Harapan Penyintas Gempa Cianjur Menata Hidup dari Tenda Usang
Rumah hunian layak huni sangat ditunggu semua penyintas gempa Cianjur. Keberadaannya lebih dari sekadar tempat berteduh. Dari sana, keberanian hidup mandiri bisa direncanakan.
Hingga Sabtu (21/1/2023), masa depan Yuyun (39) masih tidak pasti. Seperti banyak penyintas gempa bumi Cianjur lainnya, dia masih tinggal di dalam tenda. Saat itu terjadi, mereka belum siap ditinggalkan begitu saja.
Hidup Yuyun hancur setidaknya sejak dua bulan lalu. Gempa berkekuatan Magnitudo 5,6 menghancurkan rumahnya di Kampung Sedong Kulon, Kelurahan Bojongherang, Kecamatan Cianjur, Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022).
Sejak itu, ia bersama suami dan ketiga anaknya tinggal di tenda terpal biru berukuran 4 meter x 7 meter yang jauh dari rasa nyaman. Dia menyebut saat paling berat ketika hujan turun di malam hari.
Air dengan mudah masuk ke dalam tenda. Membasahi kasur, membuat dia dan keluarganya susah tidur dan rentan terserang berbagai penyakit. Hanya mengandalkan tenda yang sudah usang, sekadar menahan dingin saat malam datang saja mereka tidak mampu.
”Ruang gerak di tenda juga terbatas. Kami berdesakan dengan sepuluh warga lainnya dari empat keluarga,” katanya.
Sebenarnya masih ada rumah yang tidak rusak sepenuhnya, tapi muncul banyak retakan. Berbahaya bila ditempati. Apalagi banyak gempa masih bermunculan.
Kondisi itu membuat Yuyun sangat berharap janji pembuatan rumah yang diucapkan berbagai pihak segera terwujud. Tanpa rumah layak, sulit bagi dia dan warga lainnya untuk bangkit. Suaminya yang sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan, misalnya, belum bekerja hingga saat ini.
Akibatnya fatal. Sekarang, hidupnya bergantung pada bantuan. ”Kami masih tetap bersyukur ada yang memperhatikan meskipun sudah tidak sebanyak dulu,” ujarnya saat menerima bantuan logistik dari Yayasan Dana Kemanusiaan Kompaspada Sabtu.
Sofia (33), warga Sedong Kulon lainnya, juga menyimpan kekhwatiran serupa. ”Kalau tidak ada bantuan pangan yang datang lagi, mungkin beras yang kami simpan cuma untuk seminggu ke depan. Kalau dulu, ada banyak bantuan makanan sampai-sampai beras kami tidak tersentuh. Sekarang, yang bisa lebih dari dua hari baru ada bantuan,” ujar Sofia.
Baca juga : Bantuan Pembaca dan Gitaris Indonesia untuk Korban Gempa Cianjur
Keluh kesah sebagian warga Sedong Kulon seperti mewakili nestapa penyintas gempa Cianjur lain. Tenda terpal masih bertebaran di Kecamatan Cugenang, Cianjur, hingga Kecamatan Warungkondang. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Selasa (24/1/2023), 14.581 rumah warga rusak berat. Sementara itu, 17.198 rumah rusak sedang dan 28.110 rumah lainnya rusak ringan.
Yayan Supiana (44), Ketua RT 002 RW 022, Kampung Sedong Kulon, Yayan Supiana menyebut di wilayahnya terdapat 13 rumah rusak berat dan puluhan warga masih tinggal di tenda.
”Sebenarnya masih ada rumah yang tidak rusak sepenuhnya, tapi muncul banyak retakan. Berbahaya bila ditempati. Apalagi banyak gempa masih bermunculan,” ujarnya.
Rentetan gempa di lokasi bencana di Cianjur memang masih belum berhenti. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika terjadi 487 gempa di Cianjur periode 21 November 2022 hingga 24 Januari 2023 pukul 03.15. Tanpa mitigasi yang tepat, gempa itu rawan memakan korban jiwa dan membuat warga sulit sembuh dari trauma.
Gempa paling anyar berkekuatan M 4,3 yang dipicu Sesar Cugenang pada Selasa dini hari membuktikan kerawanan itu. Guncangannya kembali melukai batin dan fisik sebagian warga Cianjur.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Teguh Rahayu mengatakan, kejadian itu membuat empat orang terluka. Tiga di antaranya luka ringan, sedangkan seorang anak berusia tujuh tahun dirujuk ke Rumah Sakit Cimacan karena luka berat.
Ade Kusyadi (45), warga Desa Mangunkerta, mengatakan, gempa itu sangat kuat. Akibatnya, warga kembali panik. Bahkan, beberapa rumah roboh karena gempa itu.
Meski rumahnya yang retak akibat gempa 2022 tidak roboh, Nugraha (38), warga Warungkondang, tetap saja khawatir. Dia tidak tahu sampai kapan tempat tinggalnya itu bakal kuat menahan rentetan gempa yang tidak kunjung berhenti.
”Saya sangat berharap segera mendapat rumah baru yang lebih tahan gempa. Setidaknya bila ada gempa, hati saya tidak secemas sekarang,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Suharyanto mengimbau warga di zona merah untuk pindah ke tempat yang disediakan. ”Secepatnya masyarakat pindah secara bertahap. Rumah yang disiapkan di Desa Sirnagalih telah selesai,” kata Suharyanto pada Kamis (19/1/2023).
Desa Sirnagalih adalah salah satu kawasan relokasi di Kecamatan Cipaku, Cianjur. Sedikitnya 200 rumah tahan gempa dibangun untuk warga yang tinggal di kawasan aktif Sesar Cugenang.
Terkait dengan pembangunan rumah yang tidak berada di zona merah, pemerintah menyiapkan beberapa skema. Pertama, warga bisa membangun rumah tahan gempa dengan pendampingan pemerintah. Bantuan pembangunan rumah rusak berat Rp 60 juta, rusak sedang Rp 30 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta.
Kedua, warga bisa memercayakan pembangunan rumah pada aplikator. Mereka dijamin sudah berpengalaman membuat rumah tahan gempa.
Untuk memuluskan keinginan itu, Suharyanto mengatakan, proses pembersihan puing rumah dan bangunan tetap dilakukan. Sedikitnya 2.722 unit telah dibersihkan menggunakan 77 ekskavator dan 30 dump truck.
Bupati Cianjur Herman Suherman menargetkan pembersihan puing ditargetkan selesai pada Februari 2023. Harapannya, rumah warga bisa berdiri menjelang Lebaran tahun ini atau sekitar April.
Selain komitmen membuat rumah, mungkin kami juga bisa dibantu memuluskan pencairan ganti rugi. Dari 106 rumah yang rusak, baru 16 warga yang memiliki rekening ganti rugi dan hanya tujuh yang bisa mencairkan uang.
Yana Suryana (37), Ketua RT 001 RW 017 Kampung Babakan Renyom, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, sangat berharap semuanya berjalan sesuai dengan harapan. Dia tidak ingin lebih lama melihat warga hidup menderita.
Saat ini 531 warga Babakan Renyom hidup lebih lama di dalam tenda. Gempa meruntuhkan sedikitnya 106 rumah warga. Yana, yang juga penyintas gempa, paham benar sangat sulit menata hidup apabila hanya beratap tenda.
”Selain komitmen membuat rumah, mungkin kami juga bisa dibantu memuluskan pencairan ganti rugi. Dari 106 rumah yang rusak, baru 16 warga yang memiliki rekening ganti rugi dan hanya tujuh yang bisa mencairkan uang,” katanya.
Rumah hunian yang layak sangat ditunggu semua penyintas gempa. Keberadaannya lebih dari sekadar tempat berteduh. Dari sana, keberanian hidup mandiri bisa direncanakan. Semua tentu menjadi sumber kekuatan warga untuk masa depan lebih baik.
Baca juga : Kunjungan Wapres Pastikan Penanganan dan Bantuan Kerusakan Rumah Berjalan