Para Terdakwa Kasus ”Klitih” di Yogyakarta Divonis 6-10 Tahun Penjara
Lima terdakwa dalam kasus ”klitih”, di Yogyakarta, divonis hukuman penjara. Paling berat dikenai hukuman selama 10 tahun. Semua kuasa hukum terdakwa mengajukan banding.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sebanyak lima terdakwa kasus klitih atau kejahatan jalanan di Kota Yogyakarta yang menewaskan satu orang pada 3 April 2022 divonis hukuman penjara antara 6 hingga 10 tahun. Semua terdakwa mengajukan banding atas putusan ini.
Lima terdakwa itu ialah Ryan Nanda Syahputra (19), Fernandito Aldrian Saputra (18), Muhammad Musyaffa Affandi (21), Hanif Aqil Amrulloh (20), dan Andi Muhammad Husein Mazhahiri (20). Berkas perkaranya dibagi menjadi dua. Berkas pertama dengan terdakwa Ryan, Fernandito, dan Musyaffa, sedangkan berkas kedua dengan terdakwa Hanif dan Andi.
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (8/11/2022). Pelaksanaannya berlangsung hibrid. Majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan tim penasihat hukum terdakwa hadir langsung di ruang sidang. Sementara itu, para terdakwa mengikuti sidang dari rumah tahanan.
”Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara terang-terangan dan bersama-sama yang mengakibatkan orang mati. Untuk itu, para terdakwa akan dikenai hukuman pidana penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Suparman
Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara paling berat kepada Ryan, selama 10 tahun. Ia dianggap menyerang korban tewas Daffa Adzin Albasith (17) dengan gir sepeda motor. Sementara itu, empat orang lainnya, Fernandito, Affandi, Hanif, dan Andi, dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun. Insiden itu bermula dari perang sarung yang dilakukan antara geng Morenza dan Vozter. Pelaku merupakan anggota dari geng Morenza.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan dalam pemberian hukuman ialah perbuatan terdakwa yang meresahkan masyarakat. Mereka juga dianggap berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Adapun hal yang dinilai meringankan pemberian sanksi adalah usia yang masih muda sehingga dianggap mempunyai masa depan.
Sebelumnya, JPU mendakwa kelimanya dengan sejumlah pasal, yaitu Pasal 170 Ayat 2 ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 353 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, serta Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. JPU menuntut penjara 11 tahun untuk Ryan dan 10 tahun untuk empat lainnya.
Setelah putusan dibacakan, situasi sempat memanas. Ruang sidang yang dipenuhi anggota keluarga, kerabat, hingga simpatisan para terdakwa meradang. Mereka tidak menerima putusan yang diberikan majelis hakim. Terdakwa dianggap tidak terlibat dalam peristiwa yang menewaskan Daffa.
Saat itu, mereka mengaku sebagai pelaku karena mengalami kekerasan dari penyidik. Peserta sidang merasa fakta yang diajukan kubu terdakwa dikesampingkan majelis hakim. Hal itu termasuk keterangan saksi dari teman-temannya. Namun, majelis hakim menilai, keterangan saksi, yang merupakan teman-teman terdakwa, rawan bias karena berada dalam satu geng yang sama.
”Penasihat hukum maupun penuntut umum masing-masing masih bisa banding. Dalam waktu yang ditentukan undang-undang masih bisa melakukan upaya hukum. Kalau tidak terima, bisa banding. Itu proses hukum,” tandas Suparman kepada massa sidang.
Taufiqurrahman, kuasa hukum Fernandito, meminta maaf kepada majelis hakim atas kericuhan yang terjadi. Namun, pihaknya merasa kejadian itu sebagai hal yang wajar. Keluarga dan kerabat terdakwa terluka dengan proses hukum yang berlangsung sepanjang persidangan.
”Seperti disampaikan para ahli, hukum itu harus pembuktiannya lebih terang dari cahaya. Kita juga tahu ada saksi yang tidak bisa menunjuk secara pasti terdakwanya. Untuk itu, kami akan menyampaikan banding,” katanya.
Hal serupa disampaikan kuasa hukum Andi, Yogi Zul Fadhli. Pihaknya akan membaca kembali secara lebih jeli hasil putusan dari majelis hakim. Ia akan mencari hal-hal yang menguatkan banding yang nantinya bakal diajukan.
”Yang jelas, kami akan mengajukan upaya banding dengan pertimbangan dan dasar bahwa hakim mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,” jelas Yogi.
Lebih lanjut, ungkap Yogi, pengesampingan fakta persidangan ditunjukkan lewat pengabaian informasi dari rekaman kamera pemantau. Misalnya, sepeda motor milik Hanif yang sama sekali tidak digunakan dalam peristiwa tersebut turut disita polisi. Sepeda motor tersebut dianggap sebagai unit yang sama seperti yang terekam dalam rekaman kamera pengawas. Padahal, kedua sepeda motor punya ciri yang berbeda.