Pemajuan Kebudayaan Tidak Bisa Dilakukan dengan Pembatasan Wilayah
Penggalian potensi budaya di desa harus dilakukan dengan kerjasama dengan warga di desa-desa lainnya. Pelestarian dan penggalian sejarah budaya tidak mungkin dibatasi oleh wilayah administratif.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Kesenian tradisional dari warga menghibur peserta lari saat mengikuti gelaran Borobudur Marathon 2018 di Kecamatan Borobudur, Kabupten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018). Borobudur Marathon menjadi salah satu agenda tahunan yang mampu menarik wisatawan dan menggerakan perekonomian kawasan tersebut melalui ajang olahraga.
MAGELANG, KOMPAS — Kegiatan pemajuan kebudayaan di suatu daerah, termasuk di dalamnya upaya pelestarian dan dokumentasi, tidak mungkin dilakukan dengan membatasi diri berdasarkan wilayah administratif. Hal ini terjadi karena untuk mendapatkan narasi, cerita perihal sejarah budaya dan tradisi diperlukan tambahan data dari berbagai sumber dari daerah-daerah sekitarnya.
Panji Kusumah, pegiat budaya dan pendiri komunitas Eksotika Desa, mengatakan, dibutuhkannya kerja sama antardaerah tersebut nyata terjadi dalam pemajuan kebudayaan di kawasan Borobudur.
Komunitas Eksotika Desa adalah lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai fasilitator pendamping kebudayaan desa di kawasan Borobudur.
Dalam praktik di lapangan, Panji mengatakan, pihaknya pun kerap melihat warga sering kali kesulitan untuk menyusun data sejarah dari adat tradisi dan kebudayaannya sendiri karena mereka tidak menemukan cukup data dan narasumber di desa.
”Di tengah kebuntuan untuk mendapatkan data dari desa, dalam praktik di lapangan, warga di satu desa di kawasan Borobudur sering kali bisa mendapatkan data dari cerita-cerita sesepuh di desa tetangga,” ujarnya, Kamis (22/12/2022).
Hal ini pernah terjadi ketika warga Desa Karangrejo bersama pendamping desa ingin menyusun dan membuat dokumentasi tentang kesenian jaran kepang. Semula, sebenarnya di Desa Karangrejo masih terdapat seorang maestro kesenian jaran kepang. Namun, karena mendadak maestro tersebut meninggal dunia, mereka pun sempat kebingungan untuk mendapatkan data.
Namun, dari hasil interaksi dengan warga lainnya, mereka kemudian justru menemukan bahwa narasumber yang bisa memberikan data dan cerita sejarah adalah tokoh sesepuh di Desa Wringinputih.
Hal-hal serupa, menurut dia, juga banyak terjadi dalam upaya penggalian dari berbagai ragam budaya lainnya, seperti jenis-jenis pangan lokal yang dipakai dalam tradisi terkait dengan siklus daur hidup, seperti tradisi mitoni (tradisi mendoakan kehamilan yang sudah menginjak usia tujuh bulan) dan tradisi selapanan atau tradisi mencukur rambut bayi yang sudah berumur 35 hari.
Makna
”Banyak ibu-ibu bisa memasak dan menyajikan. Namun, kebanyakan dari mereka juga tidak paham tentang makna kenapa harus menyajikan pangan lokal dalam tradisi-tradisi tersebut,” ujarnya.
Menyikapi kondisi tersebut, Panji menuturkan, ketika itu kemudian sempat dilakukan diskusi dengan sejumlah desa untuk mendapatkan cerita perihal makna filosofis dari penggunaan ragam pangan lokal itu.
Di tengah kebuntuan untuk mendapatkan data dari desa, dalam praktik di lapangan, warga di satu desa di kawasan Borobudur sering kali bisa mendapatkan data dari cerita-cerita sesepuh di desa tetangga.
Dalam dua tahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi intens melakukan pendataan dan menganalisis 10 jenis obyek budaya di sejumlah daerah, termasuk di kawasan Borobudur. Sebanyak 10 jenis obyek budaya tersebut, antara lain, terdiri dari tradisi lisan, manuskrip, ritus, dan permainan rakyat.
Panji mengatakan, pendataan ataupun inventarisasi obyek budaya sudah dimulai sejak 2021, dengan melakukan program temu kenali potensi budaya desa. Di kawasan Borobudur hingga saat ini sudah ditemukan lebih dari 800 budaya desa.
Namun, seiring dengan pencarian dan pendataan yang dilakukan warga, jumlah ragam budaya tersebut dimungkinkan masih akan bertambah lagi.
Program pemajuan kebudayaan desa, menurut dia, saat ini masih menemui sejumlah kendala. Selain karena sudah tidak ada lagi maestro ataupun sesepuh yang mengetahui betul perihal tradisi dan kebudayaan desa, kendala lain muncul karena pengaruh budaya global, yang kini juga sudah semakin kental memengaruhi pola pikir masyarakat, terutama kalangan muda di desa.
”Banyak orang muda lebih menggemari, mencari makanan-makanan dari luar negeri yang viral di media sosial, dan tidak lagi tertarik pada makanan tradisional,” ujarnya.
Jiyo Martono, salah seorang pegiat wisata dan budaya di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, mengatakan, sembilan dusun di Desa Wringinputih sebenarnya memiliki ratusan potensi budaya lokal, mulai dari permainan dan makanan tradisional hingga berbagai jenis tradisi dan budaya spiritual.
Namun, kebanyakan warga tidak menyadarinya sebagai potensi yang harus digali dan diunggulkan sebagai potensi desa.
”Banyak orang tidak tertarik untuk menggalinya lebih dalam. Mereka hanya sekadar menjalankan semua tradisi sebagai bagian dari kebiasaan yang sudah dijalankan turun-temurun saja,” ujarnya.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan, saat ditemui dalam kesempatan terpisah, mengatakan, penggalian kembali potensi-potensi budaya desa pada akhirnya bisa menambah daya tarik desa.
”Potensi budaya desa juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata, dan membuat orang penasaran untuk berkunjung ke desa-desa tersebut,” ujarnya.
Upaya pelestarian budaya, menurut dia, tidak melulu harus dilakukan dengan menjalankannya sesuai dengan pakem dari leluhur. Untuk pewarnaan batik, misalnya, ketika kemudian terjadi ketiadaan tanaman yang menjadi bahan baku pewarna alam, masyarakat pun tetap bisa menjalankan aktivitas membatik dengan warna dari tanaman atau pewarna kimia.
Namun, cerita tentang warna alami dari tanaman tersebut tetap harus disusun dan didokumentasikan sehingga bisa diketahui masyarakat luas.