Lebih dari 200 anak di Makassar bekerja jadi pemulung. Limbah elektronik salah satu yang banyak dikumpulkan. Keselamatan dan kesehatan mereka terancam. Keterlibatan semua pihak diperlukan untuk menyelamatkan mereka.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Limbah elektronik saat ini mengancam keselamatan dan kesehatan anak-anak yang bekerja sebagai pemulung. Sejak dua tahun lalu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar telah mengeluarkan larangan bekerja di tempat berbahaya bagi anak-anak. Sayangnya, tuntunan ekonomi membuat mereka kembali memulung.
Pertengahan Februari lalu, Save the Children merilis hasil riset yang menemukan bahwa lebih dari 200 anak berusia 6-17 tahun di Kota Makassar bekerja sebagai pemulung. Limbah elektronik adalah salah satu yang banyak dikumpulkan. Mereka juga terlibat dalam proses pemilahan, seperti membakar plastik secara terbuka dan membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman.
Kondisi ini kian parah karena mereka tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat. Akibatnya, keselamatan dan kesehatan mereka terancam.
Sebenarnya, sejak dua tahun lalu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup, sudah mengeluarkan larangan bekerja di tempat berbahaya bagi anak-anak. Salah satu yang dilarang adalah di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa.
”Selain bekerja di area TPA Tamangapa, kami juga melarang anak-anak ikut di kendaraan pengangkut sampah. Hanya memang untuk soal ini kami tak bisa jalan sendiri, tetapi harus lintas sektor,” kata Kepala Dinas PPPA Achi Soleman, Rabu (22/2/2023), di Makassar.
Hasil riset Save the Children kini juga menjadi fokus Dinas PPPA Kota Makassar. Sosialisasi dan edukasi gencar dilakukan pada orangtua dari anak-anak yang menjadi pemulung. Selain dinas kesehatan, dinas pendidikan juga dilibatkan.
”Kami edukasi soal pentingnya pendidikan dan juga ancaman kesehatan. Kami berupaya agar anak-anak yang selama ini tidak sekolah karena bekerja akan kembali ke sekolah. Setidaknya dengan bersekolah, harapan mereka untuk masa depan lebih baik bisa dipupuk. Dengan aktif sekolah, setidaknya waktu di tempat memulung bisa dikurangi. Tentu juga sosialisasi terkait dengan bahaya yang mengancam jika mereka berurusan dengan limbah berbahaya,” katanya.
Riset Save the Children yang berjudul ”Circular Geniuses” membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan. Riset mengungkap total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun.
Di Indonesia, limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun dan hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi. Sebanyak 90 persen dikelola oleh sektor informal, baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.
Di Indonesia, limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun dan hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi.
Chief Advocasy, Campaign, Communication and Media-Save the Children Indonesia Troy Pantouw mengatakan, faktor ekonomi adalah alasan utama anak-anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar.
”Riset kami jelas memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orangtua memaksa anak-anak mereka bekerja sebagai pemulung. Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik karena mengancam kesehatan dan keselamatan mereka,” kata Troy.
Berdasarkan riset, di Kota Makassar, tiga kecamatan yang memiliki limbah elektronik terbesar adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Persentase jenis limbah beragam meliputi televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen, dan AC 49,5 persen. Sebanyak 40 persen masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara disimpan. Selebihnya 33 persen menjual, 20 persen memperbaiki, 4 persen dibuang, dan hanya 3 persen yang didaur ulang.
Limbah elektronik termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Di balik bahaya yang mengancam anak-anak, riset Save the Children juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada 2030. Sekitar 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.
Dengan kata lain, ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.