Kain sasirangan tak pernah berhenti berinovasi di tangan para perajin. Berawal dari kain pamintan yang sakral, wastra Nusantara dari Tanah Banjar itu bertransformasi menjadi barang profan dengan beragam desain.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·6 menit baca
Sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, kain sasirangan tak pernah berhenti berinovasi di tangan para perajin. Berawal dari kain pamintan yang sakral, wastra Nusantara itu bertransformasi menjadi barang profan dengan beragam desain. Semuanya bisa didapatkan di Kampung Sasirangan, sentra perajin dan penjualan kain sasirangan di Banjarmasin.
Riza Aspihany (44), warga Banjarmasin, menurunkan beberapa potong kain sasirangan yang digantung ketika ada calon pembeli masuk ke tokonya untuk mencari kain sasirangan, Rabu (21/9/2022). Istrinya juga mengeluarkan beberapa potong kain sasirangan dari etalase kaca dan menyodorkannya kepada calon pembeli.
Saat calon pembeli mengamati kain sasirangan yang dipegangnya, Riza dan istri menjelaskan bahan, motif, dan pewarna kain sasirangan itu. ”Untuk bahan katun prima dengan pewarna sintetis, harganya Rp 110.000 per potong. Untuk bahan yang sama dengan pewarna alam, harganya Rp 250.000 per potong,” ujar Riza, pemilik toko Katuju Sasirangan.
Toko Katuju Sasirangan berada di Kampung Sasirangan, Jalan Seberang Mesjid, Kelurahan Seberang Mesjid, Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin. Di sana juga terdapat toko-toko lain, misalnya Irma Sasirangan, Yaya Sasirangan, Rose Sasirangan, Ami Sasirangan, Susi Sasirangan, dan Amay Sasirangan. Ada lebih dari 10 toko sasirangan di Kampung Sasirangan.
Menurut Riza, harga sehelai kain sasirangan ditentukan oleh bahan, motif, dan zat pewarna. Bahan kain yang digunakan di antaranya katun prima, katun satin, katun sutra, katun primisima, dan sutra.
Bahan pewarna yang lazim digunakan adalah pewarna sintetis dan pewarna alam. Untuk pewarna sintetis dengan bahan-bahan kain tersebut, harganya mulai dari Rp 110.000 sampai Rp 500.000 per potong, sedangkan untuk pewarna alam mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta per potong.
Motif kain sasirangan ada banyak dan beragam. Setidaknya ada belasan motif tradisional kain sasirangan, di antaranya gigi haruan (gigi ikan gabus), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), kulat karikit (jamur kecil), turun dayang (garis-garis), dan kangkung keombakan (daun kangkung).
”Kalau sekarang, kami tidak hanya membuat motif-motif pakem (tradisional), tetapi juga mencoba berinovasi dengan motif-motif baru, misalnya ukiran Banjar, rumah Banjar, daun kelakai (pakis), dan sebagainya,” kata Riza.
Di samping berinovasi dengan motif, perajin kini juga mulai mengimprovisasi kain sasirangan. Salah satunya dengan memadukan sasirangan dengan ecoprint. Kain sasirangan ecoprint itu dinamai saeco dan hanya menggunakan pewarna alam. Dalam sehelai kain terdapat motif sasirangan dan juga ecoprint. Proses pembuatannya lebih rumit sehingga harganya juga lebih mahal.
”Untuk bahan kain yang sama, selisih harga antara kain saeco dan kain sasirangan pewarna alam bisa Rp 100.000 per potong,” ungkapnya.
Sejauh ini, permintaan pasar terhadap kain saeco memang masih jauh di bawah permintaan kain sasirangan. Sebagai perbandingan, Riza biasa memproduksi 500-600 potong kain sasirangan per bulan, sedangkan kain saeco hanya 25-50 potong per bulan.
”Kalau kain saeco, yang beli biasanya para pejabat atau kalangan menengah atas, sedangkan kain sasirangan pasti dibeli oleh semua kalangan,” katanya.
Di Kampung Sasirangan juga dijumpai berbagai macam produk busana (fashion) dan kriya berbahan kain sasirangan, mulai dari kaus, kemeja, gaun, jaket, kerudung atau jilbab, hingga dompet, tas, dan tempat tisu. Harganya mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah.
Bertransformasi
Tajuddin Noor Ganie dalam buku Sasirangan: Kain Khas dari Tanah Banjar (2014) menjelaskan, kain sasirangan adalah kain yang diberi corak dan warna tertentu secara tradisional menurut cita rasa budaya etnis Banjar. Secara etimologis, sasirangan berasal dari kata sa yang berarti ’satu’ dan sirang yang berarti ’jelujur’. Sasirangan bisa diartikan ’dibuat menjadi satu jelujur’.
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwarna kuning. Kain langgundi difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-12. Kerajaan ini menjadi cikal bakal Kerajaan Banjar.
Sejak abad ke-14, kain itu berubah status menjadi kain yang dikeramatkan dan disebut kain pamintan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan dari anak, cucu, hingga buyut para bangsawan Banjar yang mengidap penyakit tertentu.
Rahmiyah (60), perajin kain pamintan di Kampung Sasirangan, menuturkan, daerah Kelurahan Seberang Mesjid di tepian Sungai Martapura sebelumnya adalah sentra pembuatan kain pamintan. Sebelum tahun 1980-an, warga hanya mengenal kain pamintan, yang dibuat berdasarkan permintaan orang untuk pengobatan secara tradisional.
”Orang yang sakit biasanya sudah menemui ’orang pintar’, kemudian ia disuruh cari kain pamintan untuk persyaratan pengobatan. Kalau sudah dapat, kain pamintan itu dibawa kepada ’orang pintar’ untuk ritual pengobatan,” katanya.
Hanya orang tertentu yang bisa bikin kain pamintan. Kalau kami yang bikin kain seperti itu, pasti tidak akan ada khasiatnya untuk pengobatan.
Menurut Riza, pembuatan kain pamintan tak boleh sembarangan dan hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan ritual khusus. Kain tersebut umumnya hanya memakai tiga warna, yaitu kuning, merah, dan hijau. Modelnya antara lain sarung (tapih), kerudung, ikat kepala (laung), selendang, dan setelan baju. ”Model dan motif dibuat berdasarkan permintaan,” ujarnya.
Rahmiyah kini menjadi satu-satunya perajin kain pamintan di Kampung Sasirangan, bahkan di Banjarmasin. Ia pun kerap kedatangan pembeli dari luar kota, bahkan dari luar Kalsel. Kain pamintan dijual dengan harga mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 750.000 per helai, bergantung pada model dan motifnya. ”Dalam seminggu paling hanya bisa bikin lima helai kain pamintan,” katanya.
Raudatul Jannah (40), perajin kain sasirangan lainnya, mengatakan, kain sasirangan yang dikenal luas saat ini adalah pengembangan dari kain pamintan. Teknik pembuatan sasirangan sama persis dengan pembuatan pamintan. Meskipun demikian, tidak semua perajin sasirangan bisa membuat kain pamintan, yang hingga kini masih dianggap sakral.
”Hanya orang tertentu yang bisa bikin kain pamintan. Kalau kami yang bikin kain seperti itu, pasti tidak akan ada khasiatnya untuk pengobatan,” kata pemilik usaha Mama Firman Sasirangan itu.
Menurut Tajuddin, kain sasirangan mulai diproduksi dan diperkenalkan kepada khalayak pada 27 Desember 1982. Ketika itu, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pembuat Kain Sasirangan Banawati, menggelar peragaan busana kain sasirangan di salah satu hotel di Banjarmasin. Sambutan masyarakat sungguh luar biasa. Sejak itu, kain sasirangan mulai dikenal luas oleh masyarakat Kalsel.
Pada 1985, Gubernur Kalsel Muhammad Said (1985-1995) mengeluarkan kebijakan mewajibkan para pegawai negeri sipil mengenakan baju berbahan kain sasirangan setiap Jumat. Calon jemaah haji Kalsel juga diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan saat berangkat ke Tanah Suci. Sasirangan kemudian menjadi salah satu seragam wajib di sekolah-sekolah.
Meluasnya penggunaan kain sasirangan membuat ”kampung sasirangan” juga tumbuh di Kelurahan Sungai Jingah, Banjarmasin Utara. Perajin dan penjual bahkan ada di berbagai penjuru kota. Meskipun demikian, Kampung Sasirangan Seberang Mesjid tetap menjadi tujuan utama berburu wastra Banjar.