersenyum sambil menjelaskan proses pembuatan aneka menu itu.
”Hap… hmm…,” sesendok papeda lembut yang sudah tersiram kuah ikan dasaran masuk ke mulut, lalu ”menari-nari” turun melalui tenggorokan hingga akhirnya sampai di lambung yang sejak pagi belum terisi makanan.
Rasanya segar, ada nuansa gurih, manis, dan pedas yang berkolaborasi menjadi satu dengan bubur sagu bertekstur lembut.
Sepiring papeda lumat dalam sekejap. Tanpa sungkan, saya pun segera menambah. Tak lagi menggunakan gagang sendok yang dipilin sebagaimana arahan Mama Baya, saya langsung mengambil papeda dengan centong dengan alasan lebih cepat dan praktis.
Mama Baya pun memperhatikan sambil tertawa. ”Tak masalah, lanjut aja,” ucapnya.
Rasa kenyang membuat beberapa potong ikan julung kuah soru akhirnya menjadi menu terakhir makan besar pada pagi itu. Karena dimasak dengan cara dibakar, rasa ikan ini pun gurih dan agak liat mirip rasa ikan gereh (ikan asin) di Jawa.
Yang jadi makanan keseharian orang Morotai itu campur, ada pisang, ubi, nasi juga. Papeda juga khas ini, tapi nanti kalau ada orang yang ingin makan, baru bikin. Bukan makanan harian.
Tak lupa, sepotong ubi kayu manis menjadi penutup. Ya, ubi kayu, ubi jalan, dan pisang baik rebus atau goreng menjadi makanan yang tak terpisahkan di kalangan masyarakat Maluku. Makanan ini juga kerap tersedia di hotel-hotel sebagai menu penutup.
Menurut Mama Baya, banyak orang dari luar daerah datang ke Morotai dan memesan papeda kepadanya. Dia pun menyebut beberapa nama artis dan kelompok musik Ibu Kota, seperti Melly Goeslaw, Slank, dan Dewi Yull, pernah mampir ke warung ”Mama Tika” di simpang tiga Jalan Kedondong yang ia dirikan pada tahun 2008 lalu.
”Banyak yang ke sini, mereka ingin merasakan papeda. Dari Ternate, Makassar, Jakarta. Bahkan, orang-orang Jawa yang sudah lama tinggal di sini pun banyak yang ke sini. Namun, mereka harus pesan dulu sehari sebelumnya,” tuturnya.
Meski menjadi makanan pokok warga Kepulauan Maluku, mencari papeda di kota di Morotai gampang-gampang susah. Menu ini tidak selalu ada saban hari, baik di warung makan maupun dapur warga. Terkadang, ada warung yang menyertakan menu papeda di banner, tetapi saat didatangi masakan itu nihil.
Sejumlah warga Morotai—saat ditanya warung mana yang menjajakan papeda siap santap—sering kali menjawab tidak tahu. Mereka hanya menyarankan harus pesan dulu. Setelah pesan, baru dimasakkan.
Mama Baya pun mengamini hal ini. Menurut dia, tidak semua anak Morotai saat ini mahir memasak papeda, termasuk anaknya.
Bahkan, saat kita berkeliling Daruba, terasa lebih mudah menjumpai nasi Padang atau makanan Jawa yang tersaji di pinggir jalan ketimbang menu setempat.
Kalaupun ada menu khas yang lebih mudah dijumpai di pinggir jalan, hanya nasi kuning yang dibungkus daun pisang. Meski di daerah lain juga ada menu serupa, nasi kuning Morotai rasanya khas dan enak. Ada mi dan rendang ikan di dalamnya.
Baca juga: Morotai Mutiara Perang Dunia II di Bibir Pasifik
”Yang jadi makanan keseharian orang Morotai itu campur, ada pisang, ubi, nasi juga. Papeda juga khas ini, tapi nanti kalau ada orang yang ingin makan, baru bikin. Bukan makanan harian,” ujar Mama Fatimunkari (66), pemilik toko roti di kawasan Kampung China.
Perempuan yang menjajakan aneka kue ini mengaku tidak selalu membuat papeda. Bahkan, saat hari raya Idul Fitri sekalipun. Dia baru bikin papeda hanya ketika ingin menu itu. ”Kalau dulu, sering bikin. Sekarang jarang,” ucap Fatimunkari.
Kompas mencoba mencari papeda siap santap di pasar, termasuk pasar modern atau Pasar Gotalamo. Setelah berkeliling cukup lama, hanya bahan papeda yang dijumpai. Ada yang terbuat dari sagu, ada pula dari ubi. Sementara makanan lain, seperti bisang, ubi, dan talas, banyak sekali.
”Kalau warung khusus yang jual papeda matang, tidak ada di sini. Dulu ada yang jualan teman saya di pasar lama. Namun, saat pindah ke sini (pasar pindah ke lokasi baru dua tahun lalu), dia tidak jualan lagi,” ujar Ibu Asih (56), salah satu pedagang kelontong di Pasar Gotalamo.
Asih yang lahir di Morotai dan bersuamikan orang Malang, Jawa Timur, itu mengaku tidak setiap hari mengonsumsi papeda. Dia terakhir membuat papeda saat Lebaran, beberapa bulan lalu. Menu itu dinikmati bersama keluarga besar dan kerabatnya.
Diakuinya Asih, sebagian orang sekarang lebih memilih jajanan modern. Sementara warung makan tidak menyediakan menu itu dengan alasan tidak semua konsumen memilih makan papeda. ”Jadi seperti barang mewah. Harus pesan dulu di warung, baru dibuatkan,” katanya.
Salah satu pedagang bahan baku papeda di pasar Gotalamo, Mama Harmi (46), mengatakan, setiap hari selalu ada yang membeli bahan papeda. Namun, jumlahnya tidak pasti. Terkadang ramai, terkadang hanya beberapa orang. Hari menjual bahan papeda basah ataupun yang masih kering berupa ”stik”.
Jadi seperti barang mewah. Harus pesan dulu di warung, baru dibuatkan.
Seorang pemerhati sejarah Perang Dunia II di Morotai, Muhlis Eso, membenarkan jika saat ini mencari papeda siap santap di warung agak susah, tetapi menu itu bisa dipesan. Kondisi ini, menurut Muhlis, terjadi selama pandemi. Sebelum pandemi, masih mudah mendapatkan papeda.
”Setelah pandemi, agak sulit. Pemilik warung tidak membuat karena yang berkunjung ke warung jarang. Orang dari luar daerah yang berkunjung ke Morotai berkurang selama pandemi,” ucapnya.
Meski penuh ”perjuangan” untuk mendapatkan papeda, bisa merasakan menu itu beberapa jam sebelum meninggalkan Morotai telah membawa kelegaan tersendiri. Apalagi bisa menikmatinya di salah satu pulau terluar di Indonesia. Dan tentunya berkat Mama Salma Baya yang memegang teguh janjinya….