Selama dua bulan terakhir, harga sayuran anjlok. Menyikapi kondisi tersebut, petani enggan menjual dan justru menyumbangkan hasil panen sayuran.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Anjloknya harga sayur dua bulan terakhir membuat banyak petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini tidak lagi antusias menjual hasil panen sayur. Karena dianggap tidak memberikan hasil yang menjanjikan, sebagian sayuran kini justru disumbangkan.
Sumbangan sayur itu tidak hanya dilakukan secara massal oleh kelompok tani ataupun gabungan petani di tingkat dusun, tetapi juga setiap petani secara pribadi.
Dalam dua bulan kegiatan menyumbangkan sayuran oleh petani, baik perseorangan maupun kelompok, di Dusun Mantran Wetan sudah dilakukan lebih dari lima kali.
”Dalam satu kali kegiatan, volume sayuran yang disumbangkan mencapai 500 kilogram (kg) hingga 1 kuintal,” ujar Andoko, Kepala Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kabupaten Magelang, Kamis (29/9/2022).
Sumbangan sayuran itu biasanya diberikan kepada pondok pesantren, panti asuhan, ataupun kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Penurunan harga sayuran ini justru terjadi saat hasil panen optimal dan berlimpah ruah. Khusus untuk hasil panen kubis dan tomat saja, misalnya, mampu mencapai 100 ton per hektar. Luas lahan pertanian di Dusun Mantran Wetan terdata mencapai 60 hektar dan kini sebagian besar menghasilkan panen kubis, sawi, dan tomat.
Kubis dan tomat memang paling terdampak penurunan harga. Harga kubis yang tiga bulan lalu berkisar Rp 8.500-Rp 9.000 per kg kini anjlok hanya menjadi Rp 500 per kg. Adapun harga tomat yang sebelumnya mencapai Rp 13.000 per kg, kini hanya berkisar Rp 700-Rp 1.000 per kg.
Ambil sendiri
Sekretaris Desa Girirejo Santoso mengatakan, selain membagikan langsung kepada penerima, sebagian petani menyumbangkan sayuran dengan cara membuka lahan dan mempersilakan siapa pun datang untuk memanen secara gratis.
”Pada kondisi harga anjlok seperti sekarang, petani bahkan enggan memanen dan menjual karena kegiatan memanen dan mengangkut sayuran saja sudah cukup memberikan tambahan biaya yang makin memperbesar kerugian,” ujarnya.
Santoso termasuk sebagai salah satu petani yang mengalami dampak kerugian karena turunnya harga sayuran. Ia menanam kubis dengan biaya modal Rp 17 juta. Kini ia merugi karena hasil penjualan sayuran yang didapatkan hanya mencapai sekitar Rp 12 juta.
Supadi, petani lainnya, mengatakan, kegiatan menyumbangkan sayuran menjadi hal yang dianggap lumrah, rutin dilakukan petani. Kalangan petani pun tidak berkeberatan ketika kemudian mereka juga harus menanggung biaya transportasi untuk mengantarkan sayuran ke tempat-tempat yang dianggap memerlukan sumbangan.
”Pada dasarnya kami sudah ikhlas menyumbang,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Gemilang, Kabupaten Magelang, Eko Sungkono mengatakan, dengan kondisi anjloknya harga sayuran tersebut, pihaknya pun terus berusaha mencari-cari agenda bazar, ekspo, ataupun pameran yang nantinya bisa menjadi kesempatan bagi petani sayur menjual hasil panen.
”Kami berupaya memfasilitasi, mencarikan peluang pasar yang lebih besar sehingga produk pertanian sayuran tetap dapat terserap pasar dan tidak dibiarkan terbuang atau disumbangkan saja,” ujar Eko yang sehari-hari juga bekerja sebagai petani asal Kecamatan Mertoyudan.
Keluhan tentang turunnya harga sayuran ini, menurut dia, disampaikan pula oleh sebagian anggota Aspartan yang juga merupakan petani sayuran.
Selain berinisiatif menyumbangkan, sebagian petani justru memilih untuk memotong semua hasil panen, membuang dan justru menjadikan semacam pupuk untuk aktivitas bertani selanjutnya.
”Sekalipun sudah menderita kerugian, di atas lahan, di atas sisa-sisa sayuran yang urung dijual tersebut, petani biasanya juga akan tetap kembali menanam sayuran lagi,” ujarnya.