Memanusiakan Jenazah Korban Gempa Cianjur
Petugas identifikasi jenazah bekerja dalam senyap dan bau disinfektan. Mereka berjuang demi memanusiakan korban meninggal dunia gempa Cianjur.
Semakin hari, jenazah korban gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kian sulit dikenali. Petugas pun mati-matian mengidentifikasi tubuh yang tak bernyawa lagi.
Bau khas kamar mayat hingga ancaman gempa susulan tidak jadi masalah. Semuanya demi memanusiakan jenazah dan melegakan keluarga yang ditinggalkan.
Mata Indra Sanjaya (41) berkaca-kaca melihat dua jenazah berselimut kain kafan, tikar, dan keranda di Rumah Sakit Umum Daerah Sayang, Senin (28/11/2022). Air matanya jatuh bersama hujan sore itu. Kedua jenazah tersebut adalah keluarganya yang hilang sepekan pasca gempa.
“Saat ditemukan Tim SAR, mang (paman) Udin dan anaknya, Annisa, sedang berpelukan. Mungkin bapaknya tidak mau melepas anaknya,” ujarnya pelan. Kedua anggota keluarganya itu tertimbun longsor dan reruntuhan rumah saat gempa bermagnitudo 5,6, Senin (21/11) siang.
Gempa itu menghancurkan rumah orangtuanya dan kerabatnya di Kampung Cugenang, Desa Cijedil. Enam anggota keluarganya juga ditemukan tak bernyawa, termasuk ayahnya, Kamaluddin (69). Namun, Endin Saepudin (37) dan Annisa (6) yang terakhir teridentifikasi.
“Sekarang saya lega, semua keluarga sudah ketemu meski telah meninggal,” ucapnya sambil melihat foto keenam keluarganya yang sempat hilang itu.
Di bawah foto yang tersimpan di ponselnya itu tertulis pesan, “Semoga kalian segera ketemu saudaraku, mudah-mudahan ketemu”.
Indra mengucapkan terima kasih kepada Tim SAR, relawan, polisi, TNI, dan petugas DVI (DisasterVictimIdentification). Apalagi, kondisi jenazah tak lagi sempurna karena sudah berhari-hari tertimbun. Ia pun harus memastikan jenazah itu adalah keluarganya yang hilang.
Selain membawa identitas, seperti kartu keluarga dan foto, ia juga perlu menjelaskan ciri-ciri keluarganya itu. Misalnya, korban mengenakan pakaian apa sebelum kejadian hingga ada tidaknya bekas luka pada jenazah. Di balik itu, ada petugas yang susah payah mengidentifikasi.
Ketika Indra menjawab pertanyaan petugas di Pos Ante Mortem, Ajun Inspektur Polisi Satu Linda Lestari (43) bolak balik di kamar mayat.
Petugas Badan Urusan Kedokteran Forensik di Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Kepolisian Polda Jabar ini sibuk mengecek jenazah. Bau mayat dan disinfektan yang menusuk hidung meski tertutup masker tak jadi masalah baginya.
Bahkan, saat gempa susulan terasa menggoyangkan tanah sepersekian detik, Linda langsung berlari ke ruang terbuka. Setelah aman, polisi perawat ini kembali ke kamar jenazah.
Baca juga : Fisik Bisa Sembuh Tapi Batin Belum Tentu Pulih
Pamit ke jenazah
Tindakan Linda pun tak sembarangan. Ia tetap pamit kepada jenazah meski tanpa jawaban. “Misalnya, saat memiringkan jenazah, saya bilang, Pak, Bu mohon maaf saya miringkan ya. Saya tidak membedakan jenazah atau pasien. Semua harus diperlakukan dengan baik,” ujarnya.
Itu sebabnya, ketika terjadi gempa, orangtua tunggal dengan tiga anak ini langsung meluncur bersama Bidokkes Polda Jabar. “Anak-anak nanya terus, mama kapan pulang? Apalagi, anak ketiga. Dia maunya ditemani tidur. Tapi, mereka mengerti kerjaan saya kok,” katanya.
Tujuh hari terakhir, tak jarang ia membantu identifikasi jenazah hingga malam hari. Masih khawatir gempa susulan, Linda dan petugas lainnya istirahat di bawah tenda beralaskan velbed. Udara dingin dan kabut kerap menyergap.
“Kalau tidur, saya pakai hazmat,” ucapnya tersenyum.
Meski sulit, ia menikmati kerja-kerja kemanusiaan itu. Kebahagiaan Linda saat jenazah korban gempa dapat teridentifikasi dan kembali ke keluarga. Sebaliknya, ia berduka ketika jenazah itu masih tak bernama.
“Ya Allah ini siapa? Semoga cepat ditemukan,” katanya membatin.
Kepala Urusan Kedokteran Forensik Sub Biddokpol Biddokkes Polda Jabar Komisaris M Ihsan mengatakan, petugas sukar mengenali jenazah yang sudah berhari-hari tertimbun dan bagian tubuhnya tidak lengkap. Apalagi, jika ari-ari telapak tangan sudah terlepas atau terpotong.
Petugas akan sulit mendeteksi sidik jari korban. Padahal, sidik jari itu bisa mengungkap identitas korban jika sudah terekam kartu tanda penduduk elektronik. Itu sebabnya, dinas kependudukan dan pencatatan sipil juga siaga di posko pengaduan orang hilang di RSUD Sayang.
Jika jemari jenazah keriput, pihaknya harus menyuntikkan cairan khusus. Apabila sidik jari tak bisa terdeteksi, petugas lalu berkoordinasi dengan ahli lainnya, seperti dokter gigi untuk mengenali korban. Namun, tidak semua keluarga memiliki data rekam medis gigi jenazah.
Berbagai kondisi itu menghambat proses identifikasi jenazah. Kalau soal bau menyengat di kamar mayat, dokter forensik yang bertugas 12 tahun ini tak mengeluh. “Aroma itu ibarat parfum. Kalau parfum disemprot terus menerus, lama-lama malah enggak tercium,” katanya.
Ihsan bersama lima dokter forensik dari berbagai instansi dan organisasi berjuang mengidentifikasi jenazah korban gempa. Di posko pengaduan, sekitar 20 petugas melayani keluarga korban. Beberapa kali, petugas meminta warga bersabar menanti hasil identifikasi.
Ia memastikan, identifikasi salah satu upaya memanusiakan jenazah. “Kerja ini ada etikanya. Misalnya, jangan membicarakan apa pun tentang jenazah. Yang dibicarakan hal ilmiahnya. Bukan untuk ditertawakan atau digunjingkan. Rahasia jenazah juga dijamin,” ujarnya.
Hingga Senin siang, petugas DVI telah menerima 162 kantong jenazah yang terdiri dari 159 kantong berisi jenazah utuh dan 3 kantong berisi bagian tubuh. Adapun total yang teridentifikasi sebanyak 146 jenazah. Petugas masih memproses tujuh jenazah dan dua bagian tubuh.
“Kami sudah kirimkan 17 data sampel DNA dari Ante Mortem dan mengambil tujuh sampel jenazah utuh dan dua bagian tubuh. Diharapkan minggu ini hasilnya bisa keluar. Kami berusaha semaksimal mungkin,” kata Pembina Tingkat I DVI Indonesia dr Paula Lihawa.
Hingga kini, jenazah yang belum teridentifikasi masih tersimpan dalam lemari pendingin. Pihaknya mengimbau warga yang merasa kehilangan keluarga agar datang ke Pos Ante Mortem di RSUD Sayang. Pemeriksaan DNA juga memerlukan kehadiran orangtua atau anak korban.
Di tengah penantian warga menemukan jasad keluarganya, ada perjuangan petugas yang mencari tahu identitas jenazah korban gempa. Bau menyengat, malam yang dingin, hingga gempa susulan tak melunturkan kerja kemanusiaan itu.
“Saya ingat saat pertama datang ke sini (RSUD Cianjur). Begitu turun dari mobil, saya mencium aroma bunga melati, wangi sekali. Saya menganggap ini sambutan yang baik. Niat kami ke sini untuk membantu. Mudah-mudahan pekerjaan kami juga dibantu,” ungkap Ihsan.
Baca juga : Sapaan Hangat untuk Penyintas di Daerah Sulit Terjangkau