Punya Potensi Besar, Kopi Kuningan Jadi Incaran Kedai hingga Eksportir
Kopi khas Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, punya potensi besar. Tidak hanya menjadi incaran pemilik kedai, kopi dari Gunung Ciremai itu juga mulai merambah pasar ekspor. Namun, masih ada sejumlah kendala.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Kopi khas Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, punya potensi besar. Tidak hanya menjadi incaran pemilik kedai, kopi dari Gunung Ciremai itu juga mulai merambah pasar ekspor. Meski demikian, masih ada permasalahan pemasaran, produksi, hingga fasilitas.
Potensi itu, antara lain, tampak dalam ”Coffee Cupping Test” di Rumah Kopi Linggasana, Kuningan, Kamis (23/2/2023). Kegiatan itu bagian dalam Program Community Development Universitas Prasetiya Mulya bersama Asosiasi Petani Kopi Indonesia (Apeki) Kuningan.
Dalam acara itu, tiga penguji mengecek karakteristik kopi dari tujuh wilayah di Kuningan, seperti Cibeureum, Darma, dan Cilimus. Mereka menguji aroma, keasaman, tingkat manisnya, hingga rasanya. Kopi itu berjenis robusta, arabika, dan liberika dari sekitar Gunung Ciremai.
”Kopi Kuningan ini khas. Dari segi rasa, di setiap kecamatan saja bisa beda. Misalnya, di Darma, rasanya lebih ke coklat, sedangkan di Linggarjati lebih fruty (buah-buahan). Ini karena pengaruh tanaman sekitar kopi dan varietasnya,” ujar Zaenal Arif Hapsah, salah satu penguji cupping test.
Keunikan itu, lanjutnya, membuat pelaku usaha di Kuningan hingga daerah lain, seperti Cirebon, mengincar kopi setempat. ”Saya saja butuh sekitar 300 kilogram (kg) kopi arabika lokal setiap bulan. Bulan Oktober itu kami sudah kehabisan,” ucap pemilik Otaku Coffee Kuningan ini.
Menurut dia, tingginya minat terhadap kopi lokal juga terlihat dari menjamurnya kedai kopi. Ia memperkirakan, terdapat sekitar 120 kedai kopi di Kuningan dan lebih dari 500 kafe yang menggunakan kopi lokal di Cirebon. Padahal, satu dekade lalu, kedai kopi hanya hitungan jari.
Titi Nuryati, pendiri Kelompok Tani Sekarmanik Sejahtera di Cibeureum, mengatakan, kopi Kuningan mulai merambah pasar lokal. Pekan lalu, ia menjual kopi robusta bubuk sekitar 10 kg ke Turki dengan harga Rp 150.000 per kg. Padahal, biasanya, maksimal Rp 120.000 per kg.
”Kami selalu melakukan uji mutu dan cita rasa kopi Cibeureum. Kami juga lagi mengurus sejumlah dokumen persyaratan untuk mengirim lebih 20 kg kopi robusta bubuk ke Turki,” ucapnya. Petani, lanjutnya, juga telah mengekspor biji kopi meski melalui perantara di kota lain.
Tahun lalu, misalnya, 2,5 ton biji kopi hasil panen petani diekspor ke Turki melalui perusahaan eksportir di Tangerang, Banten. Bahkan, pihaknya juga menerima permintaan kopi dari Arab Saudi sebanyak 16 ton pada Desember lalu. Namun, petani sudah kehabisan stok kopi.
Ketua Apeki Kuningan Uun Sunar’un menambahkan, panen kopi di Kuningan sebenarnya berjalan hampir sepanjang tahun. Pada bulan tiga hingga enam, kopi arabika panen, sedangkan kopi robusta dipetik pada Juli sampai September. Selanjutnya, giliran kopi liberika yang panen.
”Namun, luas lahan dan produksi kopi berkurang. Salah satu kendalanya dua tahun ini karena musim hujan sehingga kopinya rusak,” ujar Uun. Pada 2021, misalnya, produksi kopi robusta saja tercatat 980 ton dari lahan 1.734 hektar, sedangkan kopi arabika 67 ton dari luas 103 hektar.
Padahal, pada 2018, produksi kopi di Kuningan mencapai 1.249 ton. ”Tahun 2022 dan sekarang, saya prediksi jumlah produksinya juga menurun. Pemerintah perlu memperluas areal tanam dan membantu permodalan petani. Selama ini, petani meminjam modal dari pengumpul,” ujarnya.
Petani, lanjutnya, juga membutuhkan fasilitas pengolahan pascapanen hingga gudang induk yang menampung produksi petani. Selain mencegah harga kopi jatuh saat musim panen, gudang itu juga akan mendistribusikan kopi ke kedai hingga eksportir. Jadi, tata niaga kopi bisa diatur.
Di sisi lainnya, belum semua petani menerapkan sistem petik matang atau merah. Sebagian besar petani masih memetik buah kopi asalan untuk dijual segera. Padahal, harga petik kopi asalan Rp 18.000-Rp 27.000 per kg, sedangkan petik merah harganya Rp 35.000-Rp 50.000 per kg.
Faizal Ahmad, Manajer Pusat Pengembangan Usaha Kecil Universitas Prasetiya Mulya, mengatakan, Program Community Development berupaya membantu pelaku usaha kopi untuk memperluas pasar kopi Kuningan. Caranya, dengan pembuatan katalog hingga pemasaran digital.
”Kami tidak hanya menyentuh bagian hilirnya, tetapi juga petani di hulu. Kami mencoba membantu membangun ekosistem kopi Kuningan,” ucapnya.