Aksi Polisi NTT Menembak Mati Pelaku Penganiayaan Dinilai Berlebihan
GYL alias Erson, warga Belu, NTT, ditembak mati anggota Polres Belu. Tindakan ini dinilai melanggar hak asasi warga sipil. Erson seharusnya tidak perlu ditembak mati, tetapi cukup ditangkap.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
ATAMBUA, KOMPAS — Penembakan anggota buru sergap Kepolisian Resor Belu, Nusa Tenggara Timur, terhadap pelaku penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dinilai sebagai tindakan berlebihan. Polisi perlu mengikuti prosedur tetap penangkapan pelaku sesuai Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri di lapangan. Tim Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah NTTsedang menangani kasus ini.
Direktur Yayasan Lembaga Advokasi Tindak Kekerasan terhadap Masyarakat Cendana Wangi Timor Viktor Manbait, Rabu (28/9/2022), di Atambua, mengatakan, penembakan yang menyebabkan kematian GYL alias Erson (18), warga Desa Tasain, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, Selasa (27/9/2022), sangat disayangkan. Kasus ini menambah deretan panjang perilaku aparat kepolisian di NTT sebagai penegak hukum yang jauh dari sikap profesionalisme terkait perlindungan hak asasi masyarakat.
”Penembakan sampai mati itu sangat berlebihan. Polisi hanya bisa menggunakan senjata api dalam menghadapi keadaan yang luar biasa. Membela diri dari ancaman kematian, dan atau luka berat. Membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka berat, menghentikan orang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa orang lain, dan atau menangani situasi yang sangat membahayakan jiwa,” kata Manbait.
Hal itu diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf a-f tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Penembakan oleh anggota buru sergap (buser) Polres Belu dalam upaya menangkap Erson, pelaku penganiayaan terhadap sopir truk, yang kemudian masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polres Belu, tidak dibenarkan.
Ia menyebutkan, menurut penjelasan Kapolres Belu, penembakan dilakukan anggota buser Belu, Brigadir Rogerius Roy Sonbay, karena korban hendak melarikan diri saat ditangkap.Polisi lalu melepaskan tembakan peringatan, tetapi tidak ditaati. Polisi berupaya melumpuhkan kaki korban. Namun, korban menunduk sehingga punggung korban tertembak dari arah belakang.
Manbait mengatakan, pernyataan ini perlu dibuktikan. Apakah korban benar-benar melarikan diri atau tidak. Apa betul korban menunduk atau badan korban dalam kondisi tegak. Selain itu, profesionalisme anggota buser itu pun patut dipertanyakan. Informasi masyarakat menyebutkan, korban ditembak dalam jarak sekitar 20 meter. Jika demikian, polisi bisa menangkap korban dengan tangan karena jumlah anggota polisi saat itu cukup, tujuh orang. Mengapa polisi harus menggunakan peluru tajam dalam kasus ini.
Harus didalami juga apakah korban Erson penjahat kambuhan yang selama ini meresahkan seluruh masyarakat Belu dan rekam jejaknya dimiliki polisi. Menurut penjelasan Kapolres Belu, korban menghadang sebuah truk dan menganiaya sopir truk di Kelurahan Fatubenao, Atambua. Sejak saat itu, pelaku melarikan diri sehingga masuk DPO Polres Belu.
”Apa yang terjadi itu adalah tindakan pelanggaran berat, yang melanggar hak asasi korban. Kasus ini tidak berhenti pada pemeriksaan Propam untuk tindakan disiplin. Patut ditelusuri ada tidaknya unsur kesengajaan menggunakan kekuatan berlebihan dengan menggunakan senjata api yang menjurus pada perbuatan pidana dan melanggar hak asasi korban,” kata Manbait.
Sesuai peraturan kapolri itu, satu anggota polisi minimal menghadapi lima penjahat kambuhan dan terlatih. Akan tetapi, dalam kasus Erson, tujuh anggota buser menghadapi satu tersangka penganiayaan. Mestinya polisi bisa memiliki alternatif lain untuk melumpuhkan tersangka atau pelaku kejahatan yang dikejar. Namun, hal ini tidak dilakukan.
Manbait meneruskan, tindakan pencegahan dengan tembakan peringatan tidak bisa serta-merta diikuti dengan tembakan melumpuhkan, tetapi ada peringatan lain, yakni dengan ucapan yang jelas dan tegas agar yang bersangkutan berhenti. Itu pun harus diikuti dengan jeda waktu yang cukup agar pelaku mendengarkan peringatan itu.
Penggunaan senjata api oleh anggota polisi di lapangan selama ini sering bertentangan dengan aturan penggunaan senjata api yang tertera dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan pembinaan terhadap petugas penegak hukum yang menjadi tugas dan tanggung jawabkepala kepolisian setempat.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Aria Sandy mengatakan, kejadian berawal dari upaya penangkapan terhadap pelaku penganiyaan.Selasa (27/9/2022), tujuh anggota buser dari Atambua menuju Dusun Motamoruk, Desa Tasain, Belu, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Atambua.
Saat anggota tiba di dusun itu, pelaku melarikan diri sehingga anggota polisi, Brigadir Rogerius Roy Sonbay, mengejar dan melepaskan tembakan peringatan ke udara tiga kali. Pelaku terus berlari mengikuti tanah turunan. Polisi hendak menembak di bagian kaki, tetapi korban terjatuh sehingga tembakan mengenai punggung belakang sebelah kanan.
Setelah terjatuh, korban dievakuasi ke RSUD Gabriel Manek, Atambua. Namun, saat tiba di RS, korban sudah dalam kondisi meninggal. Warga dan keluarga korban yang hadir marah. Mereka kemudian mengusung jenazah korban ke Kantor DPRD Belu dan Gereja Katedral Atambua.
Saat ini pihak Propam Polda NTT sedang melakukan pengumpulan data dan keterangan terkait penembakan itu. Hasilnya akan disampaikan kepada masyarakat, termasuk jika ada kesalahan prosedur dalam upaya penangkapan itu.