Saat Bubur Kacang Hijau Tergusur dari Warung Burjo di Yogyakarta
Menu bubur kacang hijau atau burjo mulai tergusur di warung-warung burjo di Daerah Istimewa Yogyakarta. Padahal, burjo menjadi identitas kultural sekaligus simbol keuletan untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Menu bubur kacang hijau atau burjo mulai tergusur dari warung-warung burjo di Daerah Istimewa Yogyakarta. Padahal, burjo punya sejarah panjang sekaligus menjadi simbol keuletan untuk lepas dari jerat kemiskinan. Burjo juga bagian dari identitas kultural warga asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang banyak mengelola warung burjo di DIY.
Hujan deras baru saja reda di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (23/10/2022) malam. Embusan angin malam menyertainya. Kehadiran hawa dingin mengundang orang untuk menyantap makanan hangat. Tak terkecuali bagi Grace Wisung (30), warga asal Nusa Tenggara Timur, yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Yogyakarta.
Sembari melamun di teras rumahnya, tiba-tiba saja terbersit pikiran Grace untuk mencari burjo. Kebetulan, sudah lama ia tak menyantap hidangan itu. Lantas, ia bergegas menuju warung burjo yang banyak tersebar di wilayah DIY. Namun, ternyata tak lagi mudah mencari burjo pada warung-warung tersebut. Sedikitnya ada lima warung yang didatanginya. Namun, semuanya tak lagi menjual burjo sejak beberapa tahun terakhir.
Dalam benak Grace, warung burjo adalah warung makan yang pelayannya terdiri dari warga asal Kuningan, Jawa Barat. Menu-menu yang dijual biasanya burjo, mi instan, nasi telur, sarden, dan lain sebagainya. Ciri khas yang paling melekat ialah spanduk dengan kolaborasi warna kuning, merah, dan hijau. Terkadang, warung dilengkapi tulisan “warmindo” yang merujuk pada warung makan mi instan.
“Saya baru sadar, ternyata tidak semua warung burjo itu jual burjo. Kupikir kalau model warungnya sudah seperti itu pasti jualan burjo,” kata Grace.
Warung burjo yang benar-benar menjual burjo baru ditemukan Grace pada perhentian ketujuh. Hidangan tersebut diperolehnya di Warung Burjo Murni Monjali 54 di Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY. Tak butuh waktu lama bagi sang penjaga untuk menyuguhkan semangkuk burjo hangat kepadanya. Badan yang sedari tadi kedinginan seketika terasa hangat saat menyantap bubur hasil perpaduan kacang hijau, ketan hitam, dan santan itu.
Baca juga: Membangun Masjid dari Butiran Kacang Hijau
Rasa manis dari kacang hijau dan ketan hitam melebur nikmat dengan gurihnya santan. Kacang hijau dan ketan hitam diolah dengan kelembutan yang pas. Wangi yang menguar dari uap santan semakin menggugah selera. Hanya butuh 10 menit saja bagi Grace untuk menyantap bubur tersebut hingga mangkuknya bersih tak tersisa.
“Enak sekali. Perjuangan keliling ini seperti terbayarkan setelah makan burjo di sini. Besok-besok kalau mau cari burjo langsung ke sini saja,” tutur Grace dengan wajah semringah.
Perlawanan
Warung Burjo Murni Monjali 54 adalah satu dari sekian banyak warung burjo di DIY yang masih mempertahankan menu burjo. Warung tersebut telah berdiri sejak 1995. Pemiliknya bernama Iim Durahim (52). Ia berasal dari Desa Kertayasa, Kecamatan Sindangagung, Kabupaten Kuningan. Namun, kiprahnya menggeluti bisnis burjo sejatinya dimulai sejak 1993. Kala itu, ia masih ikut dengan warung milik kakaknya yang dinamai Warung Burjo Murni.
Iim masih ingat betul masa awal perantauannya ke DIY. Saat itu, jumlah warung burjo belum mencapai ribuan. Menu yang dijajakan juga sangat terbatas, yaitu burjo, telur setengah matang, mi rebus, dan kopi tubruk. Belum ada menu-menu lain seperti nasi telur, nasi sarden, nasi goreng, hingga magelangan yang sekarang justru mengalahkan popularitas burjo.
Baca juga: Nasib Sudah Menjadi Burjo
Hingga sekarang, Iim masih mempertahankan menu burjo di warungnya karena makanan tersebut menjadi kebanggaan daerah asalnya. “Saya bisa seperti ini karena leluhur saya mengajarkan. Mempertahankan menu burjo menjadi bentuk penghormatan untuk leluhur saya,” ucap dia.
Di sisi lain, Iim juga menyadari, burjo semakin jarang dijajakan pada warung-warung burjo yang lekat dengan warga asal Kuningan. Fenomena itu menjadi keresahannya sebagai sesama penjual burjo. Terlebih setelah ada tren pemasangan spanduk “warmindo” yang justru lebih menguatkan merek mi instan ketimbang burjonya.
Oleh karena itu, Iim pun berupaya melawan kecenderungan tersebut. Ia tak mau memasang spanduk bertuliskan “warmindo”. Sebagai gantinya, ia membuat spanduk sendiri. Tulisan “Bubur Kacang Hijau dan Ketan Hitam” dicetak paling besar pada spanduk berwarna hijau di warungnya. Bentuk perlawanan lainnya, ia pernah mengajak penjual burjo se-Yogyakarta untuk memboikot penjualan mi instan dari suatu merek.
“Sebenarnya, burjo dan mi instan ini klop. Tetapi, setelah ada istilah warmindo kok rasa-rasanya burjo semakin hilang,” kata Iim yang sempat menjadi Ketua Paguyuban Warga Kuningan di Yogyakarta pada periode 1997–2002.
Baca juga: Kisah Tiga Rumah Makan Penerus Mangut Lele Mbah Marto di Bantul
Iim juga sebisa mungkin menjaga konsistensi dari burjo yang dijajakannya. Ia rela membeli kacang hijau impor agar rasa buburnya tetap nikmat. Dalam sehari, sedikitnya ia memasak 3 kilogram (kg) kacang hijau dan ketan hitam. Jumlahnya cenderung berkurang dibandingkan beberapa tahun lalu. Waktu itu, ia pernah memasak hingga 12 kg burjo dalam sehari.
Senada dengan Iim, Ahmad Nahrowi (43), pemilik Warung Burjo Samiasih, mengaku punya keresahan yang sama akan tergerusnya citra burjo. Namun, Nahrowi mengakui, jumlah peminat burjo memang cenderung berkurang. Kondisi itulah yang menyebabkan sejumlah pelaku usaha warung burjo tak lagi menjual burjo.
“Dulu sehari bisa habis lebih dari 10 kg kacang hijau. Sekarang, 1 kg saja sehari belum tentu habis. Kebanyakan pelanggan pesan mi instan dan nasi. Yang cari burjo hanya satu sampai dua orang saja,” kata Nahrowi yang menjadi generasi kedua penjaja burjo di keluarganya.
Meski demikian, Nahrowi tetap berupaya menyajikan burjo di warungnya kendati porsinya lebih sedikit. Hal itu menjadi bentuk perjuangannya untuk mempertahankan eksistensi burjo di tengah menu-menu lainnya. Begitu pula dengan pemasangan spanduk. Ia juga memasang besar-besar kata “burjo” sebagai bagian dari identitas warungnya.
Sementara itu, Cecep Saprudin (49), pemilik Warung Burjo Rizky Panghegar, justru sudah beberapa bulan terakhir tidak menjajakan menu itu di warungnya. Tiga dandang yang biasa digunakan menampung kacang hijau, ketan hitam, dan santan, sekadar jadi barang pajangan. Lagi-lagi alasannya ialah berkurangnya peminat menu tersebut.
Padahal, lanjut Cecep, pembuatan burjo memerlukan keahlian khusus. Di jejaring warung burjo miliknya, pembuatan burjo mesti diawasi ketat oleh dirinya. Ia enggan menjualnya jika nanti rasa burjo yang dimasak tidak sesuai dengan standar. Sebab, kenikmatan burjo yang disajikan menjadi pertaruhannya sebagai warga Kuningan.
“Sayang sekali kalau bikin burjo tetapi rasanya nanggung. Rasa itu harus yang utama. Ini kebanggaan kita. Hehehe,” kata Cecep.
Cecep menuturkan, tergerusnya identitas warung burjo sebenarnya sempat dibicarakan oleh komunitas warga asal Kuningan sesama pengelola warung burjo di Yogyakarta. Namun, sebagian dari mereka tak terlalu memedulikan masalah itu. Pemasangan spanduk bertuliskan "warmindo" pun dianggap lazim.
Namun, Cecep memilih tetap mempertahankan nama “burjo” untuk warung yang dikelolanya. Kelak jika penjualan membaik, ia juga berencana kembali menjajakan burjo bagi para pelanggannya meski porsi yang disediakan per harinya tak terlalu banyak.
Sebenarnya, burjo dan mi instan ini klop. Tetapi, setelah ada istilah warmindo kok rasa-rasanya burjo semakin hilang (Pemilik Warung Burjo Murni Monjali 54, Iim Durahim)
Tahun 1947
Dari sisi historis, usaha penjualan burjo dirintis oleh warga asal Kuningan bernama Lurah Salim Sanca Santana pada tahun 1947. Semula, burjo dijajakan dengan dipikul dari kampung hingga pusat Kabupaten Kuningan.
Bahan bubur tersebut terdiri dari kacang hijau, gula merah, santan kelapa, daun pandan, dan garam. Fakta itu termuat dalam buku berjudul Mengawetkan Pengalaman: Dinamika Warung Bubur Kacang Hijau Kuningan dalam Tulisan karya Sukiman dkk yang terbit pada 2006.
Minta Harsana, pakar gastronomi dari Universitas Negeri Yogyakarta, menyatakan, burjo hadir bersamaan dengan kondisi perekonomian negara yang tengah carut marut. Kemiskinan melanda banyak warga pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan. Menurut dia, bubur adalah alternatif untuk membuat makanan bisa berporsi banyak meski bahan bakunya sedikit.
“Lambat laun, para penjual burjo itu berani ekspansi ke kota-kota lain. Di kota rantaunya, burjo itulah yang juga mereka jual. Hal itulah yang membuat orang Kuningan begitu lekat dengan burjonya. Dari berjualan burjo pula mereka bisa lepas dari kemiskinan yang menjerat,” kata Minta.
Dari hasil penelusurannya, lanjut Minta, warung burjo pertama kali ditemukan di DIY pada 1989. Warung tersebut berlokasi di kawasan Pogung, Sleman. Kawasan itu terkenal sebagai wilayah indekos karena lokasinya yang dekat dengan kompleks Universitas Gadjah Mada. Keberadaan mahasiswa menjadi alasan dipilihnya daerah tersebut untuk membuka warung burjo.
Pada 2009, jelas Minta, warung burjo dihadapkan pada tantangan meningkatnya harga kacang hijau. Dia mencontohkan, saat itu, harga 1 kg kacang hijau bisa digunakan untuk membeli beras sebanyak 3 kg. Alhasil, lahir menu-menu lainnya di warung burjo. Di sisi lain, penikmat mi instan juga terus bertambah. Sampai-sampai produsen mi instan memasang spanduk yang seolah memberi sponsor bagi warung-warung tersebut.
“Kondisi itu yang menyebabkan terjadinya pergeseran. Dari warung burjo jadi lebih dikenal dengan warmindo. Seolah warung itu hanya jual mi instan. Identitas budaya warga Kuningan yang kaya akan sejarah seolah-olah luntur. Padahal, burjo sekaligus simbol keuletan yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka,” kata Minta.