Anggota Polisi yang Diduga Perkosa Anak di Cirebon agar Dipecat
Sejumlah pihak mendesak Polres Cirebon Kota memecat anggotanya, Brigadir Polisi Satu CH, yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat mendesak kepolisian memecat Brigadir Polisi Satu CH yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya. Polisi juga diminta tetap profesional menangani kasus tersebut.
Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga LPBH PWNU Jabar Bambang Wirawan mengatakan, CH yang juga anggota Kepolisian Resor Cirebon Kota diduga berbuat tidak senonoh pada anaknya sendiri. ”Korban juga mengalami KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), oknum tersebut harus dipecat,” ucapnya, Selasa (27/9/2022).
Menurut Bambang, pemecatan tidak hanya memberi efek jera terhadap pelaku, tetapi juga demi kepentingan institusi kepolisian. ”Bilamana mengabaikan pendisiplinan dan penegakan hukum, kasus seperti ini akan dikenang sebagai sejarah kelam dan menjadi stigma buruk untuk kinerja Polri ke depannya,” paparnya.
Pihaknya juga meminta kepolisian tidak menunggu keputusan tetap pengadilan untuk memecat CH. Hal itu, lanjutnya, sesuai dengan Peraturan Polisi Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan itu mengatur pemberhentian polisi dengan tidak hormat dari jabatannya.
Bambang juga mendorong Kepolisian Resor Kota Cirebon agar profesional menangani kasus yang melibatkan anggota polisi itu. Terlebih lagi, kasus tersebut menjadi perhatian publik dan sempat ramai di media sosial. ”Kami mendukung penyidik berlaku netral dan berpihak pada kebenaran. Kami juga siap mendampingi korban,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Polresta Cirebon Komisaris Besar Arif Budiman berjanji tetap profesional menangani kasus dugaan kekerasan fisik dan seksual oleh CH kepada anaknya yang berusia 11 tahun. Pihaknya juga telah menahan tersangka. ”Dalam kasus ini, penyidik tidak pandang bulu dan tidak tebang pilih,” ucapnya.
Menurut dia, polisi menerima laporan kekerasan yang menimpa korban pada 25 Agustus lalu. Pada 5 September, ibu korban resmi membuat laporan polisi terkait kekerasan seksual. Tanggal 6 September, polisi lalu menangkap tersangka dan keesokan harinya menahannya. Polisi juga menghadirkan tersangka saat rilis.
Pihaknya pun berencana menerapkan pasal berlapis, yakni Pasal 81 Ayat (3) juncto Pasal 76 D dan/atau Pasal 82 Ayat 2 jo Pasal 76 E Undang-Undang No 17 Tahun 2016 terkait dengan perlindungan anak dan Pasal 6 C UU No 12/2022 terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual. Jika terbukti, CH terancam dipenjara 15-20 tahun.
Pihaknya juga membuka ruang bagi keluarga korban jika mendapatkan fakta-fakta baru terkait dengan perkara. ”Kami mempersilakan semua pihak mengawal proses ini agar penyidikan tetap transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Saya juga berkomitmen, kalau ada pelanggaran oleh penyidik, kami tidak menoleransi,” ujarnya.
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Bimasena memastikan akan memantau secara langsung penanganan kasus tersebut. Pihaknya juga mengingatkan berbagai pihak agar menghormati hak anak. ”Terkait viralnya kasus ini, kami berharap jangan sampai anak jadi korban kedua kalinya,” katanya.