Lebih Berat daripada Tuntutan, Bekas Wali Kota Yogyakarta Dihukum 7 Tahun Penjara
Bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi terkait izin mendirikan bangunan apartemen dan hotel. Haryadi dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Bekas Wali Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Haryadi Suyuti, dinyatakan bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi terkait izin mendirikan bangunan apartemen dan hotel. Haryadi dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Hukuman itu lebih berat daripada tuntutan jaksa, yakni penjara 6,5 tahun dan denda Rp 300 juta.
Putusan tersebut dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (28/2/2023), di Yogyakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung secara hibrida, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Djauhar Setyadi.
Majelis hakim, tim jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan tim penasihat hukum Haryadi hadir langsung di ruang sidang. Adapun Haryadi selaku terdakwa mengikuti sidang secara daring.
Saat membacakan putusan, Djauhar menyatakan, Haryadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Hal itu sesuai dengan dakwaan alternatif pertama yang diajukan JPU KPK.
Perbuatan Haryadi dinilai melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Haryadi Suyuti dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” ungkap Djauhar.
Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Haryadi berupa keharusan membayar uang pengganti sejumlah Rp 165 juta. Apabila Haryadi tidak membayar uang pengganti maksimal satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, hartanya bisa disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut.
”Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun,” ujar Djauhar.
Pidana tambahan yang juga dijatuhkan kepada Haryadi adalah pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak dia selesai menjalani pidana pokok.
Pemberian suap
Berdasarkan dakwaan dari JPU KPK, Haryadi diduga menerima suap dalam bentuk uang dan barang untuk memuluskan penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) Apartemen Royal Kedhaton di Yogyakarta. Terkait proyek itu, Haryadi diduga menerima suap berupa uang 20.450 dollar AS, uang Rp 20 juta, satu unit mobil Volkswagen Scirocco, serta satu unit sepeda elektrik merek Specialized Levo FSR.
Dalam penerbitan IMB Apartemen Royal Kedhaton, Haryadi diduga menerima suap dari Oon Nusihono yang waktu itu menjabat Head of Government Relation PT Summarecon Agung Tbk, serta Dandan Jaya Kartika yang menjabat Direktur PT Java Orient Property.
Selain itu, Haryadi juga diduga menerima suap terkait penerbitan IMB Hotel Iki Wae atau Aston Malioboro, Yogyakarta. Dalam proyek itu, Haryadi diduga menerima suap sebesar Rp 150 juta dari Direktur PT Guyub Sengini Group Sentanu Wahyudi.
Total uang yang diberikan Sentanu melalui sekretaris pribadi Haryadi, Triyanto Budi Yuwono, sebenarnya berjumlah Rp 200 juta. Namun, sebesar Rp 50 juta diambil oleh bekas Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Yogyakarta Nurwidihartana. Triyanto dan Nurwidihartana juga telah menjadi terdakwa dalam kasus itu.
Menanggapi putusan majelis hakim, penasihat hukum Haryadi Suyuti, M Fahri Hasyim, menyatakan, pihaknya pikir-pikir. Tim penasihat hukum masih akan berkonsultasi dengan Haryadi sebelum mengambil langkah hukum lanjutan.
Fahri menyebutkan, putusan majelis hakim itu memang lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa. ”Itu sepenuhnya hak majelis hakim, tetapi yang kami komentari, pembelaan kami sama sekali tidak digubris dan hal-hal yang meringankan juga tidak disinggung,” ujarnya.
Pidana tambahan yang juga dijatuhkan kepada Haryadi adalah pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
JPU KPK, Ferdian Adi Nugroho, mengatakan, pihaknya juga masih pikir-pikir terkait putusan majelis hakim. Menurut Ferdian, majelis hakim memang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada tuntutan jaksa atau biasa disebut dengan istilah ultra petita.
”Ketika majelis hakim memiliki pendapat yang lain seperti ultra petita atau melebihi yang kami tuntut, ya, tentunya tidak menjadi masalah. Apakah kami melakukan upaya hukum atau tidak, kami masih pikir-pikir dan kami berkoordinasi dengan pimpinan dulu,” kata Ferdian.
Ferdian memaparkan, berdasarkan putusan majelis hakim, dakwaan yang diajukan JPU KPK terhadap Haryadi dinyatakan terbukti. Selain itu, sebagian besar pertimbangan yang diajukan dalam tuntutan dari JPU KPK juga diakomodasi dalam putusan majelis hakim.
Namun, Ferdian menyebutkan, majelis hakim memberi putusan berbeda terkait uang pengganti yang harus dibayar Haryadi. Dalam putusan, Haryadi diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 165 juta, lebih sedikit dari tuntutan jaksa yang meminta uang pengganti sebesar Rp 185 juta.