Masih Jual Kakao ke Tengkulak, Petani Lampung Dibimbing Bidik Pasar Ekspor
Petani kakao di Lampung diajak membidik pasar ekspor. Mereka perlu melakukan proses pengolahan biji kakao untuk memenuhi kualitas ekspor dan meningkatkan harga jual.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
PESAWARAN, KOMPAS — Kakao dinilai berpotensi menjadi komoditas ekspor unggulan bagi Lampung jika diolah dengan baik. Namun, ada sejumlah kendala yang masih dihadapi petani, terutama terkait produktivitas dan pengolahan pascapanen. Banyak petani kakao yang menjual biji kakao asalan pada tengkulak. Biji kakao itu lalu dikirim ke Jawa untuk diolah dan diekspor melalui provinsi lain.
Subkoordinator Bidang Karantina Tumbuhan Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung Irsan Nuhantoro mengatakan, petani Lampung cenderung menjual biji kakao asalan yang harganya rendah. Padahal, sebagai salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia, Lampung berpeluang meningkatkan kapasitas ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Lampung, pada 2021, produksi kakao di Lampung sebanyak 56.671 ton. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 57.507 ton.
Sayangnya, nilai ekspor kakao asal Lampung justru cenderung menurun. Berdasarkan data Indonesia Quarantine Full Automation System Badan Karantina Pertanian, pada 2021, ekspor kakao Lampung hanya 28,5 ton atau setara dengan Rp 2,6 miliar. Kapasitas ekspor itu menurun signifikan dibandingkan 2019 yang mencapai 8.997,6 ton dengan nilai Rp 146,8 miliar.
Penurunan nilai ekspor itu, menurut Irsan, menunjukkan semakin banyak kecenderungan petani kakao yang menjual biji kakao asalan kepada tengkulak. Biji kakao itu lalu dikirim ke Jawa untuk diolah dan diekspor melalui provinsi lain.
Padahal, dengan membidik pasar internasional, petani Lampung bisa mendapatkan nilai tambah yang besar. Saat ini, harga jual kakao asalan di tingkat petani berkisar Rp 6.000-Rp 15.000 per kilogram, bergantung pada kualitas. Sementara harga jual biji kakao yang telah difermentasi dan memenuhi kualitas ekspor di atas Rp 40.000 per kg.
”Karena itulah, kami memberikan bimbingan kepada petani tentang bagaimana mengolah biji kakao agar bisa memenuhi kualitas ekspor. Ini tidak bisa dilakukan sendirian, tapi harus bersama-sama dalam satu kelompok tani,” kata Irsan di sela-sela kegiatan Bimbingan Teknis Menembus Pasar Ekspor untuk petani kakao di Pesawaran, Selasa (18/10/2022).
Jika dibudidaya dan dikelola dengan baik, kelompok tani di Lampung diyakini bisa melakukan ekspor kakao secara mandiri dalam beberapa tahun ke depan. (Irsan Nuhantoro)
Acara itu dihadiri oleh sekitar 250 petani kakao dari Kabupaten Pesawaran. Selain itu, hadir pula Ketua Komisi IV DPR Sudin dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung Jekvy Hendra.
Irsan mengatakan, petani diharapkan tertarik mengubah pola pikir dari sekadar bertani kakao menjadi eksportir kakao. Jika dibudidaya dan dikelola dengan baik, kelompok tani di Lampung diyakini bisa melakukan ekspor kakao secara mandiri dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam acara tersebut, Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung menghadirkan Riswanto (40), petani kakao asal Kabupaten Lampung Timur yang telah sukses mengolah dan memfermentasi biji kakao. Dengan pengolahan pascapanen yang tepat, kakao bisa dijual dengan harga tinggi, berkisar Rp 40.000-Rp 55.000 per kilogram. ”Kami menjual ke ritel dan industri untuk kebutuhan ekspor,” ujar Riswanto.
Untuk mengolah biji kakao menjadi produk fermentasi, petani hanya membutuhkan kotak fermentasi dan daun pisang. Proses fermentasi dilakukan dengan cara pengeraman biji kakao yang telah dikupas pada kotak fermentasi selama sekitar 4-6 hari. Selanjutnya, biji kakao dijemur dan siap dikemas untuk dijual. Fermentasi sendiri dilakukan untuk membentuk cita rasa cokelat dan mengurangi rasa sepat.
Turis (33), petani kakao asal Desa Gunung Rejo, Kemamatan Way Ratai, Pesawaran, mengungkapkan, petani masih menghadapi berbagai kendala dalam budidaya kakao. Saat ini, produktivitas tanaman kakao menurun karena banyaknya hama penyakit dan usia tanaman yang sudah terlalu tua. ”Saya hanya panen 70 kilogram kakao dari setengah hektar lahan. Hasil panen hanya cukup untuk beli pupuk subsidi dua karung,” keluhnya.
Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan benih, pupuk, dan pendampingan bagi petani kakao agar berhasil menembus pasar ekspor.
Terkait hal itu, Sudin menyampaikan, pemerintah segera menyalurkan 300.000 bibit kakao untuk petani di Lampung sebagai upaya revitalisasi tanaman yang sudah tua. Petani juga tetap bisa mengajukan kuota pupuk bersubsidi lewat kelompok tani.
Adapun Jekvy Hendra menyampaikan, tanaman kakao bisa dipanen setiap pekan jika dikelola dengan baik. Selain bibit unggul dan pemupukan intensif, petani juga harus rutin memangkas daun yang bisa mengurangi produktivitas tanaman itu.
Dengan begitu, petani bisa mendapatkan hasil panen yang lebih optimal. Dalam satu tahun, produktivitas tanaman kakao diharapkan bisa mencapai 1-2 ton biji kakao kering.