Memeratakan Pembangunan, Mengendalikan Migrasi
Jika kolaborasi meratakan pembangunan di daerah rentan dan miskin dilakukan, bisa menghapus kekhawatiran warga lokal di Jayapura dan menepis ketakutan kota besar akan terus dibanjiri aliran pendatang tanpa keterampilan.
Kapal Motor Sinabung milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) perlahan bersandar di Pelabuhan Jayapura, Papua, Sabtu (29/4/2023) pukul 19.45 WIT.
Ribuan penumpang bersiap-siap turun dari kapal. Hari itu kedatangan arus balik penumpang perdana di Pelabuhan Jayapura. Dari data Pelni Jayapura, kapal tersebut mengangkut 1.350 penumpang. Mereka dari sejumlah daerah, antara lain Surabaya, Makassar, Baubau, Banggai, Bitung, Ternate, Bacan, dan Sorong.
Salah satu penumpang kapal, Sadap (38), mengaku telah merantau selama 15 tahun di Kota Jayapura sebagai tukang pangkas rambut. ”Peluang kerja di Jawa bagi saya yang minim modal sangatlah sulit. Saya memilih merantau ke Jayapura dan bisa mendapatkan penghasilan hingga kini,” kata pria asal Madura, Jawa Timur itu.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jayapura Raymond Mandibondibo mengatakan, fenomena migrasi penduduk dari luar Papua berdampak pada kenaikan jumlah penduduk yang signifikan di kotanya. Mayoritas para perantau bekerja di sektor jasa, seperti di pusat perbelanjaan, rumah makan, dan sektor usaha lainnya. Usaha kecil dan menengah dalam sektor jasa berkontribusi pada 70 persen pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Kota Jayapura tahun 2022 yang mencapai Rp 294 miliar.
Raymond memaparkan, jumlah penduduk di Kota Jayapura pada akhir 2021 sebanyak 368.000 jiwa dan pada akhir 2022 telah mencapai 403.118 jiwa.
Baca juga: Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih Jayapura Avelinus Lefaan mengatakan, mobilitas penduduk ke suatu wilayah sangat wajar. Manusia cenderung selalu mencari tempat untuk mencari penghidupan lebih baik. Ia berpendapat, fenomena migrasi penduduk ke wilayah timur Indonesia, khususnya Jayapura, dengan motif pengembangan ekonomi.
”Kemampuan kota besar di Pulau Jawa menampung para perantau semakin terbatas. Sementara itu, daya tarik daerah seperti Papua dengan tanah yang luas dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lebih besar,” ucap Avelinus.
Ia berharap ada regulasi dari pemerintah daerah dan legislatif untuk memproteksi sumber daya manusia lokal agar tetap mendapatkan kesempatan kerja. Sebab, para perantau yang mengadu nasib ke Papua telah memiliki keterampilan kerja dan motivasi yang tinggi.
”Semakin banyak warga perantau menguasai sektor ekonomi akan menimbulkan kesenjangan sosial yang dengan penduduk setempat sehingga berujung konflik. Sayangnya regulasi otonomi khusus belum berdampak dalam pemberdayaan masyarakat asli Papua untuk berwirausaha,” kata Avelinus.
Baca juga: Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Pendataan
Berbeda dengan keprihatinan Avelinus, di Bandung, Jawa Barat, justru khawatir pada pendatang baru di kota itu yang minim keterampilan.
Berdasarkan catatan Disdukcapil Kota Bandung, jumlah pendatang yang terdata di kota ini hingga 2022 mencapai 4.206 orang. Dalam tiga bulan awal 2023, bertambah 1.500 pendatang.
Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna mempersilakan masyarakat dari sejumlah daerah datang dan memperbaiki kehidupan di kota ini. Namun, dia mereka membawa keahlian ataupun kepastian dalam pekerjaan sehingga hidup menjadi lebih terarah.
Demi mengendalikan pendatang, warga yang tak ber-KTP Kota Bandung diminta mendaftar di Pos Pendataan Penduduk Nonpermanen Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung saat tiba di terminal atau stasiun. Kurang dari 15 menit, warga dapat mengisi daftar asal dan mendapatkan akses ke Aplikasi Identitas Kependudukan Digital.
”Pendataan ini diharapkan mengingatkan warga pendatang untuk melapor agar tercatat sebagai penduduk sementara di Kota Bandung. Ini bisa memudahkan mereka untuk mendapatkan layanan publik,” ujar Kepala Disdukcapil Kota Bandung Tatang Muhtar.
Pelaksana Tugas Kepala Disdukcapil Jabar Indrastuti Chandra Dewi menyebut, daerah sasaran pendatang lain, seperti Bogor, Depok, dan Bekasi yang berbatasan dengan Jakarta, turut menerapkan pendataan.
Menurut sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar Herdiansah, perpindahan masyarakat dari desa ke kota kerap menyasar daerah dengan aktivitas ekonomi tinggi. Namun, di sejumlah daerah, seperti Kota Bandung, alasan migrasi untuk mengakses pendidikan juga ditemui.
”Setiap orang tidak boleh dibatasi aksesnya dalam memperoleh sumber penghidupan. Selama seseorang itu warga negara Indonesia, dia punya hak bekerja di seluruh negeri ini,” ujarnya.
Saat para pendatang memiliki sumber daya yang cukup, keberadaan mereka membangun daerah. Kompetisi yang ada juga menumbuhkan kreativitas dan inovasi serta menopang perekonomian. Akan tetapi, menurut Ari, jika hanya bermodal nekat, migrasi ini akan berujung pada urbanisasi yang membuahkan kota-kota sarat masalah sosial.
Daya tampung kita, ya, sebenarnya sudah over kondisinya.
Di Ibu Kota, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta Budi Awaluddin, Sabtu (29/4/2023), menjelaskan, pendatang baru didorong agar lapor diri ke RT/RW terdekat juga melakukan pendataan nomor induk kependudukan.
Upaya itu menjadi salah satu strategi DKI Jakarta menghadapi pendatang baru tanpa operasi yustisi. Budi melanjutkan, setelah Lebaran 2023, Disdukcapil DKI memprediksi ada pertumbuhan 20-30 persen dari tahun lalu atau tambahan 36.000-40.000 pendatang baru.
Dengan jumlah warga Jakarta yang per semester kedua 2022 berjumlah 11.317.271 orang, penambahan penduduk berpotensi memunculkan masalah baru. Saat ini saja, dengan 11 juta jiwa lebih, kepadatan penduduk di Jakarta sudah 17.000 orang per kilometer persegi. Dibandingkan dengan kepadatan penduduk di wilayah Indonesia, kepadatan Jakarta ini terhitung sudah 118 kali.
”Cukup padat. Daya tampung kita ya sebenarnya sudah over kondisinya,” kata Budi.
Budi menambahkan, dengan postur jumlah penduduk yang tidak ideal juga berpotensi meningkatnya kemiskinan, stunting atau tengkes, pengangguran, isu keterbatasan transportasi, hingga masalah kriminalitas.
Pemerataan pembangunan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto dan rekannya sosiolog UI Imam B Prasodjo, juga Ketua Umum Analis Kebijakan Seluruh Indonesia Trubus Rahadiansyah sepakat bahwa untuk mengatasi kekhawatiran terjadi ketimpangan dan berbagai masalah sosial karena migrasi tak terkendali, maka pemerataan pembangunan harus dilakukan.
Pendataan yang dilakukan DKI juga pemetaan yang dikerjakan pemerintah pusat, menurut ketiga pakar itu bisa menjadi kajian untuk membuat program-program pengembangan dan pemberdayaan di kawasan penyumbang migran. Itu salah satunya untuk menahan laju migrasi dari desa atau daerah lebih kecil ke kota.
Imam menyarankan agar program penciptaan lapangan pekerjaan dilakukan di wilayah-wilayah rentan, yang masyarakatnya paling terdesak supaya mereka tidak harus keluar.
Karena daerah pengirim atau kota pengirim tidak bisa diberi tanggung jawab melakukan pemberdayaan desa ataupun menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, harus ada kolaborasi antar-daerah, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan kota-kota tujuan migrasi dengan wilayah pengirim migran, untuk bersama-sama membuat program-program pengembangan desa.
Baca juga : Rapuhnya Kota-kota Kita
Kota-kota besar tujuan migrasi bisa mengadopsi konsep desa dampingan untuk permberdayaan tersebut. Pemprov dari kota tujuan migrasi bekerja sama dengan dunia usaha, pelaku usaha, perguruan tinggi, pemprov, kabupaten, desa asal migran, hingga pemerintah pusat. Kolaborasi ini harus didukung aturan yang memungkinkan penggunaan anggaran pusat dan provinsi untuk pemberdayaan lintas wilayah, lintas lembaga, dan lintas pemerintahan itu.
Jika ini dilakukan, bisa menghapus kekhawatiran warga lokal di Jayapura juga menepis ketakutan kota besar akan terus dibanjiri aliran pendatang tanpa keterampilan.