1.900 Ton Aspal Tumpah di Nias Utara, Ekosistem Rusak Nelayan Terpuruk
Tiga pekan kapal tanker berbendera Gabon kandas menumpahkan 1.900 ton aspal di kawasan konservasi perairan Nias Utara. Aspal mencemari hingga radius 50 km. Nelayan terpuruk. Ikan, kepiting, penyu, dan burung mati.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
NIAS UTARA, KOMPAS — Sudah hampir tiga pekan kapal tanker berbendera Gabon kandas dan menumpahkan 1.900 ton aspal di kawasan konservasi di perairan Nias Utara, Sumatera Utara. Aspal mencemari lautan hingga radius 50 kilometer. Nelayan terpuruk karena tangkapan ikan berkurang dan banyak kapal dan alat tangkap rusak terjebak aspal.
”Tumpahan aspal merusak area tempat bertelur penyu, merusak mangrove, hingga karang. Tumpahan aspal juga meluas hingga ke kawasan Konservasi Perairan Sawo-Lahewa. Ratusan nelayan juga tidak bisa melaut,” kata Kepala Dinas Perikanan Pemerintah Kabupaten Nias Utara Sabar Jaya Telaumbanua, Kamis (2/3/2023).
Kapal tanker bernama MT AASHI itu kandas di perairan Nias Utara, sekitar 300 meter dari pantai, Sabtu (11/2/2023) sekitar pukul 05.00. Badan kapal sebelah kanan bocor dan menumpahkan muatan aspal ke laut. Badan kapal masih teronggok di laut dengan miring ke sebelah kiri. Gumpalan-gumpalan aspal mencemari laut hingga ke bibir pantai.
Jaya mengatakan, gumpalan aspal berukuran mulai dari sebesar piring hingga berdiameter 2-3 meter. Aspal dengan ukuran yang lebih besar mengendap di dasar laut. Sementara aspal berukuran lebih kecil melayang di bawah permukaan laut.
Hamparan aspal merusak biota laut cukup parah. ”Bahkan, ada beberapa kepiting dan burung laut yang lengket terjebak di aspal. Ada juga telur penyu yang lengket di antara aspal,” kata Jaya.
Jaya mengatakan, tumpahan aspal menyebar hingga ke perairan Sawo-Lahewa yang telah ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai kawasan konservasi sejak 2017. Tim dari KKP serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah turun ke lokasi untuk penyelidikan dan penyelesaian sengketa. ”Mereka menekankan dua hal, yakni penyelamatan lingkungan dan penegakan hukum,” kata Jaya.
Jaya mengatakan, sebanyak 641 nelayan terdampak langsung akibat tumpahan aspal itu. Alat tangkap dan baling-baling kapal mereka rusak karena tersangkut aspal. Belum lagi penurunan tangkapan yang dirasakan hampir semua nelayan di Nias Utara.
Mawardin Gulo (52), nelayan di Desa Muzoi, Kecamatan Lahewa Timur, mengatakan, penghasilan utama mereka adalah menangkap ikan. Hampir tidak ada ikan muncul sejak ada tumpahan aspal. ”Di mana-mana ada gumpalan aspal, air laut juga berminyak,” katanya.
Mawardin mengatakan, gumpalan aspal melayang beberapa sentimeter di bawah permukaan laut sehingga sulit untuk dipantau. Akibatnya, banyak nelayan menabrak gumpalan aspal itu yang membuat kapal rusak.
Nelayan di sekitar perairan itu biasanya menangkap ikan tongkol, tuna, dan beberapa jenis ikan lainnya dengan alat pancing dan jaring. Mereka menebar pancing setelah kumpulan ikan tongkol muncul ke permukaan.
Banyak nelayan menabrak gumpalan aspal itu yang membuat kapal rusak.
Sejak aspal tumpah, hampir tidak ada kelompok ikan yang muncul. Nelayan-nelayan yang biasanya bisa mendapat 30-50 kilogram ikan per hari kini hanya di bawah 10 kilogram. Para nelayan berharap mendapat bantuan karena tumpahan aspal membuat mereka hampir tidak bisa melaut.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian LHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan, pihaknya telah melakukan verifikasi sengketa lingkungan hidup ke lapangan. Verifikasi dilakukan setelah mereka mendapat laporan dari Bupati Nias Utara.
Berdasarkan hasil verifikasi Kementerian LHK, kapal berbendera Gabon itu membawa 1.900 ton aspal dengan 20 awak warga negara India. Kondisi kapal juga sudah berkarat. ”Tumpahan aspal sudah meluas hingga radius 50 kilometer,” kata Ragil.
Verifikasi itu, kata Ragil, merupakan tahap awal penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Mereka akan menghitung kerugian serta melakukan negosiasi dan fasilitasi. Menurut Ragil, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan lebih efektif dalam penyelamatan kerugian lingkungan hidup dan masyarakat terdampak karena proses penyelesaiannya memakan waktu relatif lebih cepat dan dengan biaya lebih murah.