Jangan ke Bandung jika Hanya Bermodal Nekat
Bandung adalah kota terbuka di mana setiap orang bisa membangun mimpi di dalamnya. Namun, mereka yang datang diharapkan tidak hanya bermodal nekat, tetapi memiliki keahlian yang bisa memberikan manfaat bagi sesama.
Ribuan pendatang menggantungkan harapan untuk hidup lebih baik di Kota Bandung, Jawa Barat. Meskipun tidak ada aturan khusus, orang-orang yang ingin mengadu nasib di kota ini diharapkan memiliki keahlian dan tujuan sehingga tidak menjadi masalah sosial, tetapi juga memberikan manfaat bagi sesama.
Harapan hidup yang dinilai lebih baik membuat Topan (35) tinggal di Kota Bandung lebih dari tiga tahun. Pria asal Indramayu, Jabar, ini bekerja sebagai sopir pribadi dan mampu menghidupi istri serta dua anaknya di kota ini.
Baca juga: Minim Kesempatan di Desa, Kerja Informal di Jakarta Jadi Incaran
”Di sini saya hidup mengontrak, jadi KTP masih dari Indramayu. Walaupun sudah tiga tahun, masih belum ada niat untuk ganti KTP karena belum punya rumah tetap,” ujarnya saat ditemui di Terminal Cicaheum, Bandung, Kamis (27/4/2023).
Karena belum memiliki KTP Bandung, Topan pun diminta oleh petugas untuk mendaftarkan diri di Pos Pendataan Penduduk Nonpermanen Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung di terminal itu. Kurang dari 15 menit, dia mengisi daftar asal dan mendapatkan akses untuk masuk ke Aplikasi Identitas Kependudukan Digital.
”Katanya kalau ada aplikasi ini, sudah tidak perlu lagi bawa-bawa KTP. Jadi, walaupun saya tidak di kota asal, ada KTP ini jadi lebih gampang,” ujarnya.
Topan pun mengakui baru kali ini mendata diri sebagai pendatang. Sebelumnya dia tidak menganggap pendataan itu perlu dilakukan karena masih di dalam kawasan Jabar.
Meskipun masih satu provinsi, Topan menilai hidup di Kota Bandung lebih menjanjikan dibandingkan daerah asalnya. Dia juga sebenarnya enggan meninggalkan kampung halaman sehingga mudik hampir setiap tahun.
”Di tempat saya cuma bisa buruh tani dan jualan. Jadi saya memilih ke Bandung untuk mencari uang. Di sini lebih banyak pilihan. Kalau di sana (kampung) banyak kerjaan, ya, lebih baik di rumah,” ujarnya.
Sebelum menjadi sopir pribadi, berbagai pekerjaan Topan lakoni. Selama beberapa bulan awal hidup di Bandung, dia menjadi buruh kasar, mulai dari pasar hingga bangunan.
”Tidak sampai satu tahun, saya bertemu teman yang sudah bekerja lebih dulu di Bandung. Dia mengajak saya ke tempat dia bekerja dan di sana saya jadi sopir pribadi sampai sekarang,” kata Topan.
Kota terbuka
Tidak hanya Topan yang memiliki harapan yang sama. Di Kota Bandung juga ada ribuan warga luar daerah yang mengadu nasib.
Berdasarkan catatan Disdukcapil Kota Bandung, jumlah pendatang yang terdata di kota ini hingga tahun 2022 mencapai 4.206 orang. Dalam tiga bulan awal 2023, jumlah pendatang bertambah 1.500 orang.
Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna mempersilakan masyarakat dari berbagai daerah untuk datang dan memperbaiki kehidupan di kota ini. Namun, dia berharap warga yang datang membawa keahlian ataupun kepastian dalam pekerjaan sehingga hidup menjadi lebih terarah.
Prinsipnya, Kota Bandung itu terbuka. Namun, perlu disadari, para pendatang harus memiliki keahlian. Jangan hanya berharap tanpa kepastian, harus bisa mengukur kemampuan diri untuk bertahan hidup.
Pendataan warga pendatang di terminal Cicaheum yang Ema amati Kamis (27/4/2023) itu pun dianggap bukan operasi yustisi. Pendataan yang ada, lanjutnya, adalah bentuk pencatatan administrasi kepada para pendatang.
”Kegiatan ini (pendataan) bukan operasi yustisi. Prinsipnya, Kota Bandung itu terbuka. Namun, perlu disadari, para pendatang harus memiliki keahlian. Jangan hanya berharap tanpa kepastian, harus bisa mengukur kemampuan diri untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Tidak hanya di Terminal Cicaheum, pendataan juga dilakukan di Terminal Leuwipanjang dan Stasiun Kiaracondong. Ema juga mengimbau para petugas di setiap wilayah juga mendata para pendatang untuk melengkapi catatan komposisi penduduk dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Pendataan
Menurut Kepala Disdukcapil Kota Bandung Tatang Muhtar, pendataan warga pendatang setelah mudik ini menjadi strategi Pemerintah Kota Bandung dalam menghadapi para pendatan. Data yang diberikan, lanjutnya, berguna untuk melengkapi informasi terkait komposisi warga di kota ini.
Tatang menekankan, pendataan ini bukan untuk membatasi para pendatang untuk datang ke Kota Bandung. Selain untuk memenuhi informasi kependudukan, data penduduk yang terdaftar ini juga berguna bagi warga yang bersangkutan untuk mengakses layanan yang membutuhkan pelayanan publik.
”Kegiatan pendataan ini diharapkan bisa mengingatkan warga pendatang untuk melapor ke wilayah masing-masing agar tercatat sebagai penduduk sementara di Kota Bandung. Ini bisa memudahkan mereka untuk mendapatkan layanan publik,” ujarnya.
Tatang mengingatkan kepada warga pendatang agar segera melapor ke RT dan RW agar warga tersebut tercatat sebagai penduduk sementara di Kota Bandung. Tidak hanya untuk mengakses layanan, data yang ada dapat membantu pelacakan penduduk saat kejadian tertentu, misalnya saat terjadi kecelakaan ataupun peristiwa lainnya.
”Pendataan warga itu penting, terlepas pendatang dan nonpendatang. Untuk pemerintahan berfungsi untuk mengakumulasi jumlah penduduk hingga menyusun kerangka pembangunan. Jadi untuk ketertiban adminsitrasi kependudukan, diimbau untuk segera melapor,” ujarnya.
Tujuan pendatang
Tujuan para pendatang tidak hanya di Kota Bandung. Masih ada kota-kota besar lainnya di Jabar yang menjadi sasaran migrasi para pendatang untuk memperbaiki kehidupannya.
Pelaksana Tugas Kepala Disdukcapil Jabar Indrastuti Chandra Dewi menyebut, daerah sasaran ini, antara lain, Bogor, Depok, dan Bekasi. Kawasan ini menempel dan berbatasan dengan DKI Jakarta sehingga dianggap sebagai bagian dari perputaran hidup di ibu kota negara ini.
Meskipun seluruh daerah di Jabar terbuka bagi siapa saja, Indrastuti berharap masyarakat yang ingin hidup dan bekerja di kota-kota besar memiliki keahlian dan sasaran pekerjaan. Jika tidak, berbagai permasalahan sosial, mulai dari kemiskinan hingga tindak kriminal akan menghantui daerah-daerah sibuk tersebut.
”Daerah-daerah ini juga melakukan pendataan bagi para pendatang, terutama saat arus balik mudik. Kami juga ingin memastikan orang-orang yang masuk memiliki tujuan yang pasti. Meskipun Kota Bandung dan daerah lainnya adalah terbuka, pendatang sebaiknya memiliki keahlian sehingga turut membangun kota, bukan menjadi beban sosial,” ujarnya.
Menurut sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar Herdiansah, perpindahan masyarakat dari desa ke kota kerap menyasar daerah dengan aktivitas ekonomi yang tinggi. Namun, di sejumlah daerah, seperti Kota Bandung, alasan lain seperti pendidikan juga ditemui.
Perpindahan masyarakat, lanjut Ari, terjadi karena kualitas hidup di daerah sasaran dianggap lebih baik. Berbagai aspek, mulai dari pekerjaan yang bervariasi hingga kualitas pendidikan tinggi menjadi alasan para pendatang ingin tinggal di suatu wilayah.
”Tren arus migrasi di Kota Bandung masih didominasi faktor pendidikan dan ekonomi. Di sini, keberadaan kampus negeri dan swasta masih menjadi daya tarik. Di samping itu, pekerjaan masih menjadi magnet bagi pendatang,” ujarnya.
Pekerjaan ini, lanjut Ari, menjadi sasaran karena Kota Bandung merupakan pusat perputaran ekonomi di Jabar dan masih terhubung dengan DKI Jakarta. Tidak hanya industri, di kota ini juga tumbuh sektor jasa hingga pariwisata.
Migrasi selama ini menjadi salah satu pemacu utama urbanisasi, yaitu pertumbuhan kota-kota atau bahkan terbentuknya kota baru. Selalu ada plus minus dalam perkembangan kota. Dampak negatif makin dirasakan jika pertumbuhan tidak terkendali, di antaranya karena pengelolaan penduduk yang sebenarnya ada sumber daya tak ternilai yang belum optimal.
Pemerataan
Berharap hidup lebih baik, dorongan para pendatang untuk berpindah tanpa mempersiapkan diri dengan matang masih cenderung terjadi. Menurut Ari, hal ini menandakan warga yang berpindah ini menganggap daerah asalnya tidak berkembang.
Selama seseorang itu warga negara Indonesia, dia punya hak untuk bekerja di seluruh negeri ini.
Adanya pendatang yang nekat ini, lanjut Ari, bisa berdampak pada berbagai permasalahan sosial. Namun, pembatasan mobilitas penduduk dinilai tidak memenuhi hak berpindah yang dimiliki warga negara meskipun alasannya untuk memastikan kesiapan para pendatang.
”Pembatasan para pendatang malah bisa bertentangan dengan hak asasi manusia. Setiap orang tidak boleh dibatasi aksesnya dalam memperoleh sumber penghidupan. Selama seseorang itu warga negara Indonesia, dia punya hak untuk bekerja di seluruh negeri ini,” ujarnya.
Perbaikan kualitas hidup manusia di desa, lanjut Ari, adalah cara untuk mengatasi kenekatan para pendatang. Saat suatu daerah memiliki kualitas hidup yang layak dan akses untuk kesejahteraan cukup, orang cenderung tidak akan berpindah.
Bahkan, saat seseorang tetap ingin berpindah, mereka telah memiliki bekal keahilan dari daerah asalnya. Perpindahan ini pun bukan sekadar mengadu nasib, tetapi menguji daya kompetitif dengan keahlian yang dimiliki di kota-kota besar.
”Migrasi tidak selalu negatif. Saat para pendatang memiliki sumber daya yang cukup, keberadaan mereka membangun daerah. Kompetisi yang ada juga menumbuhkan kreativitas dan inovasi, juga menopang perekonomian,” ujarnya.
Namun, jika hanya bermodal nekat, migrasi ini akan berujung pada urbanisasi yang membuahkan kota-kota sarat masalah sosial. Meskipun tidak ada yang melarang, janganlah ke Kota Bandung jika hanya berharap kepada ketidakpastian.
Baca juga: Gambaran Urbanisasi yang Perlu Dipertanyakan