Dengan harga makanan dan minuman yang murah, warung burjo sangat ramah bagi banyak orang, termasuk mereka yang berkantong cekak. Dengan kulturnya yang khas, warung burjo juga menjelma menjadi ruang temu yang egaliter.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Entakan irama dangdut memenuhi seisi ruangan Warung Burjo Samiasih di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (18/10/2022). Waktu menunjukkan pukul 20.00. Kumpulan mahasiswa yang kelaparan berdatangan.
Dilihat dari sandangannya, sebagian dari mereka sepertinya baru saja pulang dari kampus karena masih berkemeja dan menggendong tas ransel. Beberapa lainnya terlihat lebih santai dengan kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit.
Di salah satu meja, terlihat empat sekawan asyik bercakap-cakap. Sejak menunggu makanan tiba hingga nasi di piring ludes disantap, mereka tak kehabisan topik perbincangan. Mulai dari hebohnya tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, persidangan kasus Ferdy Sambo, sampai mengomentari aransemen lagu dangdut yang sedang diputar.
Empat sekawan itu ialah Ilham (19), Samuel (19), Vandika Febrian (19), dan Alexander (20). Mereka adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kebetulan warung burjo yang mereka datangi berlokasi tak jauh dari kampus. Jaraknya tak sampai 3 kilometer. Dijangkau dengan sepeda motor, waktu yang diperlukan kurang dari 10 menit.
”Kalau ditanya kapan saja ke warung burjo, bisa dibilang hampir setiap hari. Soalnya memang enak-enak makanannya dan murah harganya. Sejauh ini, belum pernah dikecewakan, sih, sama rasa masakannya,” kata Ilham.
Sejumlah referensi menyebut, warung burjo di DIY dan beberapa daerah lain dirintis oleh warga dari Kuningan, Jawa Barat. Awalnya, warung makan itu hanya berjualan bubur kacang hijau. Namun, seiring berjalannya waktu, menu makanan yang disajikan menjadi lebih beragam.
Selain bubur kacang hijau, banyak warung burjo di DIY yang menyajikan nasi telur, nasi goreng, nasi sayur, nasi sarden, nasi ayam, mi instan, dan lain sebagainya. Belakangan, warung makan itu juga kerap disebut dengan nama warmindo karena menyajikan mi instan sebagai salah satu menunya.
Bagi Ilham dan teman-temannya, harga yang murah menjadi pertimbangan utama untuk makan di warung burjo. Sebab, sebagai mahasiswa rantau, uang saku dari orangtua mereka relatif terbatas. Dengan harga makanan dan minuman yang murah, rata-rata satu orang cukup mengeluarkan uang sekitar Rp 15.000 untuk makan kenyang plus minum di warung burjo.
Di sisi lain, Ilham punya alasan tambahan untuk memosisikan warung burjo sebagai tempat makan favoritnya. Sebab, dia berasal dari Jawa Barat, sama dengan kebanyakan penjaga warung burjo. Para penjaga warung burjo itu kerap dipanggil dengan sapaan ”aa” yang merupakan padanan kata ”mas” dalam bahasa Sunda.
”Aa penjaga warung burjo itu ramah-ramah. Kadang mereka suka ajak ngobrol juga. Malah jadi tambah teman akhirnya. Bisa saling mengenal dan paling tidak ada yang bisa diajak ngobrol dengan bahasa daerah,” tutur Ilham.
Kalau ditanya kapan saja ke warung burjo, bisa dibilang hampir setiap hari.
Penyelamat
Widiyanto (34), pengemudi ojek daring di Yogyakarta, juga mensyukuri keberadaan warung burjo. Salah satu keuntungan yang dirasakannya adalah banyak warung burjo buka 24 jam. Selain itu, banyak warung burjo yang berlokasi di kawasan indekos mahasiswa. Di kawasan itu, pesanan ojek daring paling sering muncul.
Oleh karena itu, Widiyanto mengaku kerap berlama-lama di warung burjo sambil menunggu pesanan ojek daring. Keberadaan konsumen yang berlama-lama di warung itu tak pernah dipersoalkan meskipun uang yang mereka keluarkan untuk jajan tak seberapa. Inilah bentuk kemurahan hati para pemilik dan penjaga warung burjo.
”Keberadaan warung-warung burjo itu jadi penyelamat untuk kami. Kami bisa lama menunggu pesanan di sana dan tidak dipermasalahkan. Justru kami berteman sama aa yang jaga,” kata Widiyanto.
Widiyanto menuturkan, kebanyakan konsumen warung burjo memang berasal dari kalangan mahasiswa. Bahkan, para mahasiswa itu kerap datang berombongan ke warung burjo. Namun, keberadaan mereka sama sekali tak membuat konsumen dari kalangan lain terganggu.
Obrolan di antara pelanggan dari kalangan berbeda pun bisa berlangsung cair. Lebih-lebih jika sudah membicarakan skor terkini kompetisi sepak bola Eropa. Semua berlagak macam pengamat yang membanggakan tim idolanya masing-masing.
Aditya Putra (34), karyawan swasta di Yogyakarta, juga mengaku rutin mengunjungi warung burjo sejak masih mahasiswa. Menu favoritnya di warung burjo adalah mi dokdok, yakni mi instan yang dimasak nyemek atau sedikit berkuah, lalu ditambahi dengan telur.
”Burjo memang selalu jadi tempat yang nyaman buat nongkrong sampai sekarang. Suasananya cair dan akrab. Terasa begitu bebas di sana untuk cerita apa saja,” kata Aditya.
Cecep Saprudin (49), pemilik Warung Burjo Rizky Panghegar di Sleman, mengatakan, keramahan menjadi hukum wajib baginya dalam melayani pelanggan. Itulah kenapa Cecep sebisa mungkin selalu mengajak ngobrol konsumennya. Obrolan itu berbuah pertemanan akrab yang terjalin dalam waktu panjang. Kebetulan warung yang didirikannya juga berada di kawasan perkampungan kantong indekos.
Soal harga, Cecep menyadari, pasar terbesar warung burjo adalah kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, sebisa mungkin harga makanan dibuatnya terjangkau bagi kantong mahasiswa. ”Kita tahu konsumen memang paling banyak mahasiswa. Kalau sekarang harganya tinggi, malah tidak terbeli sama mereka. Mereka, kan, juga uang sakunya terbatas,” kata Cecep.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, R Derajad Sulistyo Widhyharto, menilai, selain harga makanan yang murah, kultur informalitas di warung burjo juga membuat banyak orang merasa nyaman berlama-lama di warung itu. Di warung burjo, memang tak ada aturan saklek yang mendikte pengunjungnya harus berpakaian rapi atau berperilaku tertentu seperti saat berkunjung ke restoran.
Derajad menambahkan, kultur informalitas itu juga membuat para pelanggan di warung burjo tak lagi memedulikan kelas sosial. Semua pelanggan merasa egaliter atau setara satu sama lain.
”Informalitas membuat orang merasa setara. Cara aa penjaga burjo melayani pembeli juga membuat semuanya dalam posisi egaliter. Mereka tidak peduli status sosial yang membeli, standar pelayanannya tetap sama,” tutur Derajad.