Mengais Rezeki dari Roda Ekonomi Pasar Urban
Ribuan kuli angkut turut memutar roda perekonomian di pelbagai pasar di Ibu Kota. Di tengah deru masyarakat urban yang demikian kencang, kuli angkut turut andil dalam menjaga rantai pasok.
Ribuan kuli angkut turut memutar roda perekonomian di pelbagai pasar di Ibu Kota. Di tengah deru masyarakat urban yang demikian kencang, kuli angkut turut andil dalam menjaga rantai pasok. Sejatinya, mereka tak hanya memikul barang, tetapi juga beban keluarga dan kelindan kemiskinan.
Hari masih pagi saat sebuah pikap bermuatan sawi putih dan pokcoy tiba di area bongkar muat di Blok E Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, Rabu (8/3/2023). Mistar (56) dan tiga kuli angkut lain bergegas menghampiri, membongkar muatan, dan membawanya ke lapak pedagang, sekitar 100 meter dari pikap itu terparkir.
Muatan seberat hampir 1 ton, oleh Mistar dan tiga kawannya, habis dalam tiga kali angkut. Dalam sekali angkut, masing- masing memikul tiga plastik sawi dan pakcoy seberat 20-25 kilogram. Dengan berat badan sekitar 54 kilogram, Mistar mengangkut beban di pundak yang melebihi bobotnya.
”Berat dibawa, enteng juga dibawa. Dari rumah niatnya kerja. Jadi, mau gimana pun, tetap diangkut,” ucap Mistar seusai bongkar muat.
Upah mengangkut sayuran itu Rp 2.000-Rp 5.000 tiap plastik. Upah diberikan oleh mandor yang mengoordinasi kelompok kuli angkut. Dalam sehari, Mistar mendapat upah Rp 50.000-Rp 100.000.
Meski pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia setia melakoni pekerjaan itu sejak 1998. Pekerjaan itu ia warisi dari bapaknya yang juga kuli angkut di Pasar Kramatjati. Lelaki yang tak tamat sekolah dasar ini tak punya pilihan lain.
Kanta (66), kuli angkut lainnya, juga mewarisi pekerjaan bapaknya yang menjadi kuli angkut di Pasar Manggarai dan Pasar Kramatjati. Lebih dari 40 tahun, laki-laki yang tak tamat sekolah dasar ini berkecimpung dalam panggul-memanggul.
Mistar dan Kanta merupakan dua dari 980 kuli angkut yang tergabung dalam Badan Pengelola Bongkar Muat (Bapengkar). Keduanya mendapatkan tugas membongkar muatan di Blok E pada sif tiga, yaitu pukul 06.00 hingga 17.30.
Para kuli berasal dari sejumlah daerah, dengan Serang di Banten dan Bogor di Jawa Barat mendominasi. Usia mereka 20 tahun-70 tahun.
Pendapatan kuli yang tergabung dalam Bapengkar dipotong 30 persen. Mereka tidak keberatan karena potongan itu sejatinya kembali lagi untuk mereka dalam bentuk pembayaran BPJS Ketenagakerjaan, tunjangan beras seharga Rp 75.000 setiap bulan, dan bingkisan hari raya Idul Fitri.
Selain kuli Bapengkar, terdapat kelompok kuli lain yang kerap disebut ”kuli liar”. Mereka turut mengangkut sayuran dan buah-buahan, tetapi tidak bergabung dengan Bapengkar. Sebagian dari mereka melayani pembeli, membantu membawakan barang belanjaan.
Syahroni (46) merupakan salah satu kuli angkut yang memilih tidak bergabung dalam Bapengkar. Upahnya diterima utuh, tanpa potongan seperti kuli di Bapengkar.
Lihat Juga: Salam Hormat Porter Mengiringi Keberangkatan Kereta
Perantau dari Batang, Jawa Tengah, ini setiap hari bisa membawa pulang Rp 150.000. Sebagian penghasilannya dipakai untuk membayar indekos Rp 500.000 per bulan serta disisihkan sebagian kecil untuk biaya hidupnya. Sebagian besar lainnya, sekitar Rp 2 juta, dikirimkan ke kampung halaman. Penghasilan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari istri dan empat anaknya.
Manajer Unit Pasar Besar Pasar Induk Kramatjati Mardianto menaksir, setidaknya terdapat 900 kuli liar di pasar tersebut. Banyaknya kuli di Pasar Kramatjati ini tak lepas dari tingginya kebutuhan para pedagang dan pembeli. Keduanya sama-sama membutuhkan tenaga untuk distribusi.
Peluang bagi kuli juga terbuka lebar karena Pasar Kramatjati beroperasi selama 24 jam. Sebanyak 1.200 ton sayur dan buah setiap hari masuk dan keluar di pasar tersebut.
Bertahan hidup
Mengais rezeki demi bertahan hidup juga dilakoni lebih dari 1.000 kuli angkut di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. Salah satunya Maming (62), pria asal Bantarjaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lebih dari empat dekade ia menggeluti pekerjaan kuli angkut.
Sore itu, ia mendapat jatah membongkar muat satu truk yang mengangkut 200 karung beras, masing-masing karung seberat 50 kilogram. Bersama Ido (54), temannya, ia harus membawa beras ke lapak pedagang yang berjarak sekitar 10 meter dari truk terparkir.
”Ini, mah, kita sudah terbiasa. Dulu bahkan bisa ngangkat sampai karung yang 100 kilogram,” kata Maming.
Sekitar 1,5 jam berlalu, muatan truk telah kosong. Keduanya mendapat upah Rp 150.000 dari pedagang. Upah itu dipotong 15-30 persen untuk mandor.
Hingga malam menjelang, pendapatan bersih Maming hanya Rp 65.000. Pengeluarannya hari itu hanya untuk sarapan sekaligus makan siang sekitar Rp 10.000. Dari penghasilannya, ia bisa menyisihkan uang untuk ongkos pulang ke Bantar Jaya, biasanya tiap Jumat.
”Dengan keadaan seperti ini dan semakin tua, saya tidak banyak berharap lagi. Punya ongkos untuk pulang tiap minggu sudah cukup,” ucapnya.
Di usia yang semakin senja, Maming tidak punya pilihan pekerjaan lain. Apalagi, dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan formal sehingga sejak awal dia tidak punya pilihan pekerjaan yang lain.
Kondisi kelindan kemiskinan seperti sulit dilepaskan dari para kuli angkut. kuli angkut berjuang agar anak-anaknya berpendidikan tinggi sehingga punya modal sosial untuk meraih pekerjaan yang lebih layak. Ironisnya, biaya pendidikan itu juga tidak terjangkau oleh kuli angkut. Tak ayal, pekerjaan kuli angkut pun ’terwariskan’ kepada anak-anaknya.
Para kuli angkut di Pasar Besar Induk Cipinang sebagian besar terwadahi Koperasi Pekerja Bongkar Muat (KPBM). Ada pula kuli angkut di lapak pedagang kaki lima yang tidak terafiliasi dengan KPBM Pasar Induk Beras Cipinang.
Ketua KPBM Pasar Induk Beras Cipinang Dinul Fikri mengatakan, saat ini ada lebih dari 1.100 kuli angkut yang bergabung bersama koperasi. Adapun sisanya, di bawah 100 orang, menjadi kuli angkut lepas.
Kuli angkut yang terdaftar di KPBM akan mendapatkan sejumlah fasilitas, didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan. Mereka juga berhak atas layanan kesehatan gratis di klinik yang bekerja sama dengan KPBM.
Alam (42), kuli angkut di pergudangan, mengaku terbantu dengan kehadiran KPBM. Dengan pembagian yang teratur dari koperasi, ia bisa mendapatkan pendapatan yang konstan setiap hari, minimal Rp 100.000.
Bagi kuli yang tergabung di KPBM juga disediakan sebuah shelter untuk menginap. Namun, keberadaan shelter kurang memadai. Shelter berukuran 5 meter x 20 meter digunakan untuk tidur 70-an kuli angkut. Untuk memanfaatkan shelter, mereka mesti membayar Rp 55.000 per bulan. Sebagian kuli yang tidak tertampung tidur di emperan toko.
Hidup serba pas-pasan dalam kelindan kemiskinan juga jamak dialami kuli angkut di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara ini diwarnai ”hidup keras” kuli angkut.
Kamis (9/3) siang, matahari bersinar terik. Peluh menetes di dahi Ramin (40), salah satu kuli angkut. Ia bergerak lincah memanggul barang bawaan pembeli di tengah lautan manusia yang berdesakan.
”Upahnya seikhlasnya, tetapi biasanya minta lagi kalau barang yang dibawa terlalu banyak,” katanya.
Mengangkut beban ratusan kilogram per hari tak jarang membuat pundaknya sakit. Hal itu ia lakoni karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. ”Sekarang cari kerjaan sulit,” ujarnya.
Hal serupa dirasakan kuli angkut lainnya. Samsudin (39), yang berjaga di pusat grosir Tanah Abang, menyebut saat ini kondisinya semakin sulit.
Sehari-hari, Samsudin mengantongi Rp 200.000, padahal sebelum pandemi Covid-19, ia bisa meraih Rp 600.000. Dari jumlah itu, ia masih harus memangkasnya untuk ongkos transportasi Rp 40.000 untuk pergi-pulang ke daerah Serang, Banten. Belum lagi ketika ia terpaksa menyewa troli yang dikenai tarif Rp 10.000 untuk sekali pakai. Tak hanya itu, ia juga mesti menyetor sebagian pendapatannya kepada mandor untuk ”jasa keamanan”.
Mandor kuli angkut Blok B Pasar Tanah Abang, Indra (52), membawahkan hampir 300 porter. Ia bertanggung jawab terhadap keamanan anak buahnya.
Sambil berbincang, ia sesekali menerima setoran harian dari beberapa kuli angkut sejumlah Rp 10.000-Rp 15.000. Mereka menyetor dengan bersalaman, seolah menutupi dari banyak orang. Namun, tindakan itu dilakukan sambil tertawa, membuktikan lumrahnya aktivitas ini dilakukan.
”Tapi, itu kewajibannya. Masa, sih, kerja satu minggu, dia enggak dapat duit? Kan, mana mungkin,” ujar Indra, yang berambut pirang diikat model rambut kuda.
Keberadaan Indra disegani banyak orang, bukan hanya kuli angkut, melainkan juga petugas satpam di sana. Seorang petugas satpam yang berjaga bahkan rela memberikan kursinya kepada Indra.
Indra mengakui juga menyetor kepada koordinator lain dan pengelola pasar. Namun, ia enggan menyebut nilai nominalnya.
Kondisi kelindan kemiskinan seperti sulit dilepaskan dari para kuli angkut. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mencontohkan, kuli angkut berjuang agar anak-anaknya berpendidikan tinggi sehingga punya modal sosial untuk meraih pekerjaan yang lebih layak. Ironisnya, biaya pendidikan itu juga tidak terjangkau oleh kuli angkut. Tak ayal, pekerjaan kuli angkut pun ”terwariskan” kepada anak-anaknya.
Dengan kondisi ini, menurut Bhima, pemerintah perlu memberikan perhatian lewat jaring pengaman sosial. Kendati status mereka sebagai pekerja informal, bukan berarti tidak terlindungi kesehatan ataupun kesejahteraannya.
”Kuli angkut ini punya peran signifikan, terutama dalam rantai pasok mulai dari sektor hulu. Tanpa kehadiran mereka, perputaran bisnis akan terganggu. Namun, mereka ini rentan karena upahnya tidak menentu, jam kerja panjang, dan tidak terlindungi jaring pengaman sosial,” tutur Bhima.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, kuli juga perlu memberdayakan diri. Salah satunya lewat paguyuban. Paling tidak, terdapat semacam wadah bagi kuli untuk bisa mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keberlangsungan pekerjaannya.
Walakin, kehadiran paguyuban itu tidak serta-merta menghilangkan kewajiban negara yang seharusnya melindungi warganya. Negara semestinya hadir, salah satunya dengan memastikan mereka memiliki jaminan sosial yang aktif.
Jika negara tak bisa diandalkan, lantas kepada siapa mereka mesti bertumpu?