Harga Bawang Merah di Jateng Bergejolak, Pemerintah Diminta Atur Stok
Gejolak harga bawang merah masih terus terjadi di Jateng. Manajemen stok perlu dioptimalkan agar gejolak harga bisa dikendalikan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kenaikan harga bawang merah di sejumlah daerah di Jawa Tengah, dari sebelumnya Rp 32.000 per kilogram menjadi Rp 55.000 per kilogram. Pemerintah diharapkan bisa mengatur stok bawang merah dengan mengoptimalkan gudang penyimpanan untuk menekan gejolak harga.
Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditas Tim Pengendali Inflasi Daerah Jateng mencatat, rata-rata harga bawang merah pada Senin (6/2/2023), Rp 47.800 per kilogram. Sebanyak empat daerah melaporkan harga bawang merah di atas harga rata-rata tersebut, yakni Kota Semarang, Pemalang, Kota Magelang, dan Batang. Harga bawang merah tertinggi dilaporkan Batang Rp 55.000 per kg.
Harga bawang merah di Jateng itu melebihi harga acuan bawang merah yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07 Tahun 2022. Dalam peraturan itu disebutkan, harga acuan bawang merah sebesar Rp 32.000 per kg di tingkat konsumen dan sebesar Rp 22.500 per kg di tingkat petani.
Menurut para pedagang di Pasar Peterongan, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, kenaikan harga bawang merah sudah terjadi setidaknya 10 hari terakhir. ”Kenaikan harganya sudah dari penyuplai, Rp 48.000 per kg. Saya jualnya Rp 50.000 per kg. Kalau harga normalnya paling tinggi Rp 35.000 per kg,” kata Jumiati (42), pedagang di Pasar Peterongan, Senin.
Di Pasar Induk Brebes, harga bawang merah juga tinggi. Berdasarkan pantauan Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan Brebes, bawang merah dijual dengan harga Rp 43.000-Rp 45.000 per kg. Padahal, Brebes merupakan sentra bawang merah.
Menurut Kepala Bidang Perdagangan di Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan Brebes Maryono, harga bawang merah di Brebes merangkak naik sejak awal tahun 2023. Pada pekan pertama dan kedua Januari, harga bawang merah Rp 33.000 per kg.
”Sampai sekarang belum banyak daerah yang panen raya, sehingga suplai bawang merah ke pasar terganggu. Jika terus begini, ada kemungkinan harga bawang merah terus melambung hingga Rp 50.000 per kg atau seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar Maryono.
Maryono mengatakan, intervensi perlu dilakukan untuk mengendalikan harga bawang merah. Sebab, kenaikan harga bawang merah yang terjadi terus-terusan bisa memicu terjadinya inflasi.
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari mengatakan, suplai bawang merah menurun. Tidak hanya di Jateng, tetapi juga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Juwari mencontohkan, suplai bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati, DKI hanya 15-16 truk atau sekitar 105-112 ton per hari. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibanding suplai normal, yakni 23-25 truk atau sekitar 161-175 ton per hari.
”Suplai bawang merah akan kembali normal pada akhir Februari. Sebab, pada pekan ketiga Februari, sejumlah daerah sentra bawang merah bakal panen raya, seperti Brebes, Demak, Nganjuk (Jawa Timur), dan Bima (Nusa Tenggara Barat),” ucap Juwari.
Bawang impor
Di tengah tingginya harga bawang merah, ABMI menemukan adanya bawang merah impor jenis berry dari India masuk ke pasaran. Bawang merah berry rata-rata berharga sekitar Rp 6.000-Rp 8.000 per kg. Di beberapa tempat, bawang merah jenis itu dijual dengan cara dioplos dengan bawang merah lokal dengan harga Rp 20.000 per kg.
Menurut Juwari, bawang merah berry yang memiliki diameter sekitar 3 sentimeter itu tidak boleh diimpor. Aturannya, hanya bawang merah jenis onions berdiameter sekitar 5 cm yang mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dari pemerintah.
Berdasarkan pantauan ABMI, bawang merah jenis itu dijual di sejumlah pasar di Brebes, Jakarta, Padang (Sumatera Barat), dan Palembang (Sumatera Selatan). Juwari menilai, keberadaan bawang merah berry yang menyerupai bawang merah lokal itu bisa merusak harga di pasar.
”Kami akan mendata dulu secara detail mengenai peredaran bawang merah berry ini. Kalau perlu kami sertakan foto dan video sebagai buktinya. Nantinya, data itu akan kami bawa untuk mendesak Kementerian Perdagangan agar menyetop peredaran bawang merah impor itu,” imbuh Juwari.
Juwari menambahkan, gejolak harga berupa penurunan atau kenaikan harga sudah kerap terjadi akibat manajemen stok bawang merah di Indonesia kurang baik. Saat barang melimpah, harganya sering kali anjlok. Sementara itu, kenaikan harga selalu terjadi saat masa paceklik bawang merah.
Untuk mengatasi gejolak harga, cold storage atau gudang penyimpanan dengan suhu tertentu perlu dioptimalkan. Saat stok melimpah, bawang merah bisa diserap dan disimpan di cold storage.
Fasilitas itubisa menyimpan bawang merah selama 3-6 bulan dengan penyusutan 5 persen. Stok itu bisa dikeluarkan saat panen bawang merah belum tiba untuk mencegah lonjakan harga.
”Manajemen stok menggunakan cold storage ini merupakan cara paling tepat, kita tinggal menunggu, pemerintah mau mengoptimalkan ini atau tidak. Cara ini sudah dilakukan di China untuk menjaga stabilitas harga bawang merah di negara tersebut,” tuturnya.
Juwari menyebut, Indonesia tidak memerlukan impor bawang merah. Indonesia bisa menghasilkan sekitar 1,5 juta ton bawang merah per tahun. Kebutuhan bawang merah nasional diperkirakan 120.000 ton per bulan atau sekitar 1,4 juta ton per tahun.