Kegembiraan Bersama dalam Grebeg Sudiro di Surakarta
Penyelenggaraan Grebeg Sudiro menjelang Imlek di Surakarta menjadi simbol berbaurnya masyarakat Tionghoa dan Jawa. Acara itu juga memberi bukti bahwa perbedaan tak seharusnya dijadikan alasan untuk memecah belah.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Imlek menjadi perayaan bersama. Segenap warga gegap gempita menyambut karnaval budaya tahunan bertajuk Grebeg Sudiro yang menjadi simbol berbaurnya masyarakat Tionghoa dan Jawa. Lewat gelaran itu, gelora persaudaraan yang penuh kemajemukan ditularkan ke segala penjuru.
Langit mendung menyelimuti kawasan Pasar Gede Hardjonagoro, Surakarta, Minggu (15/1/2023). Hujan rintik-rintik baru saja turun membasahi jalanan. Namun, kerumunan orang yang berdiri dari balik barikade di sepanjang jalan tersebut bergeming. Mereka tetap bertahan menanti rangkaian karnaval Grebeg Sudiro yang rutin digelar jelang perayaan Imlek.
Peserta karnaval berbaris panjang di sisi jalan lainnya. Mereka terdiri atas 56 kelompok yang jumlahnya mencapai 2.000 orang. Elemen masyarakat yang bergabung cukup beragam, tak hanya warga Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Surakarta, yang menjadi penyelenggara Grebeg Sudiro.
Kelompok lain yang ikut karnaval misalnya Komunitas Paguyuban Pedagang Pasar Gede, Kelenteng Tien Kok Sie, hingga warga dari sejumlah kecamatan lain. Bahkan, turut serta sejumlah perwakilan mahasiswa dari luar pulau, seperti Riau, Lampung, Kalimantan, dan Sumba.
Karnaval dimulai setelah pemukulan beduk oleh Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Dalam karnaval itu, setiap kelompok menampilkan atraksi masing-masing sembari berjalan. Ada yang menyuguhkan tari kreasi tradisional semacam topeng ireng, ada juga yang memainkan kesenian khas Tionghoa seperti barongsai dan liong.
Rute karnaval dimulai dari Pasar Gede Hardjonagoro, lalu mengelilingi wilayah Kelurahan Sudiroprajan. Titik akhirnya nanti kembali di pasar tersebut. Sepanjang pawai, sejumlah kelompok juga menggotong jodang-jodang berbentuk gunungan yang dipasangi berbagai makanan tradisional, yakni gembukan, kue moho, onde-onde, janggelut, pia-pia, bakpia, klepon, dan kue keranjang, buah-buahan, sayur-sayuran, umbi-umbian, serta perabot rumah tangga.
Isi gunungan itu selanjutnya diperebutkan oleh penonton yang datang sesampainya rombongan di titik akhir. Panitia juga membagikan kue keranjang yang sejumlah 4.000 buah sewaktu momen rayahan isi gunungan tersebut.
”Ini adalah event ritual dan budaya untuk menjunjung nasionalisme, pluralisme, kebinekaan, dan integrasi sosial, khususnya di Surakarta. Caranya dengan menyinergikan budaya Jawa dan Tionghoa,” kata Ketua Panitia Grebeg Sudiro Arga Dwi Setyawan di sela-sela kegiatan.
Grebeg Sudiro berasal dari dua kata, yakni ’grebeg’ dan ’sudiro’. Dalam bahasa Jawa, ’grebeg’ artinya riuh dan ramai. Sementara ’sudiro’ berasal dari nama kelurahan tempat gelaran tersebut diadakan, yakni Sudiroprajan. Dengan demikian, gabungan kedua kata dapat dimaknai sebagai keriuhan yang terselenggara di Kelurahan Sudiroprajan.
Dalam pemilihan nama, sesungguhnya sudah tampak pembauran sebagaimana kehidupan sehari-hari warga keturunan Tionghoa dan Jawa di kelurahan tersebut. Sebab, grebeg merepresentasikan kebudayaan Jawa dengan hadirnya gunungan laki-laki dan perempuan. Pengarakan gunungan merupakan tradisi keraton.
Di sisi lain, kesenian yang ditampilkan dalam gelaran tersebut justru bercorak Tionghoa dengan keberadaan barongsai dan liong. Sebagian gunungan yang diarak juga terbuat dari kue keranjang sebagai unsur budaya Tionghoa.
Ini adalah event ritual dan budaya untuk menjunjung nasionalisme, pluralisme, kebinekaan, dan integrasi sosial, khususnya di Surakarta. (Arga Dwi Setyawan)
Sejak 2007
Ketua Kelompok Sadar Wisata Sudiroprajan Basuki Cahyono menjelaskan, Grebeg Sudiro diadakan sejak tahun 2007. Inisiatif datang dari sejumlah sesepuh kampung. Mereka beranggapan, kerukunan dan pembauran yang terjadi begitu cair di kelurahan itu perlu disebarkan lebih luas. Model karnaval budaya kemudian dipilih sebagai cara untuk menampilkannya.
”Tema ini, kan, sepertinya tidak lekang oleh waktu. Ini juga sesuai dengan kondisi Indonesia. Kan, sempat ada peristiwa perpecahan, jadi mungkin ini bisa menginspirasi untuk saling melekatkan kembali,” kata Basuki.
Momen penyelenggaraan Grebeg Sudiro, lanjut Basuki, sengaja dipilih mendekati perayaan Imlek. Sebab, karnaval itu sekaligus dimaknai sebagai bentuk ungkapan rasa sukacita dari sesama warga kampung terhadap warga lain yang melaksanakan perayaan Imlek.
Oleh karena itu, dukungan warga untuk gelaran tersebut tak pernah surut. Terbukti ajang itu terus bertahan selama belasan tahun dengan anggota panitia yang seluruhnya adalah warga setempat.
Ketua Paguyuban Masyarakat Surakarta Sumartono Hadinoto tak memungkiri jika keberadaan Grebeg Sudiro membuat suasana perayaan Imlek semakin semarak. Kemeriahannya juga dirasakan semua kalangan, bukan kelompok-kelompok tertentu saja.
Hal itu tampak dari penonton maupun peserta karnaval yang berasal dari berbagai latar belakang suku, ras, dan agama. Tema-tema yang diangkat juga selalu menyoal tentang keharmonisan dalam keberagaman.
”Imlek tanpa grebeg tidak meriah. Ini sebuah akulturasi budaya yang luar biasa. Setiap pihak saling mengisi sehingga toleransi dan kebinekaan sangat bisa kita jaga bersama. Saya harap ini bisa terus berlanjut ke depan,” kata Sumartono.
Yuni Widanarti (45), warga Kabupaten Sukoharjo, merupakan salah seorang penonton yangselalu hadir setiap tahun di Grebeg Sudiro. Untuk itu, ia merasa gembira dengan kembalinya karnaval tersebut setelah dua tahun vakum akibat Covid-19.
Kerinduan Yuni menonton hebohnya atraksi budaya dalam pawai seketika terobati. Semakin berbunga hatinya mengingat keseruan pembagian kue keranjang juga bisa dirasakannya lagi. Apalagi, dalam momen itu, ia mendapat dua buah kue keranjang.
”Bagus sekali acara semacam ini bisa terus terselenggara. Ini, kan, semacam nguri-uri budaya. Saya juga bisa mengenalkan ke anak tentang kemajemukan. Soalnya, Imlek sebenarnya perayaan saudara-saudara dari Tionghoa. Tetapi, kita ikut berbahagia dengan perayaan seperti ini,” kata Yuni yang juga seorang Muslim.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Drajat Tri Kartono, mengatakan, Grebeg Sudiro merupakan cerminan dari integrasi dan solidaritas sosial di kota tersebut. Oleh karena itu, dia berharap, acara tersebut jangan sampai sekadar dimaknai sebagai atraksi wisata.
Drajat menambahkan, tingginya partisipasi masyarakat menjadi kunci bagi kelanggengan Grebeg Sudiro. Sambutan publik juga selalu baik setiap kali ajang budaya itu diadakan. Artinya, masyarakat benar-benar merasa memiliki dan menanti adanya gelaran itu.
”Dalam konteks masyarakat modern, gelaran semacam ini kian relevan. Apalagi masyarakat sekarang semakin individual. Kehadiran festival rakyat mampu membangun solidaritas publik,” kata Drajat.
Kegembiraan yang tercipta selama Grebeg Sudiro memberi bukti bahwa perbedaan tak seharusnya dijadikan alasan untuk memecah belah. Hendaknya kemajemukan dirayakan bersama dalam kerangka persatuan.