PT Tambang Mas Sangihe bersikeras tak akan hengkang dari Pulau Sangihe. Padahal, kontrak karya operasi produksi perusahaan tambang emas asal Kanada itu telah dinyatakan tidak sah oleh PTTUN Jakarta.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — PT Tambang Mas Sangihe bersikeras tidak akan hengkang dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Padahal, kontrak karya operasi produksi perusahaan tambang emas asal Kanada itu telah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta karena terbukti melanggar beragam aturan perundangan.
Chief Executive Officer (CEO) Baru Gold Terry Filbert, Rabu (7/9/2022), menegaskan, PT Tambang Mas Sangihe (TMS), yang 70 persen sahamnya dimiliki Baru Gold, terus memegang kontrak karya (KK) yang valid dengan Pemerintah Indonesia. KK yang ia maksud adalah KK generasi keenam untuk eksplorasi yang diterbitkan pada 1997.
Pada 29 Januari 2021, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 untuk meningkatkan status KK tersebut, dari eksplorasi ke operasi produksi selama 33 tahun. SK inilah yang dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pada Rabu (31/8/2022).
”Penting untuk dicatat bahwa keputusan (PTTUN Jakarta) ini hanya berkaitan dengan izin operasional pertambangan yang dikeluarkan pada Februari 2021. Kami kecewa dengan keputusan pengadilan, tetapi KK mengizinkan TMS untuk (terus) menjelajahi wilayah lisensi kami,” kata Terry melalui pernyataan tertulis.
PT TMS pun melawan putusan PTTUN dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) paling lambat Rabu (14/9/2022). Namun, pada saat yang bersamaan, Terry menegaskan, pihaknya dapat dan akan melanjutkan program pengembangan sumber daya mineral sesuai rencana demi meningkatkan status sumber daya tereka menjadi sumber daya terindikasi dan terukur.
Sebelumnya, majelis Hakim PTTUN Jakarta yang diketuai Eddy Nurjono telah mengabulkan gugatan masyarakat Sangihe sebagai Pembanding I dan II untuk seluruhnya melalui Putusan Nomor 140/B/2022/PT.TUN.JKT. Menteri ESDM Arifin Tasrif pun wajib mencabut SK peningkatan status KK milik PT TMS ke tahap operasi produksi.
Menteri ESDM terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Majelis hakim menyatakan tidak menemukan bukti keterlibatan masyarakat terdampak dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
SK itu juga bertabrakan dengan UU No 1/2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hingga kini, PT TMS, yang merupakan penanaman modal asing belum mengantongi izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk beroperasi di Pulau Sangihe. Lagi pula, pulau kecil seperti Sangihe yang hanya luasnya hanya 736,98 kilometer persegi, tidak diprioritaskan untuk pertambangan.
Menteri ESDM bahkan melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang melarang adanya kegiatan pertambangan yang dilarang oleh peraturan perundangan. Dalam hal ini, tidak boleh ada pertambangan emas di Sangihe yang ditetapkan sebagai pulau kecil menurut UU No 1/2014.
PTTUN Jakarta juga menyatakan SK peningkatan status KK PT TMS itu melanggar asas pemerintahan yang baik. Akhirnya, Menteri ESDM dan PT TMS dibebankan biaya persidangan sebesar Rp 250.000.
Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 146/G/2021/PTUN.JKT pada 20 April 2022 yang menyatakan tidak berwenang memutus masalah KK. Saat itu, PTUN Jakarta menerima eksepsi Menteri ESDM dan PT TMS sebagai Tergugat I dan II tentang kompetensi absolut.
Tiga pejabat Kementerian ESDM telah dihubungi untuk dimintai tanggapan. Namun, tidak ada yang mau memberikan tanggapan.
Menang mutlak
Di sisi lain, Ketua Tim Hukum Save Sangihe Island (SSI) Revoldi Koleangan mengatakan, perjuangan warga Sangihe melawan PT TMS belum selesai. Keputusan PTTUN belum inkracht karena Menteri ESDM ataupun PT TMS masih berkesempatan mengajukan kasasi.
Akan tetapi, ia meminta PT TMS menaati putusan provisional yang juga diambil majelis hakim, yaitu penundaan pemberlakuan SK Menteri ESDM sampai adanya putusan hukum yang mengikat. ”Pelaksanaan izinnya sudah ditangguhkan, jadi dia (perusahaan) tidak boleh beroperasi sama sekali,” ujar Revoldi.
Sebelumnya, pada 2 Juni PTUN Manado juga telah mengabulkan gugatan 56 warga Sangihe terhadap izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulut. Izin yang menjadi landasan penerbitan SK Menteri ESDM itu harus dicabut.
PTUN Manado juga sudah mengambil putusan provisional penundaan izin lingkungan PT TMS sehingga segala kegiatan perusahaan harus dihentikan. Namun, pada 13-16 Juni, perusahaan tetap mengangkut alat-alat berat ke situs tambang. Warga setempat yang menolak tambang pun turun ke jalan untuk mencegat dan menahan truk pengangkut.
Insiden serupa terjadi lagi pada 17 Agustus. Masyarakat pun kembali menghadang truk pengangkut alat berat. ”Masyarakat Sangihe sudah menang mutlak. Mereka memang bisa mengajukan kasasi, bahkan upaya hukum luar biasa kalau kalah lagi. Tetapi putusan provisional itu harus ditaati, termasuk oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Pada 30 Juni, seorang aktivis SSI bernama Robison Saul dipanggil dan diperiksa oleh Polres Sangihe karena diduga membawa senjata tajam saat menghadang alat berat. Kini, 14 anggota SSI juga dipanggil dan diperiksa kepolisian.
”Ini menunjukkan tidak berlangsungnya kesetaraan di mata hukum. Kami sudah laporkan perusahaan kepada polisi karena melanggar putusan provisional PTUN Manado, tetapi tidak ditindak. Kemudian mereka bawa alat berat, malah rakyat diproses hukum. Ini kan aneh,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Polres Kepulauan Sangihe Ajun Komisaris Besar Denny Tompunuh mengatakan, kepolisian tidak memihak dalam konflik antara warga dan PT TMS. Polres Sangihe pun tidak akan menjaga alat-alat berat milik perusahaan.