Hampir Separuh dari Total Kecamatan di Bandung Rawan Banjir
Bencana alam rentan di Kota Bandung. Pada Periode Januari-September 2022, tercatat sekali longsor dan dua kasus banjir. Tidak ada korban jiwa. Namun, 21 rumah terdampak.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Sedikitnya 13 kecamatan dari 30 kecamatan di Kota Bandung, Jawa Barat, berisiko terdampak banjir di musim hujan. Hujan berpotensi terjadi mulai September 2022 hingga awal tahun 2023.
Bencana alam rentan di Kota Bandung. Pada periode Januari-September 2022, tercatat sekali longsor dan dua kasus banjir. Tidak ada korban jiwa. Namun, 21 rumah terdampak.
Kepala Seksi Mitigasi Bencana di Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Bandung Amires Pahala, di Bandung, Kamis (22/9/2022), mengatakan, banjir berpotensi terjadi, di antaranya, di Kecamatan Andir, Astanaanyar, Cicendo, Rancasari, dan Kecamatan Kiaracondong. Tingkat kerawanannya dipicu luapan enam aliran sungai di kawasan itu setiap musim hujan.
Sejauh ini, rangkaian mitigasi disiapkan, mulai dari edukasi hingga membersihkan saluran air dan selokan di sekitar permukiman rawan banjir. Dia mengakui, kewaspadaan masyarakat masih minim menghadapi bencana.
Pemerintah daerah, kata dia, juga memastikan kolam retensi bakal berfungsi ideal saat musim hujan. Saat ini, ada 10 kolam retensi di Kota Bandung.
Teranyar adalah kolam retensi di Jalan Bima, Kecamatan Cicendo, untuk meminimalkan luapan Sungai Citepus. Kolam retensi yang diresmikan pada 29 Agustus 2022 itu berkapasitas 5.512,5 meter kubik dengan luas genangan 1.225 meter persegi dan kedalaman 4,5 meter.
Terasering
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung Cakra Amiyana mengatakan, kewaspadaan bencana harus ditingkatkan setidaknya hingga awal tahun 2023.
”Mulai turun hujan pada Oktober 2022, puncak musim hujan diperkirakan Januari-Februari 2023. Meski intensitasnya kecil, hujan masih akan turun hingga April 2023,” katanya.
Sejauh ini, berbagai langkah mitigasi sudah disiapkan. Dia mencontohkan, identifikasi tempat pengungsian, memastikan kesiapan jalur evakuasi, hingga meminta warga menyimpan dokumen penting di tempat aman.
”Selain banjir, kami minta masyarakat di sekitar lereng gunung agar waspada longsor,” kata Cakra.
Menanggapi imbauan itu, petani sayur di dataran tinggi Kabupaten Bandung mewujudkannya dengan konsisten menanam dengan model terasering sejak beberapa tahun terakhir. Acep Budiman (32), petani sayur dari Kecamatan Cimeyan, mengatakan memilih terasering meminimalkan longsor. Dia melakukannya bersama 30 petani lainnya.
”JIka memaksakan menanam tanpa terasering, dampaknya akan sangat merugikan kawasan hulu di Kota Bandung. Tanah di sini bakal mudah longsor, lalu masuk ke sungai dan memicu banjir bandang,” katanya.
Agus (33), petani sayur Cimeyan lainnya, mengatakan, selain terasering, dia juga menanam jeruk di sekitar kebun sayurnya. Jika awalnya hanya untuk menguatkan struktur tanah mencegah longsor, ia kini mendapat penghasilan tambahan.
”Hasilnya lumayan. Di lahan sekitar 4.000 meter persegi, saya bisa menanam 500 pohon jeruk. Lumayan dapat tambahan penghasilan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan,” katanya.