Peran Perempuan Penenun Kain Sasak Terus Diperkuat
Perempuan penenun kain Sasak berperan penting dalam menjaga keberlanjutan kain tenun Sasak, termasuk menopang ekonomi keluarga. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menjaga eksistensi mereka terus dilakukan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Upaya memperkuat peran perempuan penenun dalam menjaga keberlanjutan kain tenun Sasak dan kehidupan ekonomi keluarga melalui kerajinan tenun terus dilakukan. Setelah festival tenun Lombok-Sumbawa beberapa waktu lalu, akan diselenggarakan juga proyek seni inklusif perempuan, lokakarya, serta museum mini tenun Sasak.
Proyek seni inklusif perempuan bertajuk ”Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak” merupakan salah satu proposal yang lolos dalam program Dana Indonesiana Tahun 2022. Program itu diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
Penerima program Dana Indonesiana dan penanggung jawab proyek, Irma Septiani, dalam siaran persnya di Mataram, Kamis (22/12/2022), mengatakan, ”Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak” merupakan sebuah proyek seni yang bersifat inklusif. Proyek tersebut digagas sebagai ruang aktualisasi diri serta penyampaian pikiran bagi para pegiat seni budaya perempuan di Pulau Lombok.
Irma menambahkan, melalui medium seni pertunjukan kontemporer, proyek ini akan memaparkan kisah-kisah perjuangan para perempuan Sasak dalam menghadapi permasalahan ekonomi, juga sosial-budaya, yaitu saat Lombok diterpa pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini. Hal ini disuguhkan terutama lewat keterampilan menenun khas Sasak.
Irma menjelaskan, proyek ini akan berjalan selama empat bulan, yakni sejak November 2022 hingga Februari 2023. Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan, meliputi riset pada November 2022, lokakarya pada Desember 2022-Januari 2023, dan presentasi gagasan museum mini pada 24 Desember 2022. Selain itu, akan ada juga presentasi pertunjukan kontemporer pada 14 Februari 2023 dan diskusi pada 16 Februari 2023.
Pada lokakarya, kata Irma, akan diusung tema mengenal sejarah kain tenun Sasak dan strategi pemasaran berbasis platform digital. ”Lokakarya tersebut diharapkan bisa memberi ruang inklusif bagi perempuan yang tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang kain tenun Sasak dan pemasarannya secara digital,” ucapnya.
Lokakarya akan melibatkan berbagai pihak sebagai pembicara, mulai dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTB, desainer dan pengusaha kain tenun Sasak, akademisi, penenun, hingga budayawan.
Museum mini
Museum mini tenun merupakan salah satu wujud menjaga tradisi melalui gerakan literasi. Hal itu digagas bersama secara kolaboratif oleh berbagai lembaga gerakan kebudayaan di NTB.
”Upaya ini dilakukan untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membahasakan kepada khalayak, terutama generasi muda, bahwa tradisi tenun mesti diteruskan, tidak sekadar dijaga dan dirawat,” kata Fitri Rachmawati, pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak dan penanggung jawab museum mini tenun.
Fitri menjelaskan, museum mini akan memanfaatkan ruang kecil untuk menampilkan secara visual motif-motif tenun yang hadir di masyarakat. Dalam tampilan museum mini tersebut, akan dimunculkan kode batang (QR code) yang menghubungkan pengunjung dengan media sosial para penenun.
”Sehingga langkah strategi pemasaran berbasis platform digital tergambar dalam mini museum ini,” kata Fitri.
Secara bertahap, para penenun dan kelompoknya akan membuat cerita tentang motif tenun yang ditampilkan. Dengan begitu, siapa pun yang melihat motif dalam museum mini itu akan mendapatkan pengetahuan lebih dalam terkait tenun Sasak yang ingin mereka miliki.
Selain mengenalkan pencinta tenun pada beragam motif, museum mini ini juga merupakan salah satu upaya membangun gerakan literasi budaya. ”Langkah ini juga akan mengedukasi masyarakat, tidak hanya sebagai konsumen yang paham dalam memilih tenun yang mereka inginkan, tetapi juga melatih masyarakat terlibat dalam gerakan literasi budaya,” kata Fitri.