Demi Harkat Anak-anak Petani
Setelah berdiskusi dengan warga, muncul ide untuk mendirikan sekolah yang mudah diakses warga dan gratis. Sekolah itu kemudian dibangun dengan cara bergotong royong dengan masyarakat setempat.
Circa 2004, Yayat Hayatul Hasani (35) datang ke Desa Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Mulanya, Yayat yang akrab disapa Opet datang jauh-jauh dari pusat kota ke pelosok Ciamis itu untuk mengedukasi sekaligus mengadvokasi para petani. Kala itu, Opet datang bersama teman-temannya, yang seluruhnya merupakan mahasiswa jurusan pertanian di Universitas Galuh.
Pada suatu pagi, Opet berniat untuk keliling desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan segerombolan anak yang memanggul cangkul menuju ke arah sawah. Hal itu jauh dari yang dibayangkan Opet. Dalam bayangannya, pagi itu, ia bakal melihat anak-anak menggendong tas dan berjalan menuju sekolah.
Kepada anak-anak itu, Opet bertanya-tanya tentang mengapa mereka tidak bersekolah. Anak-anak itu menjawab, ”Sudah tamat (sekolah dasar)”. Menurut anak-anak itu, bisa tamat sekolah dasar saja sudah bagus. Sebagian anak malah hanya bersekolah sampai mereka bisa baca tulis saja, bahkan ada yang sama sekali tidak bersekolah. Opet tercengang mendengar pernyataan itu.
Masyarakat di Desa Pasawahan mayoritas bekerja sebagai buruh tani. Untuk bekerja sebagai buruh tani, sekolah tinggi-tinggi tidak diperlukan. Selain dianggap buang-buang waktu, sekolah dinilai memberatkan karena tidak bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah, tetapi membuangnya.
Sekolah lanjutan tingkat menengah juga kian tak terjangkau lantaran di sekitar Desa Pasawahan itu tak ada sekolah SMP, SMA, ataupun SMK. Sekolah lanjutan terdekat berjarak sekitar 12 kilometer dari Desa Pasawahan. Dengan kondisi jalan yang rusak parah, lama perjalanan menuju sekolah lanjutan menggunakan kendaraan bermotor memakan waktu sekitar 40 menit.
Opet merasa dirinya tidak bisa diam begitu saja mendapatkan fakta seperti itu. Menurut dia, pendidikan sangat penting bagi anak-anak itu. Dengan pendidikan yang memadai, bukan tidak mungkin anak-anak itu mampu mengangkat harkat keluarganya. Sepanjang hari, Opet berpikir keras tentang apa yang bisa ia lakukan supaya anak-anak itu melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Opet kemudian menginisiasi pertemuan dengan warga untuk membahas pendidikan anak-anak Desa Pasawahan. Dari pertemuan itu muncul ide untuk mendirikan sekolah yang mudah diakses warga dan gratis di desa tersebut. Sekolah itu kemudian dibangun dengan cara bergotong royong dengan masyarakat setempat.
Sembari menunggu sekolah dibangun, proses belajar mengajar dilakukan dengan cara menumpang di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan. Pagi hingga siang, sekolah itu digunakan oleh siswa-siswi MI. Sementara itu, siang hingga sore, sekolah itu digunakan oleh siswa-siswa SMP.
”Untuk menjembatani keinginan orangtua dan kebutuhan anak, kami membuat sekolah yang tidak hanya mengajarkan pendidikan formal, tetapi ilmu-ilmu pertanian sehingga sekolah itu akhirnya kami beri nama SMP Plus Pasawahan. Plusnya ini adalah plus pertanian,” kata Opet saat ditemui medio Juli 2022.
Di sekolah itu, para siswa diajari Opet menanam dengan efektif dan efisien. Trik memasarkan produk pertanian juga dibagikan. Melalui kegiatan-kegiatan itu, para siswa bisa menghasilkan cuan. Uang itu digunakan untuk operasional sekolah dan sebagian sisanya diserahkan kepada orangtua siswa untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Stigma terkait sekolah hanya buang-buang uang pun patah.
Setelah berjalan satu tahun, pembangunan itu menghasilkan dua ruangan. Satu ruangan untuk kelas dan satu ruangan untuk kantor. Setelah angkatan pertama naik ke kelas VIII, satu ruangan itu dipakai bergantian. Kini, sekolah itu sudah memiliki tiga ruang kelas untuk tiga rombongan belajar, yakni kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX.
Pada tahun 2008, ide membuat SMK Plus Pasawahan muncul. Kehadiran sekolah itu menggenapi hak anak untuk mengakses pendidikan wajib 12 tahun.
Mengajar di sekolah-sekolah itu dilakukan Opet secara sukarela. Opet ataupun guru-guru lain di sekolah-sekolah itu tidak mendapatkan uang sepeser pun. Untuk memenuhi kebutuhan hariannya, Opet dan rekan-rekannya mengandalkan uang penjualan hasil pertanian di sekolah.
Selama di Desa Pasawahan, Opet menumpang di rumah warga hingga tinggal di asrama sekolah. Setiap kali pulang ke rumah orangtuanya di Ciamis kota, Opet harus bersepeda atau berjalan kaki karena tidak ada biaya. Setelah menikah, Opet resmi berpindah dan menjadi warga Desa Pasawahan.
Pindah
Setelah menyelesaikan misi memberikan tempat sekolah lanjutan bagi anak-anak tamatan sekolah dasar, Opet pindah kerja. Ia melanjutkan pengabdiannya pada Desa Pesawahan dengan mengajar di MI Pasawahan. Di tahun-tahun awal mengajar di MI Pasawahan, ia mendapatkan gaji sebesar Rp 50.000 per bulan.
Perjalanan Opet mengajar di MI Pasawahan tidak mudah. Selain dibayar rendah, dirinya harus menghadapi bencana alam, yakni gempa dan tanah bergerak. Bencana yang terjadi pada tahun 2016 itu membuat bangunan sekolah roboh dan rata dengan tanah. Pihak sekolah kemudian mendapatkan masukan untuk relokasi karena lokasi sekolah kala itu masih sebagai daerah rawan bencana.
Berbekal bantuan dari pemerintah dan kepolisian setempat, kegiatan belajar dilakukan di tenda darurat. Setahun kemudian, sekolah mendapatkan tawaran untuk mendirikan bangunan di atas sebuah tanah milik kepala sekolah MI Pasawahan kala itu. Tanah itu dibeli dengan cara dicicil oleh pihak yayasan, dibantu para guru, termasuk Opet.
Akibat keterbatasan biaya, pembangunan sekolah itu belum selesai hingga saat ini. Kini, sekolah itu hanya punya tiga ruangan utuh dengan pintu dan dinding dan satu ruang tanpa dinding dan pintu. Dua ruangan untuk ruang kelas dan satu ruangan untuk kantor serta ruang guru.
Ruangan kelas yang ada dipakai bergantian. Satu ruang kelas bahkan disekat menggunakan sebuah lemari kayu untuk belajar dua rombongan belajar. Di tengah keterbatasan, Opet bersiasat dengan cara mengadakan program belajar dari alam bagi kelas-kelas yang tidak dapat ruangan. Melalui program itu, para siswa diajak belajar di luar sekolah, mulai dari emperan masjid, emper rumah warga, posyandu, di sawah, ladang, hingga di pinggir sungai.
Masalah baru datang lagi saat pandemi tiba. Kala itu, program belajar tatap muka ditiadakan untuk mencegah penularan Covid-19. Opet pusing tujuh keliling. Murid-muridnya tidak punya gawai yang bisa menunjang pembelajaran jarak jauh. Selain itu, sinyal internet di desa itu juga sulit akibat letak geografis desa dikelilingi perbukitan.
”Kebetulan, saya pernah punya pengalaman sebagai sukarelawan bencana. Saat berada di lokasi bencana yang susah sinyal, kami berkomunikasi menggunakan handy talkie (HT). Metode itu akhirnya saya adopsi untuk menunjang pembelajaran jarak jauh di sini,” ujarnya.
Berbekal tiga HT milik Opet dan belasan HT pinjaman dari sukarelawan bencana di sekitar Pasawahan, anak-anak MI Pasawahan bisa belajar jarak jauh. Setiap satu kelompok siswa yang terdiri atas enam sampai sepuluh siswa dibekali satu HT untuk berkomunikasi dengan Opet. Siswa yang rumahnya berdekatan disatukan dalam satu kelompok.
Di MI Pasawahan, Opet juga mengajari murid-muridnya bercocok tanam. Selain itu, ia dan guru-guru lain juga memberi bekal tambahan berupa aneka keterampilan. Keterampilan bermusik, misalnya, membuat anak-anak sering mendapatkan permintaan manggung. Dari aktivitas itu, mereka bisa mendapatkan upah yang bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Sebagian lagi diberikan kepada orangtua mereka.
”Siswa-siswa yang memiliki keterampilan baris-berbaris, pencak silat, dan drum band sering diminta mengajar di sekolah-sekolah lain di luar Pasawahan. Selain mendapatkan keterampilan, mereka juga bisa menghasilkan uang dari kegiatan itu,” ucap bapak dua anak itu.
Tak hanya keterampilan, siswa-siswa juga didorong berwirausaha. Masing-masing siswa diminta mendalami hal-hal yang mereka sukai. Dari hal yang disukai itu, mereka dibantu menghasilkan sesuatu yang bernilai jual. Salah satu yang berhasil adalah usaha peternakan lebah madu yang beromzet Rp 3 juta per bulan milik salah satu alumni MI Pasawahan.
Tak sebanding
Dedikasi tinggi yang diberikan Opet rasanya tak sebanding dengan upah yang diterimanya. Dari kerja mengajar di MI Pasawahan, Opet mendapatkan upah Rp 350.000 per bulan. Uang itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya, istri, dan kedua anaknya. Akibatnya, keluarga itu sering kali harus berpuasa.
”Saya sudah membiasakan istri dan anak-anak saya untuk berpuasa setiap Senin dan Kamis. Di luar itu, kami juga sepakat ada satu hari di mana kami tidak makan nasi atau istilahnya one day no rice. Kami makannya singkong, ketela, atau apa pun selain nasi untuk menghemat beras,” kata Opet sambil tertawa getir.
Dibayar rendah dan menghadapi persoalan yang datang silih berganti pernah membuat Opet berniat pindah pekerjaan. Niat pindah pekerjaan muncul di benak Opet setidaknya tiga kali, yakni tahun 2003, 2010, dan 2012.
Pada tahun 2012 misalnya, Opet sudah bertekad bulat, pergi dari Desa Pasawahan untuk bekerja di menjadi asisten proyek temannya di Papua. Namun, niat itu diurungkan setelah sejumlah orangtua siswa datang ke rumahnya dan menyampaikan protes. ”Kamu tidak boleh pergi, harus tanggung jawab sama anak-anak. Mereka ini belum selesai. Kamu mau cari apa? Tidak usah ke mana-mana, kalau butuh apa-apa bilang sama kami.” Lebih kurang, itulah kata-kata protes yang disampaikan orangtua siswa kepada Opet.
Opet lagi-lagi merenung. Ia takut pergi di saat orang-orang Desa Pasawahan membutuhkan dirinya. Opet juga khawatir, kalau-kalau di tempat kerjanya yang baru ia tak terlalu dibutuhkan. ”Sejak saat itu, saya bertekad tidak akan pergi sebelum urusan di sini selesai. Setidaknya, sampai anak-anak di sini bisa mendapatkan tempat belajar yang layak dan sekolah ini mampu berjalan tanpa kehadiran saya,” ucapnya.
Daya upaya
Tak mau keluarganya terus hidup dalam keterbatasan, segala daya upaya dilakukan Opet. Ia mulai melakoni pekerjaan sambilan, mulai dari memproduksi hasta karya dari bambu, membuat perlengkapan outdoor, hingga bekerja sebagai tenaga honorer di sejumlah dinas di Ciamis.
Netih Sumiyati (33), istri Opet, juga turut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Netih bekerja sebagai guru di salah satu taman kanak-kanak di Desa Pasawahan dengan upah yang kecil, Rp 150.000 per bulan. Meski sedikit, tambahan uang itu disyukuri Opet.
Punya penghasilan pas-pasan tidak lantas membuat Opet pelit terhadap orang lain, terutama murid-muridnya. Pernah satu kali, Opet menjual sepeda motor miliknya agar dapat biaya untuk memberangkatkan murid-muridnya dalam lomba Pramuka tingkat Ciamis. Di kesempatan lain, Opet juga pernah dimintai tolong istrinya membelikan sabun mandi. Uang yang tadinya dialokasikan untuk membeli sabun akhirnya tidak jadi dipakai sesuai peruntukannya, tetapi diberikan kepada muridnya yang mengeluh tidak punya ongkos untuk pergi ke Ciamis kota dalam rangka mengajar drum band.
Sebelum punya sepeda motor, Opet harus berjalan kaki sejauh tujuh kilometer, pergi-pulang ke sekolah. Kini, setelah punya sepeda motor, persoalan lain muncul. Ia harus mengeluarkan uang setidaknya Rp 15.000 dalam sehari untuk membeli bahan bakar. Bayaran yang diterima Opet dalam sebulan tidak mampu menutup biaya itu.
Menjalani kehidupan yang keras tidak membuat Opet berkecil hati. Ia justru bangga karena hidupnya bisa membawa manfaat bagi orang lain. ”Saya ini orang tiada, tapi ketika dalam ketiadaan saya masih bisa berbuat baik bagi orang lain, di situ ada sesuatu keindahan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” katanya.
Yayat Hayatul Hasani
Tempat tanggal lahir: Ciamis, 24 september 1986
- SDN 2 Handapherang
- MTs Miftahussalam Handapherang
- MAN Cijantung
- ST IT Nurul Hikamah Cianjur jurusan Pendidikan Agama Islam Tarbiyah
Istri: Netih Sumiyati (33)
Anak: - Jihan Nur Azizah (11)
- Muhammad Zidan Alhusaini (4)