Gugatan Perdata, Jalan Tengah Atasi Persoalan Lahan Tol Semarang-Demak
Ahmad Suparwi (72), petani yang mengklaim tanahnya digunakan dalam pembangunan tol Semarang-Demak di Jateng, disarankan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Ganti rugi belum dilakukan karena namanya tidak tercatat.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Gugatan perdata diusulkan menjadi jalan tengah untuk mengatasi persoalan pembayaran ganti rugi atas dugaan penggunaan lahan milik Ahmad Suparwi (72) dalam proyek pembangunan tol Semarang-Demak di Jawa Tengah. Nama Suparwi disebut tidak ada dalam daftar subyek hak sehingga pembayaran ganti rugi tidak dilakukan kepadanya.
Suparwi, petani asal Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, menuntut ganti rugi atas tanahnya yang digunakan dalam proyek pembangunan tol Semarang-Demak tanpa persetujuannya. Tanah dengan luas sekitar 3.700 yang mulanya sawah itu kini menjadi jalan tol pada Kilometer 460 ruas Sayung-Demak. Meski tanahnya telah dipakai, Suparwi mengaku belum pernah mendapatkan uang ganti rugi sepeser pun dari pemerintah.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Demak Bambang Irjanto mengatakan, pembayaran uang ganti rugi belum dilakukan karena nama Suparwi tidak tercatat sebagai subyek hak yang melepaskan hak atas tanahnya dalam dokumen pengadaan tanah tahun 1997. Dokumen itu yang disebut Bambang menjadi acuan dalam pembayaran ganti rugi.
”Tanah itu saat ini masih dalam pemeriksaan kepolisian sehingga memang belum bisa dipastikan apakah benar tanah yang dimaksud letaknya di situ (di KM 460 ruas Sayung-Demak). Betul memang yang bersangkutan menunjukkan sertifikatnya, tetapi sertifikat hak pakai dari pemerintah sebagai dasar penggunaan lahan juga sudah terbit,” kata Bambang saat dihubungi, Selasa (29/11/2022).
Menurut Bambang, sebelum mengeluarkan dokumen pengadaan tanah, petugas BPN telah melakukan invetarisasi dan identifikasi bidang demi bidang tanah yang akan digunakan. Pemilik tanah, aparat penegak hukum, dan pihak-pihak terkait juga dilibatkan dalam proses tersebut.
Saya tidak mau menyerahkan sukarela. Itu tanah tabungan untuk masa tua saya. Saat tanah itu diuruk, posisinya masih ada padinya. (Ahmad Suparwi)
”Kenapa tanah yang bersangkutan (Suparwi) tidak terdata atau terdeteksi dalam proses itu, saya tidak tahu-menahu karena kejadiannya tahun 1997. Yang jelas, sertifikat hak pakai sebagai produk hukum sudah keluar. Kalau memang (sertifikat hak pakai yang ada) dianggap cacat, harus dibatalkan dengan cara digugat di pengadilan,” imbuh Bambang.
Untuk bisa menelusuri dugaan kesalahan dalam pendataan di tahun 1997 tersebut, perlu ada proses gelar perkara dari kepolisian. Agar ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap, biasanya polisi melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan. Bambang mengklaim, pihaknya telah berulang kali menawarkan solusi agar Suparwi mengajukan gugatan ke pengadilan sejak 2020.
Sementara itu, Suparwi mengaku dua kali diminta Pemerintah Desa Pulosari menandatangani surat bermaterai yang menyatakan bahwa dirinya secara sukarela menyerahkan tanahnya dipakai untuk pembangunan tol. Surat itu diajukan kepada Suparwi tanggal 13 November dan 2 Desember 2020. Permintaan itu ditolak Suparwi.
”Saya tidak mau menyerahkan sukarela. Itu tanah tabungan untuk masa tua saya. Saat tanah itu diuruk, posisinya masih ada padinya. Jadi, itu tanah produktif yang menjadi tempat saya mencari nafkah untuk keluarga,” tuturnya.
Ke depan, Suparwi akan menunggu proses gelar perkara dari kepolisian selesai dilakukan. Ia beharap bisa segera mendapatkan uang ganti rugi karena tanahnya sudah tidak bisa lagi digarap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Sembari menunggu, ia juga masih berupaya agar bisa mengadukan kasusnya kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Pada Senin (28/11/2022), Suparwi dan istrinya menempuh perjalanan lebih kurang 30 kilometer dari rumah mereka menuju Kantor Gubernur Jateng di Semarang. Sayangnya, keinginan Suparwi bertemu Ganjar belum bisa terwujud. Ia hanya ditemui oleh petugas tata usaha kantor gubernur dan disarankan untuk membuat surat permohonan bertemu.
Jalan tol Sayung-Demak memang telah dibuka sebagai jalur alternatif sejak 18 November lalu. Kendati demikian, pembebasan lahan dalam proyek itu belum rampung. Pembebasan lahan ditargetkan tuntas pada akhir 2022.
”Saat ini, progres pembebasan lahan untuk ruas Sayung-Demak mencapai 92,97 persen. Sekitar 7 persen sisa lahan yang belum dibebaskan merupakan lahan penambahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan konstruksi, sekarang masih pembebasan,” ucap Pejabat Pembuat Komitmen Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-Demak Diah Rahmawati.
Untuk pembebasan lahan dalam proyek pembangunan seksi I atau ruas Kaligawe-Sayung baru mencapai 4,33 persen. Pembebasan lahan di wilayah itu tak berjalan mulus karena sebagian pemilik tanah menolak keputusan pemerintah tidak mengganti tanah mereka secara penuh lantaran pemerintah menganggap sebagian tanah itu musnah karena terendam air.