Digelar Ke-37 Kali, Patroli Bersama Indonesia-Filipina Fokus pada Masalah Pelintasan Batas
Patroli bersama AL Indonesia dan Filipina tahun ini difokuskan untuk mengatasi masalah pelintasan batas tradisional di perairan antara Sulawesi dan Mindanao. Latihan ini digelar secara tahunan untuk ke-37 kali.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Patroli bersama angkatan laut Indonesia dan Filipina tahun ini difokuskan untuk mengatasi masalah pelintasan batas tradisional di perairan antara Sulawesi dan Mindanao. Kerja sama ini diyakini dapat memperkuat kepercayaan negara-negara Asia Tenggara kepada Indonesia dalam mengatasi isu-isu keamanan.
Patroli Terkoordinasi (Coordinated Patrol/Corpat) Philindo ke-37 dibuka di Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) VIII Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (3/5/2023) oleh Panglima Komando Armada II Laksamana Muda Maman Firmansyah dan Komandan Eastern Mindanao Command Letnan Jenderal Greg T Almerol. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Minggu (7/5/2023) dan ditutup di Davao, Filipina.
Operasi militer rutin tahunan itu akan digelar di perairan sekitar perbatasan Indonesia dan Filipina. Masing-masing mengerahkan satu kapal, yaitu Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Escolar 871 dari Indonesia dan BRP (Kapal Republik Filipina) Artemio Ricarte (PS-37). Setiap kapal akan diawaki lebih kurang 50 orang.
Maman menyebut, Corpat Philindo yang telah dilaksanakan 37 kali dari tahun ke tahun membuktikan komitmen bersama kedua negara untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan, terutama antara kedua negara. Tahun ini, titik berat patroli akan diletakkan pada repatriasi warga yang secara tidak sengaja melanggar batas kedua negara.
”Kami punya komitmen melakukan repatriasi (pemulangan ke negara asal). Kalau orang Filipina terdampar di kita (Indonesia) karena cuaca buruk selama masa patroli, nanti kapal perang Filipina akan mengangkut dan membawa kembali. Itu akan kami siapkan di Bitung. Begitu juga kita (sebaliknya),” kata Maman.
Repatriasi
Repatriasi tidak akan berlaku bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum, seperti menangkap ikan secara ilegal atau menyelundupkan barang yang dikenai cukai.
”Ada kriterianya dalam repatriasi. Kalau ada yang berbuat kejahatan, ya, enggaklah,” tambah Maman mengutip isi perjanjian patroli perbatasan kedua negara yang dibuat pada 1975.
Secara umum, Maman yakin patroli ini akan efektif mengeliminasi gangguan di perbatasan. Ia juga berterima kasih kepada pihak Filipina karena telah turut memperbaiki sistem pelintasan batas tradisional yang berlaku di wilayahnya, antara lain Pulau Balut. Di Indonesia, pos pelintasan batas terletak di Pulau Marore (Sangihe) dan Miangas (Talaud).
”Kita bisa menghitung warga Filipina yang ke sini berapa, dan juga sebaliknya. Jadi, sudah bagus. Kalau ada pelanggar, pasti ada, cuma belum ketangkap saja. Tapi, dibandingkan dengan dulu, sekarang lebih tertib,” katanya.
Di luar itu, Maman menyatakan, gangguan keamanan mungkin hanya terbatas pada perikanan ilegal dan penyelundupan barang. Isu terorisme yang terkait dengan grup Abu Sayyaf ia sebut kini belum menjadi masalah besar, mengingat kelompok teroris itu tengah mengalami pelemahan sejak 2022.
Kami menyambut upaya pengembangan bersama ke depan, termasuk dalam hal terorisme dan ekstremisme, keamanan maritim, dan industri pertahanan.
Di lain pihak, Greg T Almerol menyebut Corpat Philindo sebagai cara menegaskan kembali komitmen kedua negara untuk memperkuat kerja sama pertahanan. ”Kita masih sepakat bahwa diperlukan usaha lebih untuk terus maju ke depan,” katanya.
Usaha ini diwujudkan, salah satunya, dengan berlangsungnya peninjauan dan pembaruan isi perjanjian patroli dan pelintasan batas 1975 selama delapan tahun terakhir. Komite Perbatasan Filipina dan instansi terkait lainnya telah berdiskusi di tingkat nasional dan daerah untuk membentuk tim kerja teknis yang bertugas mengajukan usulan perubahan dalam pasal-pasal perjanjian.
Almerol yakin revisi perjanjian akan memampukan kedua negara menghadapi kompleksitas lanskap pertahanan dan keamanan yang terus berubah. ”Kami menyambut upaya pengembangan bersama ke depan, termasuk dalam hal terorisme dan ekstremisme, keamanan maritim, dan industri pertahanan,” katanya.
Tingkatkan kepercayaan
Dihubungi via telepon, pengajar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Dafri Agussalim, menyebut Corpat Philindo dapat menjadi sarana meningkatkan rasa saling percaya antara Indonesia dan Filipina dalam menjaga keamanan. Indonesia juga bisa semakin dipercaya sebagai penentu agenda keamanan di Asia Tenggara.
”Dalam konteks ASEAN, isu-isu keamanan tidak selalu sinkron. Tetapi, sudah banyak kasus di mana Indonesia diminta dan dipercaya jadi observer. Militer Indonesia dipercaya untuk menjaga perdamaian, misalnya dalam konflik perbatasan Thailand-Kamboja (tahun 2011), juga konflik (Moro) di Filipina selatan,” kata Dafri.
Patroli serupa juga dapat menjadi sarana menunjukkan soliditas negara-negara Asia Tenggara yang mempunyai masalah dengan China di Laut China Selatan. Kerja sama militer ini pun menjadi alternatif untuk mendorong keamanan, mengingat ASEAN tidak bisa membentuk pakta pertahanan.
Dari pemaparan pemimpin militer kedua negara, kata Dafri, kerja sama ini memang difokuskan untuk mengatasi ancaman keamanan nontradisional atau nonmiliter. Namun, Indonesia dan Filipina perlu mewaspadai kemungkinan munculnya reaksi dari negara lain, dalam hal ini China.
Kemungkinan, katanya, tidak akan sebesar reaksi China terhadap kerja sama Indonesia-Amerika Serikat dalam Garuda Shield, tetapi potensi tetap ada. Langkah ini tentu tidak bagus untuk stabilitas di kawasan, apalagi Filipina punya masalah dengan China, ditambah lagi Filipina dekat dengan AS.
”Indonesia juga punya (di Laut Natuna Utara). Jadi, agak susah meyakinkan pihak lain bahwa patroli seperti ini formatnya betul-betul untuk ancaman nontradisional,” kata Dafri.