Bertahan dengan Harap untuk Luka yang Belum ”Terobati”
Sebagian pengungsi gempa Cianjur masih bertahan di tenda darurat. Mereka berupaya berdamai pada keadaan lantaran merayakan Idul Fitri dengan ala kadarnya. Luka mereka belum terobati, tetapi silaturahmi tetap jalan.
Perayaan Idul Fitri identik dengan berkumpul dengan keluarga besar guna menjalin tali silaturahmi. Shalat bersama di masjid terdekat, mensyukuri berlalunya ibadah puasa selama sebulan terakhir.
Setelahnya, tak lupa masyarakat berbondong-bondong saling berkunjung dari rumah ke rumah sembari mengenakan pakaian baru. Budaya tahunan yang selalu dinanti banyak orang.
Euforia Idul Fitri itu biasanya tak pernah absen dari kegiatan tahunan warga Cianjur. Namun, sebagian di antaranya dituntut berdamai dengan keadaan lantaran masih tinggal di tenda pengungsian pascagempa November 2022.
Para jemaah perempuan, khususnya warga RT 002, RW 007 Sukamanah, Cugenang masih menjalankan shalat Idul Fitri di tenda darurat pada Sabtu (22/4/2023). Biasanya, mereka memanfaatkan madrasah terdekat untuk beribadah serta melakukan kegiatan keagamaan lain. Namun, bangunan tersebut hancur akibat gempa.
“Alhamdulillah, (kekhusyukan) enggak berkurang, walaupun kena gempa, tempat ibadah enggak ada, kalau shalat mah enggak pernah ninggalin,” ujar Olis (41) sembari duduk bersantai di samping tenda pribadinya.
Baca juga: Sebagian Penyintas Gempa Cianjur Shalat Idul Fitri di Tenda Darurat
Meski demikian, ia tak dapat menutupi trauma setelah guncangan gempa pada 21 November 2022 dengan kekuatan magnitudo 5,6. Akibatnya, sejumlah warga yang rumahnya tak ambruk tetap memilih tinggal di tenda pengungsian sementara waktu lantaran bangunan retak di berbagai sisi. Bayang kelam gempa masih menghantui mereka.
Hal itu diakui pula Yayah (70) dan Airatna (58). Ketika berbicara soal Lebaran, topik pembicaraan terbawa kembali pada detik-detik kejadian gempa bumi. Mereka tak sanggup menutupi kesedihan, matanya berkaca-kaca walau beberapa warga lalu-lalang bersalam-salaman setelah shalat id.
“Sedih ya, rasanya sepi. Anak-anak enggak semuanya ke sini. Saya juga enggak kuat ke mana-mana,” ujar Airatna sembari tertawa getir.
Baca juga: Merayakan Silaturahmi di Idul Fitri 2023
RT 002, RW 007 Sukamanah, Cugenang memang jadi salah satu lokasi dengan dampak terberat. Mayoritas rumah warga rusak berat, masjid hancur meski kini proses renovasi telah berlangsung.
Lima bulan pascakejadian, sebagian warga masih tinggal di tenda-tenda darurat. Sekitar 50 keluarga masih bertahan di sana.
Merawat tradisi
Beruntung, sanak saudara datang berkunjung, bahkan menginap beberapa hari untuk merayakan Idul Fitri bersama. Setidaknya, luka akibat gempa bisa sedikit terobati karena kehadiran orang-orang tercinta.
“Sekarang karena tinggal berdekatan jadi perginya hanya di sekitar sini saja. Jadi enggak bisa (bertamu) berlama-lama juga karena tempat terbatas, seadanya,” kata Riska Maulidiya (24) asal Bekasi, Jawa Barat yang mudik guna merayakan Lebaran di tenda, tempat tinggal mertuanya, Airatna.
Sembari menanti tamu yang datang, Riska dan keluarganya duduk bersantai di depan lorong antartenda. Di tengah kenestapaan itu, mereka tertawa lantaran anak dan cucunya bersenda gurau yang menutup kesedihan Lebaran beratapkan terpal plastik.
Tak hanya rumah-rumah yang terbuat dari tenda, jemaah perempuan pun menjalankan shalat id di tenda darurat. Beralaskan plastik, mereka satu per satu melepas sandalnya untuk memasuki tenda. Pilar dari kayu memperkuat fondasinya. Mengantisipasi animo masyarakat yang akan menjalankan shalat, warga juga menyiapkan beberapa tikar yang dapat digelar di jalan, tepat samping tenda. Tua, muda menunjukkan gairah serupa untuk beribadah bersama, dilanjutkan dengan halal bihalal sesudah shalat.
Baca juga: Lebaran 2023, Presiden dan Wapres Silaturahmi secara Daring
Seperti Lebaran pada umumnya, warga sekitar pun saling mengunjungi satu sama lain dari satu tenda ke tenda lain. Sebagian di antaranya mengenakan pakaian senada sebagai bentuk kekompakan, ada yang berwarna kuning kunyit, ada pula bernuansa hijau sage. Namun, apapun pakaiannya, tiap orang sumringah, bersalam-salaman merayakan hari kemenangan bersama.
Berjarak sekitar 4,5 kilometer dari Sukamanah, sekitar 93 keluarga terdaftar di RT 002, RW 007 Desa Cijedil yang masih tinggal di tenda darurat. Anggriani (27) merupakan salah satu keluarga yang mulai sibuk mempersiapkan Lebaran sejak sehari sebelum shalat id.
Sembari memasak opor ayam, ia bercerita bahwa suasana hari raya kali ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Gempa bumi mengaburkan kesan Lebaran yang selama ini pernah Anggri lalui.
“Sekarang kayak bukan di kampung sendiri soalnya rumah habis, runtuh semua. Biasanya kumpul di rumah, sekarang situasi darurat (di tenda). Masak juga ala kadarnya, enggak seperti sebelumnya,” tutur Anggri di kediamannya, Jumat (21/4/2023).
Tak dapat dipungkiri, Anggri dan keluarga rindu juga untuk mudik ke kampung halaman suami di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini jadi tahun keempatnya absen menjalankan rutinitas itu. Keberadaannya di tenda tak memungkinkan meninggalkan barang-barang begitu saja di tenda, sebab risiko pencurian tetap ada.
Baca juga: Menjaga Harmoni dan Kedamaian, Pesan Shalat Id di Masjid Istiqlal
Walau demikian, warga yang masih tinggal di tenda-tenda darurat berupaya menjaga tradisi yang selama ini mengakar. Silaturahmi pada sesama tetap berjalan, gempa bukan jadi alasan untuk memutus hubungan baik yang telah terjalin selama ini. Tak hanya itu, mereka masih menyempatkan untuk berziarah ke makam kerabat.
Secercah harap
Para pengungsi gempa Cianjur memang kehilangan seluruhnya, harta benda dan orang-orang terkasih. Namun, mereka tak putus harap, semangat hidupnya membantu penyintas untuk berbenah di tengah keterbatasan.
Anggri beserta suaminya, Jajat Sudrajat (33) berharap agar tahun depan kondisi mereka jauh lebih baik. Tak ada lagi bencana yang menghalangi untuk merayakan Idul Fitri secara penuh.
“Sudah cukup kemarin, sudah merasakan kehilangan harta benda, kehilangan keluarga. Sekarang ingin normal lagi biar beraktivitas seperti biasanya,” kata Anggri.
Menurut sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, para pengungsi sebenarnya kehilangan segalanya. Mereka kehilangan harta benda, kesempatan, peluang mengembangkan diri, serta infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun. Namun, hanya satu yang tersisa, yakni harapan. Asa itu dikuatkan para relawan juga pejabat lokal.
“Jadi dengan adanya gempa, tidak berarti hidup kemudian berakhir,” ujar Sigit saat dihubungi dari Cianjur, Minggu (23/4/2023).
Baca juga: Warga Keluhkan Pembangunan Rumah Tahan Gempa Cianjur
Sehingga suasana pengungsian adalah Lebaran yang terluka
Ia menambahkan bahwa suasana Lebaran di pengungsian pasti berbeda dibandingkan kondisi normal. Lebaran dalam kondisi seperti ini jadi ambigu bagi para pengungsi. Di satu sisi, Idul Fitri jadi simbol merayakan kemenangan atas kemampuan mereka menahan napsu selama sebulan, tetapi di sisi lain ada kenyataan yang harus dihadapi. Sarana dan prasarana untuk merayakan Lebaran tak lagi dapat digunakan, sehingga mereka tak bisa menjalankan ritual secara penuh, antara lain mengunjungi orang tua dan sanak saudara.
“Sehingga suasana pengungsian adalah Lebaran yang terluka,” kata Sigit.
Para pengungsi terluka, tetapi mereka berupaya untuk menunjukkan dan mempertahankan eksistensinya. Perayaan Lebaran dalam suasana normal tentu dirindukan seluruh pengungsi, sesederhana rumah yang rusak ingin kembali tinggal di tempat yang kuat dan layak, memiliki kendaraan lagi, meski tak dapat mengembalikan sanak saudara yang tiada.
Keluhan warga
Sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya tersedia menambah beban dan luka para pengungsi Cianjur. Mereka berharap agar kebutuhan mereka untuk bertahan hidup segera terpenuhi, setelah lima bulan ini membayar dengan trauma yang tak kunjung sembuh.
Baca juga: Gempa Cianjur
Di Sukamanah, misalnya, warga masih harus mengantre ke kamar mandi. Sebab, fasilitas tersebut ada untuk dipakai bersama. Salah satu kamar mandi berada di atas parit beralaskan papan kayu. Air langsung mengalir ke parit. Belum lagi, terkadang air habis sehingga menghambat kegiatan warga.
“Kalau mandi suka antre, terus airnya enggak cukup. Jadi, aduh gimana ya,” kata Airatna.
Kemudian, tokoh agama setempat, Hasanudin (42) berharap ada donatur yang dapat membangun madrasah dan musala. Sehingga, mereka, khususnya jemaah perempuan tak perlu lagi berpanas-panasan beribadah di tenda darurat.
Selain itu, warga yang masih bertahan di tenda darurat kerap mengeluh gatal-gatal. Terpal plastik juga tak dapat sepenuhnya melindungi warga dari cuaca di luar, sebab ketika suhu tinggi, suasana akan jadi begitu panas. Sebaliknya, ketika suhu rendah, situasi akan sangat dingin.
Belum lagi ketika hujan deras, terkadang air akan menggenang, bahkan merembes ke dalam tenda. Padahal, satu tenda biasanya digunakan hingga empat orang. Seluruh kegiatan dilakukan di tenda, yakni tidur hingga memasak.
“Kalau hujan suka bocor, nyamuk juga banyak,” kata Heri (42), warga Cijedil.
Baca juga: 69.000 Penyintas Gempa Cianjur Masih Bertahan di Pengungsian
Istrinya, Aas (36) menambahkan, mereka juga membutuhkan rak-rak atau lemari sederhana untuk meletakan peralatan makan. Selama ini, mereka hanya menumpuknya di atas ember, sehingga banyak memakan tempat dan mengurangi mutu kebersihannya.
Persoalan lain, warga amat membutuhkan hunian tetap. Satu per satu warga memang sudah mendapat cairan dana pemerintah untuk membangun rumah berdasarkan tingkat kerusakannya. Namun, mereka yang belum mendapatkan harus menanti tanpa kepastian. Kualitas bangunan pengembang juga dituntut lebih baik, sebab selama ini mutunya justru berkurang.
Masalah-masalah tadi baru segelintir persoalan yang tampak oleh mata. Masih banyak isu lain yang jadi pekerjaan rumah pengungsi gempa untuk bisa pulih sepenuhnya.
Guna menambal kehilangan dan kesedihan para pengungsi gempa Cianjur, motivasi perlu diberikan. Sigit mengatakan, bencana tak memilih korbannya karena siapa saja bisa jadi sasaran. Namun, kata-kata penguat saja tak cukup.
Pengungsi gempa perlu menerima sarana dan prasarana yang memadai. Bentuknya pun beragam.
“(Dapat) memberikan instrumen yang bisa digunakan para pengungsi untuk bisa bangkit menjalani kehidupan,” ujar Sigit.
Baca juga: Tajam Pena Membayar Rindu Sanitasi Pengungsi Gempa Cianjur
Sigit menambahkan, mereka yang kehilangan pekerjaan dapat dibantu sehingga bisa kembali memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Mereka yang kehilangan tempat tinggal, bisa dibangunkan hunian sementara.
“Saya kira, itu yang bisa dilakukan pemerintah, khususnya pemerintah daerah,” katanya.
Berbagai keluhan warga baiknya segera ditanggapi agar mereka dapat menerima haknya untuk hidup layak. Idul Fitri sejatinya jadi lembar baru bagi semua orang untuk peka akan kondisi sekitar. Sudah semestinya hati tergerak kapan saja untuk membantu, tak terikat perayaan hari besar. Sebab, menambal luka sesama sudah jadi tugas bersama.