Jembatan Bambu dan Gedung Pemerintahan Baru di Sultra
Sebuah jembatan dari bambu masih menjadi andalan akses utama warga desa di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Warga mendambakan adanya jembatan yang layak dan aman.
Puluhan tahun, sebuah jembatan darurat dari bilah bambu menjadi akses utama petani dan anak sekolah di sebuah desa di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Mereka mendambakan jembatan yang lebih layak dan aman. Terlebih lagi, jembatan ini hanya berjarak 13 kilometer dari kantor Gubernur Sulawesi Tenggara yang saat ini sedang membuat gedung baru.
Berjalan dengan kaki telanjang penuh lumpur, Agus (53) melewati jalan tani selebar 1 meter di Dusun II Desa Lalowiu, Kecamatan Konda, Konawe Selatan. Terlihat jelas tanda jalan ini rutin dilalui meski di kiri dan kanan dipenuhi berbagai pohon dan tanaman.
Suara arus sungai terdengar. Salah satu cabang Sungai Wanggu selebar 15 meter berada di depan. Akses untuk melintasi sungai ini adalah melewati titian dua bilah bambu yang dibentangkan sejak dekade 2000-an awal.
”Warga di sini yang bersama-sama bikin jembatan ini. Warga beli tali dan bangun jembatan. Kalau tidak ada jembatan, tidak bisa lewat kalau air naik. Bisa sampai di atas sini,” tutur Agus, menunjuk sisa-sisa ranting di tepian kali, Rabu (14/9/2022).
Ia lalu berjalan pelan meniti bambu. Tangan kiri memegang sebilah bambu yang menjadi pegangan satu-satunya, sementara tangan kanannya menenteng parang. Meski hampir setiap hari melewati jembatan ini, ia tetap waspada.
Ayah lima anak ini bercerita, jembatan itu menjadi akses utama dirinya untuk menuju sawah miliknya. Beberapa petak sawahnya berada di seberang sungai dan petak lainnya di sisi sungai lain. Setiap hari, ia melewati jembatan ini karena lebih cepat dan mudah.
Baca juga: Tahunan Tanpa Perbaikan, Warga Konawe Selatan Tanam Pisang dan Blokade Jalan
Jika melewati jalan utama, jaraknya berkisar 12 kilometer. Sebagian besar jalan juga merupakan jalan tanah yang menjadi kubangan saat hujan. Karena itu, petani hingga anak sekolah terpaksa menggunakan jembatan bambu ini untuk menyingkat waktu dan biaya.
”Sudah lupa saya berapa kali jatuh di sungai. Terakhir tiga bulan lalu, jatuh karena bambunya patah. Saya bawa beras pulang untuk dimasak, basah semua,” katanya.
Jembatan menjadi kebutuhan yang sangat diharapkan masyarakat. Saat waktu membajak sawah tiba, ia harus menyewa traktor Rp 300.000 per hari. Jika ada jembatan, traktor tersebut bisa digunakan untuk semua petak sawahnya di kedua sisi sungai dalam kurun beberapa hari saja. Namun, karena kondisi ini, ia mesti menambah biaya ekstra karena harus menyewa dua traktor.
Belum lagi untuk urusan membawa pupuk hingga hasil panen. Saat memutar, ia harus kembali mengeluarkan biaya tambahan. Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah memberikan perhatian terhadap jembatan ini. Sebab, tidak hanya petani, jembatan juga bisa digunakan oleh anak sekolah.
Lawia (50) bersama anaknya berjalan menuju jembatan setelah memarkir motor di tepian sungai. Ia menenteng keranjang dari daun lontar yang berisi makanan dan minuman untuk Labaa (60), suaminya yang sedang bekerja di sawah. Ia berjalan pelan meniti jembatan hingga bisa sampai ke seberang.
Kalau hujan seperti sekarang, tinggal di rumah neneknya saja. Nanti diantar atau tunggu orangtuanya datang jemput. Daripada jatuh di sungai.
”Terakhir saya jatuh tahun lalu. Untung waktu itu sudah pulang, jadi bekal di keranjang sudah kosong. Hanya lecet-lecet sedikit,” ungkapnya.
Namun, ia lebih mengkhawatirkan cucu-cucunya yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Sebab, para cucunya ini menetap di desa seberang dan bersekolah di desanya. Ia lebih sering melarang mereka untuk melewati jembatan bambu ini. Saat jalanan kering, mereka lebih sering memutar melewati jalan utama untuk bersekolah.
”Kalau hujan seperti sekarang, tinggal di rumah neneknya saja. Nanti diantar atau tunggu orangtuanya datang jemput. Daripada jatuh di sungai,” ucapnya.
Sekretaris Desa Lalowiu La Ode Kamiruddin mengungkapkan, jembatan bambu ini memang akses untuk mempercepat mobilitas warga dari Desa Lalowiu menuju Desa Alebbo Jaya. Jika melewati jalan utama yang kondisinya juga belum baik, harus menempuh jarak belasan kilometer. Di saat kondisi harga bahan bakar yang naik seperti sekarang, hal ini menjadi beban tambahan.
Wilayah Desa Lalowiu, ia melanjutkan, merupakan wilayah persawahan dan perkebunan. Total luas sawah adalah 118 hektar yang terletak di kedua sisi Sungai Wanggu. Bertani adalah pekerjaan utama masyarakat di wilayah ini.
Baca juga: Jembatan Teluk Kendari Bakal Percepat Konektivitas
Oleh sebab itu, jembatan memang merupakan kebutuhan utama masyarakat. Selain memudahkan akses, juga meringankan dalam bekerja, yang berujung pada peningkatan taraf hidup masyarakat.
”Kami sudah usulkan berkali-kali dalam musyawarah kecamatan, tapi sampai sekarang belum dipenuhi. Anggaran yang kami ajukan tidak besar, sekitar Rp 100 juta, karena modelnya jembatan gantung yang bisa dilalui kendaraan hingga traktor,” katanya.
Di sisi lain, pihaknya belum bisa mengandalkan dana desa. Dengan jumlah 237 keluarga, anggaran yang diperoleh berkisar Rp 600 juta per tahun. Saat masa Covid-19, sebanyak 40 persen dialihkan untuk bantuan sosial.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Konawe Selatan Askar menuturkan, tahun ini pihaknya fokus menangani perbaikan 70 kilometer jalan yang mencakup 23 paket pengerjaan. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 234 miliar.
Baca juga: Bangun Gedung Baru Rp 400 Miliar, Pemprov Sultra Dinilai Cederai Kepentingan Publik
Menurut Askar, total panjang jalan di Konawe Selatan adalah 1.032 km, di mana 400 km di antaranya dalam kondisi baik. Sebagian kondisi jalan yang banyak diprotes warga adalah kewenangan provinsi yang memang sebagian besar rusak berat.
”Jalan dan jembatan itu ada yang berstatus jalan desa, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Masalahnya, apakah masuk di SK (surat keputusan) jalan kabupaten atau seperti apa? Kami upayakan agar yang menjadi tanggung jawab kami bisa selesai untuk membantu masyarakat,” ujarnya.
Kisran Makati dari Pusat Kajian dan Advokasi HAM (Puspaham) Sultra menjelaskan, jembatan bambu di sekitar pusat ibu kota Sultra menunjukkan minimnya infrastruktur dasar di wilayah ini. Perhatian terhadap kebutuhan masyarakat sering dikalahkan proyek dengan anggaran besar tapi nirmanfaat.
Salah satu masalah utama di Sultra, ia melanjutkan, adalah infrastruktur jalan dan jembatan yang tidak terbangun. Jalan rusak di sejumlah kabupaten menjadi hal lumrah bagi masyarakat. Warga lalu beramai-ramai menimbun jalan, menanam pisang, atau membangun jembatan dengan dana sendiri.
”Pemerintah seakan menutup mata dengan realitas yang terjadi. Jika ada masalah infrastruktur di masyarakat, kalau kabupaten tidak bisa tangani, provinsi ambil alih. Bukan malah mengedepankan proyek bernilai fantastis, tetapi tidak ada urgensi sama sekali,” katanya.
Kami ini petani kecil, mau ”teriak ” juga susah.
Salah satu proyek yang dianggap mencederai kepentingan publik adalah pembangunan kantor baru Gubernur Sultra dengan estimasi anggaran Rp 400 miliar. Pembangunan gedung ini dinilai tidak ada urgensi dan sarat akan kepentingan proyek semata.
Padahal, jika anggaran tersebut dialihkan untuk membuat jembatan dan jalan, bisa membuat infrastruktur dasar masyarakat terpenuhi. Belum lagi dengan beban kenaikan harga bahan bakar minyak dan dampak pandemi Covid-19. Sebelumnya, Pemprov Sultra juga membangun jalan wisata, perpustakaan modern, hingga rumah sakit jantung bernilai Rp 1,2 triliun dari uang pinjaman.
Pembangunan tahap awal kantor baru gubernur Sultra telah dimulai pada Jumat (2/9/2022). Hingga Senin (12/9/2022) siang, sejumlah alat berat terlihat bekerja meratakan tanah. Plang pekerjaan proyek terpampang dengan anggaran Rp 27 miliar.
Menurut Gubernur Sultra Ali Mazi, pembangunan kantor baru tidak membebani APBD karena menyangkut infrastruktur yang harus dibangun. Suasana perkantoran harus dibuat baik agar pelayanan semakin maksimal ke masyarakat.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur dasar juga terus dilakukan. Dari total 1.009 kilometer jalan tanggung jawab provinsi, ada 800 kilometer yang dalam kondisi baik. Lebih dari 200 km jalan lainnya terus diupayakan untuk ditingkatkan.
Lihat juga: Di Seko, Mereka Masih Berjuang
Sapruddin (45), petani di Lalowiu, tidak ingin muluk-muluk dengan kondisi infrastruktur di daerahnya. Dia hanya ingin agar sawahnya bisa ditanami, pupuk murah, dan hasil yang maksimal. Sebab, puluhan tahun kondisi jembatan hanya berupa bilah bambu tanpa pernah dibangun secara layak.
”Kami ini petani kecil, mau ’teriak’ juga susah. Bisa makan setiap hari, anak sekolah, sudah cukup,” katanya sambil menatap nanar ke petak sawah yang diguyur hujan.