Jurnalis Memberikan Diri Melayani Mereka dengan Gangguan Jiwa
Bagi Markus, kesibukan memberi diri bagi ODGJ tidak mengganggu rutinitasnya sebagai jurnalis.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Markus Makur (46) menunduk, lalu memotong satu per satu kuku kaki dari dua remaja yang terbaring lemas di tempat tidur. Kuku hitam memanjang dan agak kotor ia gunting hingga rapi. Ia lalu mencuci kaki keduanya dengan air hangat.
Dua remaja dimaksud adalah Yohanes Fakundus Koko (17) dan Ignasius Miki (15), dua bersaudara yang kini tidak bisa berjalan. Fakundus mengalami kelumpuhan sejak usia delapan tahun, sedangkan adiknya, Miki, mengalami hal yang sama pada usia tujuh tahun.
Markus mendatangi kediaman mereka di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (8/2/2023) pagi. Ia spontan datang ke sana setelah diberi tahu temannya yang sering terlibat dalam kegiatan kemanusiaan di daerah itu.
Markus bukan warga Borong. Ia sehari-hari berkerja sebagai reporter Kompas.com dan tinggal di Waelengga, sekitar 37 kilometer arah timur Borong. Ia datang ke Borong untuk persiapan perayaan Hari Pers Nasional keesokan harinya.
Setelah berbincang dengan keluarga, Markus bersama tim menyarankan agar kedua remaja itu jangan selalu dibiarkan sendirian. Mereka perlu dihibur dan terus diberi semangat. Hak-hak mereka sebagai anak dan umat beragama juga perlu diperhatikan.
Sering kali ditemukan, orang yang mengalami gangguan jiwa atupun keterbelakangan mental dan menderita penyakit menahun dibiarkan lantaran dianggap membebani keluarga. Hak mereka pun tidak diperhatikan.
Markus dan tim lalu menawarkan bantuan mengurus dua remaja itu untuk diberi komunio pertama, salah satu sakramen dalam Gereja Katolik. Bagi seseorang yang lahir dalam keluarga Katolik, pertama-tama ia dibaptis, kemudian pada saat kelas IV sekolah dasar atau sekitar 11 tahun sudah boleh menerima komunio pertama. Usia dua remaja itu sudah melampaui batas minimum.
”Kami konsultasi dengan pastor setempat dan disetujui. Bahkan pastor datang memberikan komunio pertama di rumah mereka karena kondisi mereka tidak memungkinkan. Dua remaja itu memancarkan wajah bahagia,” tutur Markus.
Penerimaan komunio pertama bagi kedua remaja lumpuh itu berlangsung pada Kamis (9/2/2023) petang. Bagi Markus, momen itu menjadi kado terindah baginya pada perayaan Hari Pers Nasional 2023. Sebuah pengalaman berkesan selama meniti karier sebagai jurnalis sejak tahun 2004.
Tak hanya itu, Markus dan timnya berkoordinasi dengan pemerintah setempat agar bisa membantu proses pemulihan. Kedua remaja itu nantinya akan diantar ke rumah sakit di Ruteng, sekitar 56 kilometer arah barat laut Borong. Harapannya, keduanya mendapat perawatan lebih intensif.
Laurensius Koe, orangtua kedua anak itu, terharu melihat aksi Markus dan tim. Dalam dua hari, mereka sudah melakukan banyak hal. ”Dulu pernah ada petugas pemerintah yang datang. Mereka hanya foto-foto terus pergi,” ujar Koe.
Kehadiran Markus dalam kisah hidup dua remaja lumpuh itu hanya satu dari begitu banyak keterlibatannya membantu orang-orang terpinggirkan. Selama lebih kurang lima tahun terakhir, ia bergelut dengan komunitas yang menangani orang dengan gangguan jiwa.
Ia tertarik dengan kerja kemanusiaan itu setelah membaca tulisan Pater Avent Saur SVD, imam Katolik di Flores, yang mengangkat perjalanan mereka menangani orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di daerah itu. Narasi humanis itu ia temukan di harian Flores Pos dan unggahan di media sosial.
Tanpa dibekali ilmu tentang ODGJ, ia meminta bergabung dalam kerja kerelaan di lembaga karitatif Kelompok Kasih Insanis (KKI) peduli ODGJ itu. Mereka sering kali mendatangi ODGJ dengan pasungan di kampung yang sulit akses transportasi. Untuk datang ke kampung-kampung, sering kali mereka menggunakan sepeda motor, kemudian lanjut dengan jalan kaki.
Di sana, mereka menemukan banyak kisah memilukan. ODGJ dipasung dalam kandang atau gubuk reyot yang tidak terurus. Mereka lalu memandikan ODGJ. Jika memungkinkan, pasungannya dilepas. Mereka kemudian mengantar ODGJ ke Panti Renceng Mose, Ruteng, Kabupaten Manggarai. Di sana, ODGJ dirawat.
”Saya tidak jijik menggunting kuku kaki ODGJ yang masih terpasung, lalu mencuci kotoran di kaki. Selanjutnya saya mandikan. Ini secara spontan saja. Biasa di tas kecil saya selalu tersedia gunting kuku,” ujar Markus.
Ia menuturkan, tak mudah bergumul dengan ODGJ. Bukan tak mungkin, nyawa bisa menjadi taruhan jika berhadapan dengan ODGJ yang agresif. Ditambah lagi stigma di masyarakat bahwa ODGJ adalah penyakit kutukan yang sulit disembuhkan.
Di balik perjuangan KKI, banyak ODGJ yang sembuh. Ada yang kini beternak, bertani, bahkan menjadi penyanyi dan pengelola akun media sosial Youtube.
”Kalau tidak bertemu mereka, saya tidak tahu nasib saya seperti apa,” kata Egi Mburung yang sembuh dari gangguan jiwa dan kini menjadi penyanyi.
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, jumlah ODGJ di daerah itu pada tahun 2017 lebih kurang 700 orang. Sebanyak 60 orang dipasung. Tim KKI sudah melepas 40 orang dari pasungan dan selebihnya terhambat larangan keluarga serta kemauan ODGJ.
Bagi Markus, kesibukan memberi diri bagi ODGJ tidak mengganggu rutinitasnya sebagai jurnalis. Ia menikmati jalan ini. Ia tidak berhenti menyuarakan harapan mereka yang tak bersuara lewat kerja jurnalistik. Lebih dari itu, ia melayani mereka yang tidak tersentuh.