Perjuangan Perempuan Mengatasi Persoalan Lintas Iman
Peran perempuan sangat diperlukan dalam dialog lintas iman. Mereka harus terlibat untuk mencegah menepis isu-isu terkait agama yang sampai sekarang masih sering muncul dan menjadi persoalan.
”Tuhan berikan kekuatan dan kesabaran kepada saudara kami, umat Islam, yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Kabulkanlah doa kami yang Tuhan....”
Doa itu digaungkan oleh ”suster-suster” atau biarawati dalam acara buka bersama yang digelar komunitas Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogyakarta di aula di Postulat Novisiat Carolus Borromeus di Kecamatan Depok, Sleman, DIY, Sabtu (25/3/2023).
Srili adalah komunitas lintas iman yang beranggotakan lebih dari 200 perempuan beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu Budhha, dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Mendengar doa itu, Arina Rahmatika, sekretaris II Srili Yogyakarta, spontan terkesima. ”Saya sendiri belum pernah mendoakan teman-teman non-Muslim agar bisa khusyuk beribadah,” tulisnya dalam status yang diunggahnya di akun Instagram, Minggu, 26 Maret lalu.
Doa itu membuatnya tercekat. Sebab, Arina tahu, kaum non-Muslim, terutama kelompok Kristiani, masih kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif di Indonesia.
Perempuan yang terbuka karena mau bergaul dengan siapa saja ini sering berinteraksi dan berkegiatan di tempat ibadah agama lain, juga sering mendapat cibiran dan celaan dari lingkungan dan teman-teman terdekat. ”Sebagian teman ada yang menyebut saya sok toleran, sok menunjukkan toleransi dalam kadar berlebihan,” ujarnya.
Menjalin relasi, hubungan dengan umat agama lain, memang harus terus diperjuangkan hingga saat ini. Interaksi dengan orang yang berbeda agama kerap dianggap sebagai ancaman. Niltu Alfa Alfi Barokah (27), anggota Srili asal Salatiga, mengaku dirinya terpaksa menolak tawaran program pascasarjana dari Universitas Kristen Duta Wacana karena orangtuanya keberatan dia kuliah di universitas tersebut.
”Orangtua saya khawatir kuliah itu akan membuat saya pindah agama,” ujarnya.
Bahkan, keterlibatannya dalam Srili juga sempat tidak didukung oleh keluarga. Ketika pertama kali mengikuti proses matrikulasi sebagai persiapan menjadi anggota Srili, ia bolak-balik menempuh perjalanan Salatiga-Yogyakarta. Orangtuanya heran dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya dicari di kegiatan Srili.
Niltu yang berlatar belakang studi S-1 Studi Agama-agama dari IAIN Kediri ini mengaku, dirinya memang senang bergaul dengan banyak orang. Selain berdasarkan rekomendasi salah satu dosen, ketertarikannya bergabung di Srili juga dilatarbelakangi minatnya untuk mencari pengalaman berbeda dengan berinteraksi dengan teman-teman baru.
Pergaulan luas dengan banyak orang, menurut dia, menjadi hal penting yang harus dilakukan untuk hidup dalam keberagaman. Namun, banyak temannya justru ”kurang gaul” sehingga mereka sering memberikan reaksi-reaksi mengejutkan saat melihat relasi Niltu dengan umat dari agama lain.
Beberapa temannya bahkan pernah bercerita, mereka tidak mau menghadiri pesta ulang tahun atau pesta pernikahan rekan yang berbeda agama.
”Ketika ada teman non-Muslim mentraktir, membelikan makanan, mereka juga mengaku tidak mau memakan makanan itu,” ujarnya.
Berkebalikan dengan pandangan sebagian rekan tersebut, Niltu cair bergaul dengan siapa saja. Dia rajin menggunggah foto-fotonya saat menggelar kegiatan di tempat ibadah agama lain, termasuk dia pun juga pernah memperlihatkan bahwa ibadah shalat pun juga bisa dilakukan dalam gereja, atau dilatarbelakangi salib yang tergantung di dinding kamar doa suster.
Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, dia justru banyak mendapatkan komentar negatif dari sejumlah teman.
”Ada teman yang bahkan menyempatkan diri mengontak, menegur, dan menceramahi saya dengan dalil-dalil agama,” ujarnya.
Baca juga: Mendorong Perdamaian dan Perubahan di Tengah Masyarakat
Mengubah pandangan orang untuk menciptakan moderasi agama bukanlah hal yang mudah dilakukan. Erin Gahyatri (30), warga Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mengatakan, hingga hari ini dirinya terus berjuang meyakinkan keluarga dan orang-orang di kampung halamannya bahwa dialog, interaksi dengan umat lintas agama, adalah hal baik yang seharusnya bisa dan biasa dilakukan.
Namun, hal ini tidak cukup dipahami oleh orang-orang di tanah kelahirannya. ”Setiap pulang kampung, saya masih di-bully. Teman-teman SMA kerap bergunjing, mengatakan bahwa saya adalah orang tersesat yang harus diarahkan untuk kembali ke jalan yang benar,” ujarnya.
Keterlibatannya dalam Srili juga membuat hubungannya dengan salah seorang teman dekatnya di SMA merenggang. Temannya yang kini berprofesi sebagai aparat pemerintah di salah satu kabupaten di Sualwesi Selatan menegur Erin. Temannya itu menyebut bahwa pergaulan dengan kelompok agama tertentu tidak boleh dilakukan karena dilarang dalam ajaran agama Islam.
Erin tidak meladeni teguran itu. ”Mendengar pernyataannya, saya justru heran bagaimana dia bisa mengayomi kepentingan seluruh warganya yang berbeda-beda agama, sementara dia sendiri tidak bisa menerima perilaku temannya yang bergaul dengan umat lintas iman,” ujarnya.
Minimalkan konflik
Sekian lama menghadapi berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama membuat Karolina Ratnaningsih (44) berupaya ”melindungi” diri sendiri dari rasa sakit hati dengan mengabaikan semua kejadian dan memilih berada di ”zona nyaman”. Ia hanya bergaul dengan orang-orang di lingkungan gereja Katolik tempatnya beribadah.
Seiring waktu, dalam perjalanannya menjadi seorang ibu, dia tersadar. Sikap ketidakpeduliannya terhadap peristiwa di luar gereja tidak bisa dibiarkan. Ketika putranya beranjak dewasa, dia teringat akan pengalaman ayahnya yang sempat mendapatkan iming-iming promosi jabatan asalkan yang bersangkutan mau berpindah agama menjadi Muslim. Kariernya pun mendadak berhenti karena ayahnya menolak dan memilih tetap beragama Katolik.
Sekalipun sudah belasan tahun berlalu, Karolina tetap cemas nasib serupa akan dialami putranya. Dia khawatir putra tunggalnya tidak mendapatkan kesempatan yang seharusnya layak didapatkan, atau malahan nantinya dipermasalahkan gara-gara beragama Katolik.
Hal itulah yang kemudian menggugah semangatnya untuk mencari teman-teman yang berbeda agama. ”Saya harus mencari, mendapatkan teman-teman lintas iman, yang nantinya dapat membantu anak saya ketika dia menghadapi masalah terkait agama yang dianutnya,” ujarnya.
Karolina kemudian memutuskan untuk bergabung sebagai anggota Srili. Di tahap awal persiapan menjadi anggota, barulah dia tersadar bahwa hubungan antaragama di Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja. Hal ini diketahuinya dalam sesi udar prasangka, yakni tiap-tiap orang dari agama yang berbeda mengutarakan pendapatnya tentang umat agama lain. Dalam pertemuan tersebut diketahui bahwa umat dari tiap agama ternyata mendapat penilaian, stereotipe tertentu dari agama lain.
Semua prasangka luluh, hubungan menjadi cair kembali karena tiap orang dari tiap-tiap agama menjelaskan dan meluruskan apa yang semula menjadi anggapan banyak orang terkait peribadatan mereka.
”Dari kegiatan itulah, saya baru paham bahwa kunci untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan konflik antaragama adalah dengan cara bertemu dan menjalin komunikasi dengan umat agama-agama lain,” ujarnya.
Hal itu, menurut dia, juga semakin jelas terlihat ketika Srili mengadakan kegiatan dengan melibatkan organisasi lain. Dia melihat bahwa sebagian umat Muslim yang terlibat juga terkesan takut, ragu-ragu untuk masuk dan berinteraksi dengan pendeta di gereja.
Baca juga: Tangkal Bahaya Politik Identitas dengan Penguatan Dialog Lintas Iman
Isu agama
Isu agama termasuk hubungan umat antaragama masih menjadi isu penting yang bisa muncul setiap saat. Gesekan antaragama juga masih berpotensi terjadi.
Permasalahan ini pun tidak cukup diatasi dengan menunggu tindakan kelompok laki-laki yang selama ini mendominasi ruang publik. Kelompok perempuan juga harus mau berpikir dan terlibat untuk meredam ketegangan.
Atas pemikiran itulah, pada 2015 Wiwin Siti Aminah Rohmawati menginisiasi workshop bertema ”Revitalisasi Peran Perempuan dalam Keberagaman Agama di Yogyakarta”. Acara itu dihadiri oleh 32 perempuan dari agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budhha, dan Khonghucu. Berlanjut dengan pertemuan-pertemuan informal dari rumah ke rumah, para peserta sepakat membentuk Srikandi Lintas Iman atau disingkat Srili.
Wiwin mengatakan, peran perempuan dalam dialog lintas iman sangatlah penting. Dalam lingkup domestik di rumahnya sendiri, peran tersebut jelas diemban karena perempuan adalah pendidik untuk keluarga terutama anak-anaknya.
”Dialah penentu apakah generasi yang dilahirkannya adalah generasi yang memiliki tolerasi atau tidak,” ujarnya.
Melihat peran penting pendidik tersebut, Srili juga berinisiatif menggelar kegiatan peningkatan kapasitas guru PAUD, yang sekitar 80 persen di antaranya juga perempuan.
Di luar itu, Srili juga pernah menyentuh langsung anak-anak, dengan mengadakan kegiatan kemah lintas iman khusus anak-anak. Dalam kegiatan ini, mereka juga berkunjung ke tempat-tempat ibadah berbagai agama.
Seiring waktu, dialog lintas iman yang dijalankan kemudian juga berkembang pada komunikasi di sektor lain dan turut pula membahas soal isu-isu jender dan kepedulian terhadap warga difabel. Srili memiliki anggota seorang transpuan, dan kini juga memiliki sejumlah anggota dengan disabilitas fisik.
Perjuangan anggota Srili menunjukkan bahwa keluwesan perempuan dibutuhkan untuk mengatasi beragam persoalan masyarakat...