Inflasi yang Menyesakkan Warga Sumbar
Tingginya tingkat inflasi di Sumatera Barat beberapa bulan terakhir membuat sebagian warga mengeluh. Gerakan menanam cabai dinilai tidak efektif.
Tingginya tingkat inflasi di Sumatera Barat beberapa bulan terakhir membuat sebagian warga mengeluh. Kenaikan harga komoditas tak sebanding dengan penghasilan yang stagnan. Stimulus tepat sasaran bagi kalangan berpendapatan rendah mesti terus dilakukan demi menjaga pertumbuhan ekonomi.
Raut wajah Sensmice (62) seketika berubah tatkala mendengar harga terbaru cabai merah di Pasar Raya Padang. Harga cabai merah jawa siang itu Rp 60.000 per kg, jauh dari ekspektasinya bahwa harga cabai sudah turun menjadi Rp 44.000 per kg.
Pensiunan bidan itu pun terpaksa mengurangi pembelian cabai. Sensmice hanya membeli ¼ kg dari rencana awal 1-2 kg. Itu ia lakukan agar masih bisa membeli bahan kebutuhan masak lainnya.
”Kaum ibu sangat mengeluh dengan tingginya harga bahan pokok, terutama cabai yang merupakan kebutuhan setiap hari. Agak sulit bawa uang Rp 100.000 untuk belanja sekarang, tidak penuh kantongnya,” kata warga Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, itu, Kamis (6/10/2022).
Baca juga: Inflasi Sumbar Tertinggi Kedua di Nasional, TPID Siapkan Langkah Antisipasi
Cabai merah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian besar keluarga Minangkabau di Sumbar. Dapat dikatakan, tidak ada cabai tidak makan. Besarnya kebutuhan cabai di Sumbar kerap memicu inflasi.
Sensmice tidak hanya mengeluhkan kenaikan harga cabai merah dalam beberapa bulan terakhir, tetapi juga komoditas lain, seperti bawang, beras, dan minyak goreng. Belum lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat menguras dompet.
”Jangankan masyarakat berpenghasilan minim, saya saja yang pensiunan, punya uang pensiun setiap bulan, sangat merasakan dampaknya,” ujarnya.
Dampak inflasi lebih besar dirasakan Pendi (39), guru honorer di Kota Padang. Harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, sedangkan honornya begitu-begitu saja beberapa tahun terakhir. Honor yang ia terima hanya Rp 675.000 per bulan.
”Dampaknya sangat luar biasa. Semua bahan pokok mahal. Biasanya bawa uang Rp 100.000 ke pasar sudah banyak bahan yang dibawa pulang. Sekarang dengan uang segitu cuma bisa bawa cabai. Belum lagi kenaikan harga BBM,” katanya, Jumat (7/10/2022).
Saat nilai uang honor semakin rendah, usaha kecil-kecilan penjualan sandwich dan roti bakar yang ditekuni Pendi dan istrinya di halaman rumah untuk tambahan penghasilan juga terdampak. Biaya produksi semakin tinggi, sedangkan harga jualnya tak bisa dinaikkan karena target konsumennya anak-anak.
Baca juga: Melebihi Angka Nasional, Inflasi di Sumbar Disumbang Kelompok Transportasi
Pendi mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan langsung tunai untuk meringankan efek kenaikan harga, entah apa sebabnya. Walakin, ia hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. Setidaknya ia dan keluarga masih bisa makan seperti keluarga lain.
”Harapan kami tidak muluk-muluk. Tak perlu pula pemerintah memberi kami bantuan puluhan juta sebulan. Yang dibutuhkan harga barang stabil dan kesehatan terjamin. Ini harga dagangan kami jual murah, harga bahan yang dibeli tak tanggung mahalnya,” ujarnya.
Lebih tinggi dari angka nasional
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar mencatat, provinsi ini kembali mengalami inflasi pada September lalu sebesar 1,39 persen. Angka itu melebih inflasi secara nasional, yaitu 1,17 persen. Inflasi September paling besar disumbang oleh kenaikan harga BBM pada awal bulan.
Inflasi 1,39 persen itu menyumbang inflasi tahun kalender 2022 menjadi 6,95 persen dan inflasi tahun ke tahun (YoY) 8,49 persen, naik dari inflasi YoY Agustus lalu 7,11 persen. Angka inflasi tahun kalender dan YoY September itu juga jauh dari angka nasional, yakni 4,84 persen dan 5,95 persen.
”Kami lihat secara tabel, inflasi 8,49 persen secara YoY ini merupakan yang tertinggi di Sumbar dibandingkan selama perkembangan per bulan untuk YoY-nya dalam tiga tahun terakhir,” kata Herum Fajarwati, Kepala BPS Sumbar.
Baca juga: HUT Ke-77 Sumbar, Semua Kalangan Diajak Atasi Inflasi
Tingginya inflasi di Sumbar telah disorot pemerintah pusat sejak Agustus lalu. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022, Kamis (18/8/2022), Presiden Joko Widodo mengatakan, Sumbar termasuk lima provinsi dengan tingkat inflasi di atas rata-rata nasional sebesar 4,94 persen.
Inflasi Sumbar 8 persen secara YoY pada Juli 2022 berada di peringkat kedua setelah Jambi sebesar 8,55 persen. Posisi ketiga dan seterusnya, yaitu Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04 persen, dan Aceh 6,97 persen.
Inflasi secara bulanan di Sumbar meningkat signifikan di atas 1 persen sejak Mei 2022 yang juga merupakan momen Idul Fitri. Inflasi Mei sebesar 1,40 persen dengan andil terbesar 0,59 persen dari harga tiket pesawat yang naik 41,73 persen.
Selanjutnya, inflasi bulanan Sumbar pada Juni sebesar 1,18 persen dengan andil terbesar 1,18 persen dari harga cabai merah yang naik 112,21 persen. Pada Juli inflasi sebesar 1,22 persen dengan andil terbesar 0,74 persen masih dari harga cabai merah yang naik 33,37 persen.
Pada Agustus, Sumbar sempat deflasi sebesar 0,95 persen dengan andil terbesar deflasi 0,83 persen dari harga cabai merah yang turun 28,37 persen. Walakin, kenaikan harga BBM kembali memicu inflasi pada September.
Guncangan produksi dan permintaan
Dosen di Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Padang (UNP), Doni Satri, berpendapat, inflasi merata terjadi di seluruh Indonesia. Bedanya, di Sumbar dan beberapa provinsi memang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Inflasi di Sumbar sebagian besar dipicu kenaikan harga pangan, selain tiket pesawat dan BBM.
”Inflasi Sumbar tinggi karena selama ini inflasinya rendah. Jadi, ada low base effect. Lonjakan kenaikan harga tinggi dari sebelumnya rendah, menyesuaikan dengan cepat ke atas. Itu penyebab inflasi Sumbar tinggi. Dari awalnya rendah, terjadi guncangan di sisi produksi dan permintaan, akhirnya tinggi kenaikannya. Sumbar ini daerah produsen,” katanya, Kamis (6/10/2022).
Menurut Doni, pihak paling menderita oleh tingginya inflasi ini adalah kalangan berpendapatan tetap (gaji per bulan) dengan gaji rendah atau sekitar UMR yang gajinya tidak naik/disesuaikan, seperti petugas kebersihan kantor dan pegawai rendahan. Sementara itu, kalangan wiraswasta bisa menyesuaikan.
Kalangan tersebut, kata Doni, perlu dibantu agar konsumsi mereka terjaga sehingga ekonomi tetap tumbuh. Pemerintah saat ini sudah melakukan itu. Masalahnya, seperti biasa, Indonesia tidak punya data lengkap dan detail tentang siapa yang harus dibantu, kenapa, dan apakah masih layak dibantu agar bantuan tepat sasaran.
Doni menambahkan, subsidi untuk mempertahankan konsumsi masyarakat di kelompok berpendapatan rendah harus dilakukan. Di luar negeri, seperti di negara-negara Eropa dan AS, katanya, kondisi tersebut memicu tingginya kriminalitas karena banyak yang menjadi gelandangan dan tidak berpenghasilan.
”Di Indonesia, jaring pengaman sosial kita relatif bagus. Jaring pengaman sosial masyarakat itu sendiri, pemerintah harus hadir di situ. Kelompok rentan terdampak buruk kenaikan harga secara umum harus diselamatkan konsumsinya,” ujarnya.
Gubernur Sumbar Mahyeldi, Sabtu (1/10/2022), mengatakan, dalam pengendalian inflasi di Sumbar, pemerintah provinsi beberapa kali berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Ia mengakui kenaikan harga BBM turut menghambat upaya daerah mengendalikan laju inflasi. Kenaikan harga BBM akan menaikkan harga tarif angkutan dan komoditas lainnya.
”Kami mendorong OPD (organisasi perangkat daerah) membelanjakan uang/anggarannya. Serapan anggaran ditingkatkan. Ada 2 persen DAU (dana alokasi umum) dan bantuan pemerintah pusat kami alokasikan untuk subsidi transportasi, pertanian, dan membantu masyarakat. Anggaran itu sekitar Rp 500 miliar,” katanya.
Kelancaran pasokan
Selain itu, pemprov juga berupaya meningkatkan ketersediaan bahan-bahan pemicu inflasi, seperti menggerakkan warga untuk menanam cabai. Harga cabai tinggi karena petani beralih bertanam komoditas lain karena harga pupuk cabai tinggi. Untuk daging, pemprov berkoordinasi dengan kabupaten/kota dan provinsi lain untuk menjamin pasokan ke Sumbar.
Mahyeldi melanjutkan, pemprov juga berupaya memperlancar transportasi ke Sumbar. Bersama Balai Pelaksanaan Jalan Nasional, Pemprov Sumbar membenahi jalan rawan longsor, seperti di Sitinjau Lauik, agar menjamin kelancaran arus barang dan orang. Untuk jangka panjang, pemprov mencari alternatif jalan.
Menurut dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Endrizal Ridwan, selain membantu warga miskin dengan bantuan sosial agar konsumsi terjaga, warga berpendapatan tetap, seperti pegawai, juga mesti diperhatikan. Gaji mereka tidak berubah, sedangkan harga barang dan jasa semakin tinggi.
Kalangan tersebut, kata Endrizal, mestinya distimulus dengan menerapkan indeks inflasi. Gaji mereka disesuaikan dengan tingkat inflasi. Misal, inflasi 2 persen, gaji dinaikkan 2 persen, begitu sebaliknya apabila terjadi deflasi. Dengan demikian, mereka tidak akan terdampak jika indeks inflasi ini dijalankan. ”Ini kami usulkan kepada pemerintah. Gaji dan kontrak diindeks dengan inflasi,” katanya.
Endrizal berpendapat, tidak pas merespons inflasi dengan menambah produksi, seperti gerakan menanam cabai yang diterapkan Sumbar. Pemda menyebar bibit ke rumah tangga untuk ditanam di rumah. Program itu, katanya, berbiaya tinggi dan tidak efektif sebab warga harus merawat cabai, membeli pupuk, dan sebagainya.
Tidak pas merespons inflasi dengan menambah produksi, seperti gerakan menanam cabai yang diterapkan Sumbar. (Endrizal)
Hal tersebut, kata Endrizal, terbukti pada turunnya harga cabai merah yang berandil pada deflasi pada Agustus dan September. Penurunan itu bukan karena gerakan tanam cabai yang belum membuahkan hasil, melainkan karena faktor penawaran dan permintaannya.
“Semestinya TPID (tim pengendalian inflasi daerah) lebih fokus bagaimana barang ini keluar-masuk Sumbar dengan lancar. Inflasi juga dipicu perdagangan tidak berjalan mulus, masalah infrastruktur, aturan, dan sebagainya. Banyak jalan rusak parah, itu menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi, arus barang tidak lancar,” ujarnya.