Satgas PPKS UNS Dalami Dugaan Kekerasan Seksual di Sekolah Vokasi
Kasus dugaan pelecehan seksual di Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (BEM SV UNS) di Kota Surakarta, Jawa Tengah, ditelusuri. Diduga pelakunya adalah Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa sekolah itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan pelecehan seksual yang menyangkut Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret atau BEM SV UNS di Kota Surakarta, Jawa Tengah, terus bergulir. Salah seorang korban telah melayangkan laporan. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNS kini tengah mendalami kebenaran informasi atas kasus tersebut.
Kasus dugaan pelecehan seksual mencuat setelah sebuah utas dicuitkan akun @promaagbos pada Jumat (7/10/2022) malam di Twitter. Berdasarkan utas tersebut, sedikitnya ada tiga korban dugaan pelecehan seksual.
Korban ataupun terduga pelaku adalah laki-laki. Terduga pelaku disebut menjabat sebagai Presiden BEM SV UNS. Hingga Selasa (11/10/2022) sore, utas tersebut telah disukai 27.000 pengguna dan dicuitkan ulang 5.895 pengguna.
Ramainya pembahasan utas tersebut direspons Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNS lewat surat pernyataan sikap yang diunggah pada akun Instagram mereka, @satgasppks.uns, pada Sabtu (8/10/2022). Dalam surat itu, UNS menentang keras segala bentuk kekerasan seksual.
Pihak-pihak yang merasa menjadi korban dalam kasus tersebut dipersilakan segera melaporkan kepada satgas agar penanganan kasus bisa segera dilakukan. Ini berkaitan dengan jenis kasus yang tergolong sebagai delik aduan.
Salah seorang korban melaporkan peristiwa yang dialaminya pada Satgas PPKS UNS, Senin (10/10/2022). Sewaktu melapor, korban didampingi perwakilan dari BEM SV UNS dan Dewan Mahasiswa SV UNS.
”Saat ini, kami sedang mengumpulkan data sebanyak-banyaknya terkait kasus tersebut. Jika terbukti seperti apa yang dituduhkan, maka akan mendapatkan hukuman sesuai dengan regulasi yang ada,” kata Ketua Satgas PPKS UNS Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, lewat pesan singkatnya, Selasa siang.
Ditanyai soal sanksi, Ismi belum bisa menjawabnya. Sanksi baru bisa ditentukan setelah seluruh rangkaian pemeriksaan rampung dilakukan. Jenis sanksi yang diberikan bergantung dengan seberapa berat tingkat pelanggaran dari terduga pelaku.
Pemberian sanksi mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sanksi yang dikenakan berwujud sanksi administratif dengan tiga tingkat pelanggaran, yakni sedang, ringan, dan berat.
Sanksi paling ringan berupa teguran tertulis atau pembuatan permohonan maaf tertulis yang dipublikasikan, baik di internal kampus maupun media massa. Untuk sanksi administratif, hukuman bisa berupa skorsing. Sanksi terberat adalah pemberhentian tetap sebagai mahasiswa ataupun jabatan pendidik atau tenaga kependidikan.
Di sisi lain, BEM SV UNS juga mengeluarkan surat desakan agar terduga pelaku diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden BEM SV UNS secara tidak hormat. Surat desakan itu ditandatangani Wakil Presiden BEM SV UNS Muhammad Washul.
Surat itu disikapi Dewan Mahasiswa SV UNS dengan memutuskan melimpahkan kewenangan jabatan presiden kepada wakil presiden. Pelimpahan kewenangan bertujuan agar roda organisasi bisa terus berjalan.
”Kondisi organisasi BEM memang baru konsolidasi ulang karena pimpinannya tidak bisa menjalankan fungsi itu. Jadi, organisasi tetap berjalan (saat ini) dengan komando dari wakil presiden,” kata Ketua Dewan Mahasiswa SV UNS Muhammad Alfied Pandam Pamungkas.
Pandam mengharapkan penanganan kasus segera memperoleh kejelasan. Itu berkaitan desakan pemberhentian terduga pelaku dari jabatannya. Pihaknya mengaku baru bisa membebaskan presiden dari tugasnya jika laporan yang dilayangkan sudah naik statusnya menjadi penyidikan. Pembebasan tugas untuk mempermudah segala proses penyidikan yang bakal berlangsung.